“Permisi, pak. Ini proposal tentang penambahan fitur pada aplikasi kita yang harus bapak tanda tangani.”
“Oh, iya-iya, coba saya lihat dulu.”
Hwang Hyunjin, pria 32 tahun itu menerima sebuah map berisi proposal. Dibacanya dengan saksama sebelum ia goreskan tinta pulpen seharga 5 juta pada kolom tanda tangan.
Ddrrttt...
Ponsel Hyunjin bergetar panjang diiringi dengan lantunan nada dering yang cukup nyaring. Atensinya teralihkan pada benda pipih kesayangannya. Matanya membulat lebar saat membaca nama yang tertera pada layar, ekspresinya yang berlebihan mengundang rasa penasaran dari sang sekretaris.
“Siapa pak?” tanya Karina, sekretaris Hyunjin.
“Ibuku menelpon!” jawab Hyunjin panik.
Dengan tangan gemetar, Hyunjin segera memencet tombol berwarna hijau dan mengarahkan benda tersebut ke telinganya.
“Halo! Lama sekali angkatnya?!”
Dijauhkannya benda pipih itu dari telinga begitu suara teriakan dari sang ibunda sangat menusuk gendang telinga.
“Maaf, ma, Hyunjin sibuk. K-kenapa mama telpon?”
“Kenapa-kenapa. Mama mau balik ke Korea sekarang! Besok kamu harus jemput mama pokoknya! Jangan banyak alasan!”
“HA?! Se-sekarang mama bilang?” Hyunjin menatap Karina seakan meminta bantuan.
“Iya sekarang! Kenapa? Jangan bilang kamu belum menikah?! Besok kamu turun jabatan!”
“S-sudah kok, ma. Jangan diturunin, dong, jabatanku,” rengek Hyunjin seperti bocah usia 3 tahun.
“Jawab jujur, kamu udah nikah apa belum?!”
Hyunjin kembali menatap Karina, ia butuh bantuan sekarang. Yang ditatap jadi ikut kebingungan.
Dengan asal Karina mengatakan ‘Sudah’ dengan nada yang lirih.
“S-sudah, ma. Hyunjin udah nikah.”
“Serius kamu?! Kok nggak kabarin mama?! Bohong, ya?!”
“E-enggak, kok, ma. Hyunjin beneran udah nikah, kok.”
“Bagus. Cewek apa cowok? Sini fotonya kirim ke mama!”
“E— ra-rahasia, besok mama lihat sendiri aja. Udah, ya, ma, Hyunjin mau meeting.”
Hyunjin memutuskan sambungan teleponnya begitu saja, seketika bahunya merosot lega.
“Gimana, dong? Mama mau kesini sekarang!” Hyunjin mengacak rambutnya frustasi.
“Gimana, ya, pak? Saya jadi ikut bingung.”
“Yaudah, abaikan proposal itu. Sekarang, kamu harus bantu saya.”
“Bantu apa, pak? Saya nggak mau jadi istri bapak.” Karina menggeleng keras.
“Siapa bilang kamu mau saya jadiin istri? Kamu bantu saya buat atur rumah biar ala-ala rumah pasutri, terserah kamu apain. Terutama kamar saya, atur aja sedemikian rupa.”
“Baik, pak. Kalo begitu, saya permisi.”
Hyunjin menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi begitu Karina keluar dari ruangannya.
“Gue harus nyari istri dimana coba? Mama juga, kenapa mendadak banget bilangnya?!”
“Ah, tau deh!”
Hyunjin menyambar kunci mobilnya dan berjalan keluar dari ruangan.
*
Pria 32 tahun itu kini berada di tengah jalan raya, berkendara dengan santai sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan atau apa yang harus ia katakan pada sang ibunda nanti.
“Pusing!” Tangannya mengacak rambut frustasi.
Lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah membuat mobil mahalnya berhenti guna mematuhi peraturan.
Mata Hyunjin memandang sekitar, melihat-lihat apapun yang bisa dilihat. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pemuda berambut pirang yang sedang berdiri di halte bus yang ada di depan sana.
“Eh, gila lo mau jadiin dia istri lo!” Hyunjin menggeleng ribut saat pikirannya dipenuhi dengan rencana-rencana gila untuk mengelabuhi ibunya.
“Eh, tapi boleh juga.”
Lampu berganti hijau, mobil Hyunjin kembali berjalan. Mobilnya berhenti lagi di halte tempat dimana pemuda pirang yang menarik perhatiannya itu berdiri.
Hyunjin turun dari mobil dan langsung membawa pemuda pirang itu masuk ke dalam mobil.
***
TBC.-Jizah

KAMU SEDANG MEMBACA
MY WIFE || HyunJeong
Romance"Eh, apa, nih? Om siapa, ya? Mau culik saya?" - Yang Jeongin "Sssttt, udah ikut saya bentar!" - Hwang Hyunjin *** Tentang niat awal Hwang Hyunjin yang harus berpura-pura mempunyai istri hanya untuk memenuhi keinginan sang ibu. Sampai ketika semua be...