Park Jimin
☆☆☆
Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi dengan masa depan. Terkadang saat masih belia, kita memiliki suatu keinginan yang hendak diwujudkan saat dewasa nanti. Namun seiring berjalannya waktu, kita tau bahwa untuk mewujudkan keinginan itu bukanlah hal yang mudah. Terkadang keadaan lah yang menjadi rintangan utama kita.
12 Tahun Kemudian.
Bayangan sosok tegap dalam balutan aura dingin itu bergerak tenang di sepanjang lorong bawah tanah. Keadaan yang sangat sepi membuat langkah kakinya yang mengenakan sepatu kulit terdengar di sepanjang lorong panjang nan sempit tersebut. Suasana semakin mencekam karena disepanjang jalan menuju ruangan utama itu hanya di isi lampu remang-remang.
Justin Arley, pemilik tubuh tegap itu terus berjalan tanpa merasa takut sedikitpun. Tatapannya yang datar tanpa ekspresi ditambah sorot matanya yang selalu menajam waspada benar-benar menambah aura tak menyenangkan di ruang bawah tanah itu. Jika orang lain merasa takut berada di ruangan seperti itu, baginya hal ini sudah biasa.
Karena sejak kecil dia sudah di ajarkan untuk tidak memiliki rasa takut terhadap apapun.
Saat ini pemuda tampan itu sedang berada diruang bawah tanah rumah keluarganya yang juga menjadi markas utama dari organisasi Lamosa dimana ayahnya lah yang memimpin. Organisasi yang menjadi obsesi tersendiri bagi ayahnya dan akan menurun kepada Justin dimasa yang akan datang.
Lorong itu berjarak hampir 15 meter dari tangga spiral yang menghubungkan lantai atas menuju ruang pertemuan. Begitu sampai di sebuah pintu tunggal yang tingginya hampir dua kali dari tubuhnya, pemuda itu langsung membukanya setelah mengetuknya sekali.
Ruang pertemuan terasa penuh karena semua pengikut inti Lamosa berada disana, duduk secara teratur di meja yang mengisi ruangan. Berbeda dengan lorong di luar sana, di dalam ruangan tersebut terbilang sangat nyaman dengan lampu yang lebih terang dan dinding-dinding sekitar yang terisi lukisan-lukisan favorit sang pemimpin.
“Justin?”
Justin menunduk kaku untuk memberi sapaan kepada ayahnya yang sedang mematai lukisan wanita tanpa busana di belakang kursi kebanggaannya.
“Sepertinya aku terlambat.” Kata Justin dengan intonasi suara yang tidak bernada karena tanpa emosi.
Steve Allard berbalik dan menatap putra pertamanya itu dengan senyum menyeringai. “Tidak masalah, kami tidak keberatan untuk menunggu. Kami tau kau sibuk dengan masalah pabean.”
Steve mungkin berkata begitu, tapi Justin tau beberapa orang yang ada dalam ruangan tersebut mencibir tidak terima.
Tapi Justin memilih untuk tidak peduli.
“Duduklah, Justin. Ada beberapa hal penting yang harus kita bahas.”
Tanpa protes, Justin mengambil posisi duduk di dekat kursi kebanggaan ayahnya yang juga berhadapan langsung dengan dua orang wanita yang memiliki wajah serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ ⭐️ ] Lacrymosa
Fanfiction[ PDF : 35.000 ] I Can't Change Who I Am - Lacrymosa