Lorong yang panjang dan gelap membentang luas di kediaman Haitani. Semua ruangan yang berada di sana tertutup rapat oleh pintu.
Sunyi dan sepi, itulah kesan yang akan di berikan ketika kalian berada di sana. Tak ada satu orang yang berjaga dan melintasi lorong itu.
Namun, ada satu ruangan yang cukup menarik perhatian. Pasalnya, terdengar suara riuh dari dalam sana. Cahaya yang keluar dari bahwa pintu semakin membuat jiwa ini penasaran dibuatnya.
Ketika kita masuk kedalam ruangan itu, terdapat Sanzu yang duduk di sofa, dengan beberapa kapsul obat berada di tangannya.
Matanya nampak berair, mungkin efek dari pemakaian sabu yang berlebihan.
Di hadapannya, menyala televisi yang menampilkan siaran ramah anak. Beberapa tokoh kartu akan muncul untuk menghibur dan memberi sedikit pembelajaran yang cocok untuk anak yang belum memasuki masa sekolah.
Tapi, apa mungkin Sanzu yang telah lama memasuki masa kanak-kanak ini mau menonton acara seperti ini?
Bagi dirinya, membunuh dan melihat orang menderita adalah hiburan yang pas untuk otak udang seperti dirinya.
Tak jauh dari sofa, tempat Sanzu duduk. Terdapat Takemichi yang tengah berdiri.
Tubuhnya dililit satu kain bermotif abstrak dan terikat pada satu tiang penyangga.
Matanya nampak sembab, ingin rasanya bocah kecil ini teriak sekeras mungkin dan memanggil ayah ataupun pamannya.
Namun, hal itu tak bisa dirinya lakukan, karena mulut kecil itu telah tersumpal kue dengan isian kacang hijau.
Tubuh kecil itu terus meracau agar ikatan kain ini dapat terlepas dari tubuhnya.
'Daddy... Michi takut.' batinnya.
Ini masa kecil saya, bagaimana dengan kalian?
Sudah 2 jam Takemichi diam, tubuhnya sudah mati rasa karena ikatan yang Sanzu buat terlalu kencang dan menyakitkan bagi anak yang masih di bawah umur.
Kue yang menyumpal di mulut nya telah terjatuh, mungkin karena rasanya yang tak enak membuat Takemichi memuntahkan nya.
Sanzu masih berada di posisi nyamannya. Namun, kali ini matanya tertuju pada Takemichi yang tengah tertidur.
Ia berjalan mendekat, surai hitam yang legam itu diusak dengan lembut agar sang pemilik tak terganggu.
Bibir mungil nya seperti menarik hawa nafsu Sanzu untuk segera menodai tubuh suci dari putra rekan kerjanya.
Ketika wajahnya mendekati bibir itu, sebuah kapak telah berada di samping lehernya.
Hawa dingin yang menusuk seakan menjadi peringatan agar dirinya mundur dan pergi dari sana se segera mungkin.
Tapi, sudah terlambat. Bisikan yang terdengar biasa saja, namun terkesan dingin itu seakan membuat tubuhnya membeku.
"Kau mau apa, Sanzu."
Ran tersenyum, kapak yang ia pegang masih bertengger di leher Sanzu. Pisau kapak yang tajam telah menyentuh, dan sedikit menggores leher dari pria bersurai Roxy pink.
"Kau belum menjawab pertanyaan ku." Ucap Ran .
Sanzu sendiri bersusah payah menelan ludahnya. Tangannya sedikit bergetar karena takut akan kemarahan Ran.
"Kau mau membunuh anakku?" Tanya Ran menarik kerah kemeja yang Sanzu kenakan.
Tubuh Sanzu yang cukup berat itu sedikit terangkat. Dengan kasar, pria yang berstatus sebagai duda itu melempar tubuh sang rekan dan mengenai dinding.
Kapak yang ia pegang tadi dilempar dan menggores pelipis Sanzu.
"Kau, benar-benar tak punya otak ya?"
Sanzu diam. Tak menanggapi apa yang Ran katakan.
Dirinya seperti linglung akan keadaan. Tak bisa memahami situasi dan kondisi yang sekarang tengah terjadi.
Takemichi yang masih terikat di sudut ruangan sedikit melenguh. Matanya yang terpejam sedikit mengeluarkan air mata yang masih tersisa.
"Daddy... " Lirihnya.
Ran yang masih sibuk dengan Sanzu segera mengalihkan pandangannya pada putra kecilnya yang tengah tertidur dengan posisi berdiri.
Tanpa pikir panjang, pria berusia 25 tahun itu segera menghampiri sang anak. Ikatan kain tadi di lepas, tubuh kecil yang sekarang penuh dengan memar di gendong pelan agar tak mengganggu tidurnya.
Air mata yang bertengger di pelipis sang anak ia usap dengan pelan.
"Rindou, bawa dan kebiri dia. Kalau bisa potong saja sampai pangkalnya." Perintah Ran pada Rindou yang berada di dekat Sanzu.
Pria dengan surai yang sama dengan Ran itu tengah berjongkok dan mencabut satu demi satu helai rambut milik pria yang sekarang tengah terkapar.
"Kau yakin dengan kebiri itu cukup untuk menghukum Sanzu?" Tanya Rindou.
Senyum penuh kelicikan dari ayah satu anak ini tampilkan.
"Ya, lain kali kita bedah otaknya dan menggantinya dengan otak babi." Ucap Ran meninggalkan Rindou.
Helaan napas terdengar. Tubuh yang terkapar tadi, ia seret dengan kasar dan membawanya menuju ruang bawah tanah.
Tawa penuh nista menggema di lorong yang panjang itu.
"Masa depan mu akan segera menghilang, Sanzu."
Sedang terkapar lemas karena flu yang melanda.
Pinterest.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda [ Ran x Takemichi ] ✔
Short StoryEnd. Berusaha menjadi orang tua yang baik dengan sifat yang sedikit tidak normal. . . . . Karakter bukan milik saya!! Terima kasih.