Happy Reading
_________"Hal yang paling menyedihkan ialah ketika kita tidak bisa melakukan apapun saat orang yang kita sayang sedang berada di titik terlemah."
"Adnan, kamu tahu jalan ke arah rumah sakit Sejahtera, 'kan?" tanya Bintang saat motor yang ditumpangi dirinya dengan Adnan sudah melaju cukup jauh.
Setelah mendengar berita tentang papanya itu, kepala Bintang hanya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan kepada papanya saja. Pikirannya Penuh akan pertanyaan mengenai bagaimana kondisi papanya saat ini.
"Iya, aku tahu. Ada apa?"
"Antar aku ke sana."
"Kamu tidak pulang ke rumah? Kamu bilang papamu meninggal."
"Astaghfirullah, aku tidak pernah mengatakan hal itu. Kamu mendoakan papaku meninggal?" Bintang terkejut dan sedikit tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Adnan.
"Tadi di halte kamu mengucap innalilahi. Saat aku tanya siapa yang meninggal, kamu jawab papa."
"Tentang itu, aku tidak sedang menjawab pertanyaanmu. Aku khawatir, jadi tanpa sadar memanggil papaku."
"Oke, aku minta maaf karena salah paham. Itu karena kamu bilang innalilahi jadi aku berpikir ada yang meninggal."
"Apa kamu tidak tahu?" Bingung Bintang.
"Apa?" Adnan tidak bisa menangkap maksud dari pertanyaan Bintang.
"Kalimat itu tidak hanya diucapkan ketika ada orang meninggal saja, tapi juga diucapkan saat mendapatkan musibah. Sekecil apapun musibahnya, kamu harus mengucapkan kalimat itu. Seperti misalnya hanya tersandung batu."
"Aku baru tahu."
"Tidak masalah."
"Jadi sekarang kita ke rumah sakit Sejahtera?"
"Iya."
Keduanya melewati jalanan yang cukup padat, tentu karena sudah waktunya jam pulang kerja. Jalanan banyak dipenuhi oleh pengendara motor. Semuanya terlihat buru-buru ingin cepat pulang, apalagi dengan keadaan cuaca yang mendung seperti hendak turun hujan.
Tidak ada pembicaraan lagi antara Bintang dengan Adnan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meskipun Adnan harus tetap fokus pada jalanan yang padat itu.
Hingga setelah lima belas menit perjalanan, keduanya sampai di parkiran. Bintang berjalan cepat menuju meja resepsionis untuk menanyakan letak kamar papanya. Sedangkan Adnan hanya mengikuti kemana saja Bintang pergi. Dirinya baru pertama kali melihat wajah panik Bintang yang terlihat sangat sedih itu.
Setelah mengetahui nomor kamar papanya, Bintang langsung menuju kamar yang dimaksud. Sampai di lorong rumah sakit, Bintang melihat mamanya yang berada di kursi tunggu. Mamanya terlihat sangat sedih dan terpukul di samping tas besar yang berisi barang-barang untuk antisipasi jika menginap.
Bintang langsung memeluk mamanya yang bergetar akibat menangis yang sulit untuk ditahan. Bintang berusaha menenangkan dan menguatkan mamanya. Tetapi meski begitu, Bintang pun tidak bisa lepas dari tangisannya.
Adnan yang menyaksikan itu lebih memilih untuk diam. Dia tahu bagaimana rasanya ketika mendengar orang yang disayang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Dia tahu rasa sakit itu, yang bahkan tidak bisa ia lupakan hingga sekarang.
"Ma?" ujar Bintang.
"Bintang, Papa...." Mama Bintang yang bernama Resa itu tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Bintang tahu, Ma. Tapi Mama harus tenang, insyaallah Papa baik-baik saja."
Bohong jika Bintang mengatakan dirinya baik-baik saja. Dia pun merasakan kekhawatiran yang besar dan dibarengi dengan rasa takut. Tetapi dirinya harus terlihat kuat di hadapan mamanya. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan menguatkan Resa.
"Sampai saat ini, Mama belum tahu keadaan Papa. Sudah satu jam lebih mereka memeriksa keadaan Papa, tapi belum juga keluar dari ruangan itu." Resa menjelaskan dengan kondisi dirinya yang masih sesenggukan.
"Apa separah itu?" tanya Bintang dengan rasa terpukul.
Resa hanya menggeleng kuat karena dirinya pun tidak tahu bagaimana keadaan suaminya. Dirinya sudah dibayangi rasa takut akan kehilangan. Dia kesulitan menampik rasa itu meski sudah berusaha beberapa kali.
"Bagaimana bisa terjadi, Ma? Bukan maksud Bintang mempertanyakan takdir Allah, tapi bagaimana kronologinya, Ma. Bagaimana Papa bisa seperti ini?" Bintang menahan isakkannya.
"Mama juga tidak tahu pasti. Mama hanya mendapatkan panggilan dari handphone Papa tapi bukan Papa yang berbicara. Orang itu bilang jika Papa kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit ini di kamar nomor 27." Resa berusaha menjelaskan apa yang dia tahu.
"Sekarang, orang itu dimana, Ma? Apa masih ada?"
"Dia sudah pergi, tapi Mama sempat bertemu dengannya sebentar dan berterima kasih karena sudah membawa Papa kemari."
Bintang merasa sedikit lega karena setidaknya masih ada orang baik yang mau menolong papanya. Karena sudah sangat sulit menemukan orang baik yang menolong tanpa pamrih.
Sesaat kemudian, Bintang baru teringat jika dirinya tadi sedang bersama dengan Adnan. Dia merasa sangat bersalah karena melupakan keberadaan Adnan yang sudah menolongnya agar bisa cepat sampai di rumah sakit ini.
"Ma, tadi Bintang ke sini di antar sama teman Bintang. Dia Adnan." Bintang memberi isyarat kepada Adnan untuk menghampirinya.
"Assalamualaikum, Tante." Adnan menyalami tangan Resa.
"Iya, waalaikumsalam." Resa tersenyum ke arah Adnan. "Terima kasih sudah mengantar Bintang."
"Iya, Tante. Sama-sama."
"Permisi, dengan keluarga Pak Herman?"
Seorang dokter keluar dari ruangan yang sejak tadi ditunggui oleh Bintang dan Resa.
"Iya, saya istrinya." Resa langsung bangkit menuju dokter itu, begitu juga dengan Bintang dan Adnan.
"Begini, Bu, kondisi pasien cukup parah. Pak Herman kehilangan banyak darah dan beliau juga harus menjalankan operasi segera. Ibu bisa ikut ke ruangan saya jika Ibu mengizinkan pasien untuk menjalankan operasi."
Resa merasa tubuhnya ditusuk ribuan belati. Seketika lemas dengan perasaan sangat sedih. Dirinya tidak bisa mengendalikan tubuhnya hingga Bintang menahannya agar tidak terhuyung jatuh ke lantai.
"Apa separah itu, Dok?" Bintang ikut panik setelah mendengar penuturan dari dokter.
"Pasien banyak mengalami komplikasi, Dek. Operasi ini harus segera dilakukan meskipun dengan kemungkinan kecil. Setidaknya kami akan berusaha sebaik mungkin agar pasien bisa diselamatkan."
"Astaghfirullah."
Tangisan Bintang luruh, dirinya lemas hingga terjatuh dengan masih memeluk tubuh mamanya. Keduanya tidak bisa menahan kesedihannya. Semuanya tumpah begitu saja.
Terima kasih sudah berkunjung!!
Budayakan follow sebelum baca😬
Jangan lupa vote and koment yaa🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTROPHILIA (Antara persahabatan dan impian)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca!! Awal publish : 01 Juli 2022 Tentang dia yang perlahan dihadapkan pada kepergian orang-orang tersayangnya. Bintang. Gadis pendiam yang berusaha bangkit beberapa kali dari masa keterpurukannya. Hingga akhirnya, bertemu denga...