empatbelas.

20 1 0
                                    

Song recommendation : Sudah (Story of Kale - Original Motion Picture Soundtrack)
- Ardhito Pramono























menanti semua dalam kejam






























“AAAAA MAMA GELAP!!” teriakan melengking terdengar setelah lampu mati total.

“MAA!! PAPA NGGAK BAYAR LISTRIK YA?!!”

“jangan sembarangan kamu dek!! Papa bayar ya!” sang tuan yang baru saja mendapat lemparan tuduhan melotot tak terima.

“ada pemadaman kayaknya, kamu keluar coba sama kakak mu, sini diruang tengah” Mama sedikit berteriak, beliau sedang didapur mencari lilin.

“aduh kak sandal gue jangan di injek!” pemuda itu baru saja ingin menuruni tangga, namun sayangnya sendal yang ia pakai harus berakhir putus karena Joyara menginjaknya.

“MAMA SANDAL KESAYANG KU COPOT!!!” adunya membopong sandal swalo hitam.

“HAHAHAHAHAHA” tawa menggelegar terdengar disetiap penjuru rumah. Papa bahkan sudah terpingkal-pingkal, tangannya tak henti-hentinya memukul sofa.

Swalo itu adalah sandal kesayangan Jefran sedari kelas 6 SD. Sudah berkali-kali sendal itu putus tapi selalu diperbaiki oleh pemiliknya. Bahkan sudah ada ujung ujung sandal itu yang bolong-bolong kecil karena digigit semut. Naas, malam ini agaknya sendal itu sudah tak bisa diperbaiki lagi. Dua karet japitan sandal itu sudah terbelah menjadi dua akibat pengikat kabel ties yang sempat ia gunakan untuk menyambung penjepit itu satu minggu lalu.

“ma...ini gimana? Sandal Jeff rusak” bibirnya sudah cemberut mengadu pada mama yang baru saja berhasil menyalakan lilin.

“nanti bisa beli lagi dek, yang itu di buang aja udah kayak gitu juga bentuknya..” mama beralih duduk bersila di samping papa.

“sayang tau bun, mending uangnya buat beli tahu gejrot bu amir.” kepalanya tertunduk, sedikit kecewa.

“sendal ini tuh banyak tau kenangannya...” hampir saja air matanya menetes. 

“yang nemenin aku bolak balik ngurus pendaftaran SMP sama SMA, yang aku ajak ke Joga, ke Malang, ke Lamongan juga, ikut lomba tujuhbelas-an juga” bahunya sedikit terangkat untuk menarik nafas.

“kenangannya itu loh bun yang nggak bisa dibeli” ia peluk sandal itu, tak peduli dengan kotoran yang menempel dialasnya.

JDAR!

Setelahnya suara guntur mulai bersahutan, tak perlu menghitung detik, rintik rintik mulai turun secara perlahan. Hawa dingin lama kelamaan mulai menyentuh kulit siapaun yang tak tertutup kain.

Jefran berlari keluar, hampir saja terpeleset karena lantai yang mengembun.

“YA TUHAN” teriaknya kaget. Mama hanya geleng-geleng melihat kelakuan bungsunya.

Bokongnya ia bawa untuk duduk di kursi kayu bawah jendela, yang menghadap langsung ke taman kecil yang mama buat. Ia menghela nafasnya pelan. Hampir mengelus dadanya namun ia urungkan, nyatanya mau sebanyak apapun ia mengelus dada, masalahnya tak akan hilang begitu saja.

Kepalanya pening bukan main. Merenungkan apa saja yang terjadi selama ini dalam hidupnya. Apa saja yang membuatnya hampir menyerah, atau yang membuat berantakan semua cita-citanya. Kalau dipikir-pikir ia hebat bisa menang menyelesaikan semua masalahnya selama ini. Sudah 16 tahun hampir bulat 17 ia mampu bernafas sampai sekarang. Mampu tetap berjalan meski terseok berkali-kali.

Tak apa, ia bangga.



“Dek!! Sini makan dulu!!” Mama memanggil, setelahnya bau harum bumbu mie instan memasuki indra penciumannya. Dengan semangat ia berlari masuk.

“ma, aku nggak bisa masuk, gelap takut nabrak!” Jefran berhenti diambang pintu, menyadari ia tak membawa senter atau handphone untuk sekedar menerangi jalannya.

“sebentar, biar dijemput papa!” sahutan kembali ia dengar.








~







“dek, kak kalian gimana sekolahnya?” Mama membuka percakapan.

“datar banget!!! Nyesel nggak ikut ekstrakurikuler, tapi telat kalo mau gabung sekarang” ungkap Joyara sedih. Sungguh, ia iri melihat temannya yang nampak aktif disekolah, mendengar  Yeira yang bercerita tentang organisasinya, cerita tentang lelahnya saat pulang larut. Ia juga ingin merasakannya, tapi jika datang waktunya mendaftar ia pasti malas, membayangkan betapa padatnya jadwal minggunya. Tapi setelahnya ya seperti ini, ia selalu iri melihat keaktifan teman-temannya.

“katanya nggak mau jadi siswa aktif..” ayah menyeletuk, mencuri satu sosis di mangkuk Jefran yang mendapatkan pukulan di sendoknya dari anaknya.

“ih aku mah masih keliatan aktifnya, coba anda bertanya kepada anak bungsu anda. Apakah pekerjaannya di sekolahan?” Joyara melirik sinis pada Jefran.

“saya sangat sangat populer di bandingkan dengan anda, tuan putri” kata Jefran sedikit membungkukkan badannya.

“kamu mah terkenal gara gara sangkar masalah dek” Papa geleng-geleng. Memikirkan mengapa anak bungsunya begitu menyombongkan diri.

“jangan buat masalah banyak banyak dek..kamu masih awal masuk aja udah begini. Nanti susah kalo udah mau lulus...” nasihat mama.

Jefran hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menyeruput mie dalam mangkuknya. Mengecap rasa micin yang begitu nikmat.

Tak bohong bahwa mie instan adalah pemenang disegala bencana kelaparan. Pembuatannya yang mudah, seperti namanya ‘instan’. Hanya butuh perjuangan menunggu air mendidih dan menunggu mienya matang. Hanya itu.

Tapi ini bukan tentang mie instan. Ini tentang hidup.

Bukankah untuk menghasilkan sebungkus mie ada para pekerja disana yang mengolah dan dituntut cekatan mengikuti gerakan cepat mesin.

Lalu bagaimana dengan mesin yang terus beroprasi mengolah, membungkus mie tanpa henti?
Bukankah itu juga melelahkan.

Yang semua tahu adalah, mie instan adalah makanan cepat saji yang mudah dimasak.


Ya, mudah.

Tapi semua butuh perjuangan untuk mencapai sesuatu yang nikmat dipandang mata.



















































....

Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang