Part 3 : Pulang Sekolah

39 32 114
                                    

"Semua berawal dari pertemanan. Pengkhianatan, iri, benci, bahkan rasa cinta berawal dari kata teman."

Saat ini, Bintang dan siswa lain di kelasnya sedang membereskan meja masing-masing. Baru saja terdengar bel pulang sekolah berbunyi. Semuanya bergegas, seolah ingin cepat terbebas dari segala tekanan di sekolah itu.

Satu persatu siswa keluar dari kelas dengan wajah senang. Wajahnya terlihat seperti baru saja memenangkan perlombaan. Sepertinya mereka sudah menantikan waktu pulang.

Berbeda dengan yang lainnya, Bintang justru kembali terduduk di bangkunya setelah selesai membereskan barang-barangnya. Wajahnya tertekuk setelah dari melihat pesan di handphonenya. Sepertinya dia belum mendapatkan kepastian untuk dijemput atau tidak.

"Ada apa?" tegur Adnan.

"Apa?" Bintang malah bertanya balik.

"Biasanya setelah selesai beberes, kamu akan segera keluar kelas dan pulang. Tapi kenapa sekarang kamu malah duduk kembali?"

"Mungkin hari ini aku akan pulang telat."

"Tidak dijemput?"

"Sepertinya. Tapi aku juga tidak tahu, papaku belum juga membalas pesan."

"Mau ikut denganku?"

"Terima kasih untuk tawarannya, tapi aku akan menunggu kabar dari papaku saja."

"Kamu yakin?" tanya Adnan untuk memastikan.

"Iya, aku akan menunggu di halte dekat gerbang saja."

Bintang melenggang pergi keluar dari kelas. Tidak mungkin dirinya akan menumpang pada Adnan, apalagi Adnan menggunakan motor, akan susah untuk menjaga jarak. Mungkin Bintang akan menunggu, meskipun jika sampai pada jadwal angkot terakhir.

Ada beberapa siswa yang juga menunggu di halte itu. Kebanyakan dari siswa yang tinggal jauh dari sekolah sehingga harus menaiki bus.

Sudah lima menit menunggu, Bintang masih belum mendapatkan kabar dari papahnya. Sudah tidak ada lagi siswa yang berada di halte itu, hanya tersisa dirinya sendiri. Hingga tidak lama kemudian, sebuah motor menghampirinya di halte itu.

Bintang tidak tahu siapa orang itu. Postur tubuhnya seperti tidak asing, tetapi wajahnya tidak terlihat karena orang itu menggunakan helm full face. Bintang menjadi sedikit khawatir, takutnya itu adalah seorang penculik yang akan menculik dirinya. Bintang memilih untuk tidak melihat ke arah motor itu.

"Belum pulang juga?"

Suara itu familiar di telinga Bintang, seperti suara seseorang yang selalu mengganggunya. Bintang mencoba melihat ke arah seseorang yang tadi berbicara.

"Adnan?!"

"Iya, kenapa?"

"Astaghfirullah, aku pikir penculik."

"Sembarangan, tidak ada penculik setampan ini. Lagipula penculik pasti akan berpikir dua kali untuk menculik orang sepertimu."

"Meskipun aku begini, aku sudah bisa masuk kriteria orang yang akan diculik."

"Jadi kamu ingin diculik?"

"Tidak." Bintang langsung memalingkan wajahnya.

Adnan merasa gemas dengan sikap Bintang. Terkadang lucu, manis, tetapi terkadang juga menyebalkan. Adnan menyukai saat dirinya mengganggu Bintang, wajah cantik Bintang dengan balutan hijab di kepalanya membawa kesan yang kuat.

Masih sedikit siswi yang menggunakan jilbab saat ke sekolah. Dan dari semua siswi yang berhijab itu, hanya Bintang yang paling menonjol. Bintang itu, bukan hanya kepalanya yang di balut hijab, tetapi juga hati dan sikapnya. Dia tidak berlebihan dalam pergaulan, memiliki batasan. Apalagi jika dengan lawan jenis, Bintang cenderung menghindar.

Adnan memutuskan untuk duduk di samping Bintang dengan memberi jarak sedikit. Dia tahu jika Bintang tidak suka jika dirinya terlalu dekat. Oleh karena itu, lebih baik dirinya antisipasi sebelum Bintang mengomel lagi.

"Kamu tidak pulang?"

"Ekspresi wajahmu menunjukkan jika kamu takut sendirian, jadi aku temani saja."

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

"Aku tidak meminta izin darimu, aku memang ingin melakukannya."

"Adnan, kamu ini kenapa? Aneh sekali sejak kemarin."

"Aku tidak aneh, aku memang seperti ini."

Bintang memilih untuk mengabaikan keberadaan Adnan. Bintang memastikan sekali lagi apakah papanya sudah menjawab pesan darinya atau belum. Sayangnya, jangankan menjawab pesan itu, dibaca pun tidak. Bintang merasa heran, tidak biasanya papanya begini.

Tiba-tiba Bintang mendapatkan panggilan masuk dari mamanya. Panggilan itu tidak langsung diangkat oleh Bintang, dia justru merasa heran dan terdiam. Akhirnya dia mengangkat panggilan itu setelah beberapa saat.

"Assalamualaikum, Bintang," ucap seseorang di seberang sana.

"Iya, Ma. Waalaikumsalam."

"Hari ini kamu pulang sendiri dulu ya, Papa sedang tidak bisa menjemputmu."

"Ada apa, Ma? Tumben sekali begini, bahkan Papa tidak membalas pesanku sejak tadi."

"Iya, Papa meminta maaf soal itu. Kamu segera pulang, ya!"

"Iya, Ma. Tapi ada apa dengan Papa, Ma?"

"Papa..., Papa kecelakaan, Bintang."

Bintang terkejut mendengar ucapan mamanya. Handphonenya terlepas dari genggaman dan membuat panggilan itu terputus karena handphone itu mati.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un." Bintang menutup mulutnya tidak percaya.

"Bintang, siapa yang meninggal?" tanya Adnan yang ikut panik melihat kekagetan Bintang.

"Papa...."

"Ayo! Aku antar kamu pulang, kamu harus segera pulang 'kan?"

"Tidak, aku akan menunggu angkot terakhir."

"Sudah telat, angkot itu sudah lewat saat kamu menerima telepon tadi."

"Kenapa kamu tidak bilang?"

"Tidak mungkin aku melakukannya saat kamu sedang menerima panggilan."
Bintang terdiam, dia tidak tahu harus melakukan apa.

"Percaya denganku, aku tidak akan melakukan hal macam-macam kepadamu."

"Baiklah, sekali ini saja. Terima kasih," ucap Bintang akhirnya menerima tawaran dari Adnan.

"Tidak masalah."

Double up untuk hari ini!!!
Tinggalkan jejak dengan vote and koment ya!!
Budayakan follow sebelum membaca🙃

ASTROPHILIA (Antara persahabatan dan impian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang