Part 9 : Kembali Luka

7 7 4
                                    

Happy Reading!!
__________

"Segala peristiwa mempunyai alasan mengapa bisa terjadi, bahkan jika hal itu adalah kembali kehilangan."

"Bintang, Kakak akan pergi menemui Mama, mungkin akan pulang sedikit larut."

"Baiklah, tidak apa, Kak. Bintang tidak sabar menanti kepulangan Mama, semoga saja Mama cepat dipulangkan."

"Aamiin, Kakak tinggal dulu, ya?"

"Siap, Kak."

"Assalamualaikum," salam Raka.

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Kak!"

Bintang menyalami tangan Raka. Sepertinya malam ini akan cukup panjang. Bintang akan menanti kepulangan Raka untuk menanyakan kondisi Resa, mamanya.

Sudah sebulan berlalu semenjak Raka memutuskan untuk membawa Resa ke tempat terapi psikologis. Beberapa kali pun Bintang sempat mengunjungi mamanya dan terlihat sudah ada perkembangan yang cukup membuat Bintang merasa senang.

Perlahan-lahan harapan kembali hadir. Bintang kembali menata mimpinya dan memunculkan semangat yang sudah hampir hilang. Sekarang Bintang terlihat lebih ceria dari saat setelah Herman dikebumikan.

Tentu saja ingatan itu tidak akan hilang, tetapi setidaknya untuk sekarang Bintang memiliki Raka yang menemani masa terpuruknya dan membangkitkan kembali semangat hidupnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa Raka pun sama sedihnya dengan Bintang, tetapi Raka hanya ingin tetap terlihat kuat di mata Bintang.

Saat ini, Bintang berencana untuk mengunjungi perahu kecilnya. Perahu buatan Herman yang menjadi peninggalan berharga bagi Bintang. Setidaknya hanya dengan cara itu Bintang kembali merasakan kehadiran sosok Herman, sosok yang tidak akan pernah lepas dari ingatan Bintang.

Bintang berjalan ke arah tempat ia biasa memarkirkan perahunya. Taman itu terlihat lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena orang-orang sudah mulai bosan dengan pemandangan taman yang hanya itu-itu saja. Berbeda dengan Bintang yang justeru semakin sering mengunjungi taman itu karena dia merasa bahwa langit yang selalu ia lihat itu memiliki formasi yang berbeda-beda setiap harinya.

"Tunggu!"

Seseorang menahan Bintang saat hendak menaiki perahu kecil itu. Seseorang itu terlihat berusaha untuk berjalan lebih cepat.

"Adnan?" Bintang menatap heran sosok yang tadi menahan dirinya.

"Aku ikut naik, ya?"

"Hah?"

Tanpa menjawab kebingungan Bintang, Adnan justeru dengan santainya menaiki perahu kecil itu terlebih dahulu sebelum Bintang mengizinkan atau bahkan melarangnya.

"Loh?"

"Kamu tidak akan naik?" Adnan dibuat bingung karena Bintang yang hanya diam menatapnya. "Kalau kamu tidak naik, ya sudah, biar aku saja."

"Enak saja! Itu kan milikku."

"Aku tahu, biarkan malam ini aku jadi penumpang mu."

Bintang diam sejenak menatap Adnan, dia tidak tahu harus melakukan apa. Sampai akhirnya Bintang menyetujui permintaan Adnan. Toh perahu itu masih cukup untuk dua orang.

"Seharusnya kamu meminta izin sebelum menaiki perahu ku." Bintang sedikit mendengus kesal sambil mulai mendayung perahunya.

"Iya, aku minta maaf. Aku tahu kamu tidak akan mengizinkanku, jadi aku naik saja." Adnan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jujur saja, aku senang karena akhirnya bisa merasakannya."

"Merasakan apa?"

"Menaiki perahu ini, apa lagi?"

"Tidak tahu." Bintang mengedikkan bahunya.

Keduanya terdiam sambil menikmati pemandangan yang terlihat indah. Meskipun Bintang sudah biasa melihatnya, tetapi bagi Adnan hal itu adalah pertama kalinya ia melihat pemandangan taman dari atas perahu yang selama ini hanya bisa ia lihat tanpa menaikinya.

Pemandangan itu jelas terlihat jauh lebih indah dari hanya menatap di kursi taman. Di atas perahu itu, Adnan menyaksikan banyak rasa yang terlihat mengudara. Tentu karena danau itu berada tepat ditengah-tengah taman. Adnan melihat kesedihan, kebahagiaan, kecewa, marah dan berbagai rasa lainnya menyatu di taman itu.

"Bintang." Adnan tetap memperhatikan keadaan orang-orang yang berada di sekitar danau itu

"Ada apa?"

"Apa yang kamu lihat saat berada di atas perahu ini?"

Pertanyaan dari Adnan membuat fokus Bintang teralihkan. Dari yang awalnya fokus mendayung agar perahu tepat berada di tengah danau, menjadi beralih menatap Adnan sepenuhnya.

"Semuanya."

"Apa itu artinya kamu selalu melihat mereka yang berada di pinggir danau?"

"Tidak. Aku lebih suka menatap titik harapan."

"Maksudnya?"

"Dari semua rasa yang tercipta di taman ini, bahkan untuk rasaku sendiri, semuanya akan berujung pada pengharapan. Bagaimana pun keadaanmu, kamu harus tetap memiliki harapan."

"Itu sulit bagi sebagian orang." Adnan menatap sepenuhnya ke arah Bintang yang saat ini sedang menatap ke arah langit.

"Benar. Bahkan orang yang sedang bahagia pun bisa lupa untuk tetap berharap, entah untuk tetap berada pada kebahagiaan itu atau apa pun."

Adnan merasa kagum dengan pemikiran Bintang. Perkataan itu ringan saja, tetapi kenyataannya hal itu memang sering terjadi.

Bintang yang dulu dikenalnya sebagai siswi yang cukup pendiam dan tidak suka didekati, siapa sangka memiliki pemikiran yang cukup dewasa. Seolah dirinya telah melewati banyak rasa sakit akibat dari takdir hidupnya yang cukup kejam. Meskipun Adnan pun tidak tahu bagaimana kehidupan Bintang sebenarnya dan bagaimana kondisi jiwanya.

"Jadi, apa titik harapan yang kamu maksud?" Adnan ingin lebih mengenal Bintang yang dirasa berbeda dengan gadis lainnya.

"Langit, apa lagi?"

"Langit?"

"Iya, hanya langit yang bisa melihat harapan-harapan itu. Bahkan aku selalu memotretnya ketika aku memiliki harapan. Bagian mana yang kulihat saat harapan itu muncul, maka bagian itu yang akan aku potret."

"Jadi, semua fotomu memiliki filosofi?"

"Bisa dikatakan seperti itu, mungkin."

Keduanya kembali terdiam dengan pikirannya masing-masing. Hingga tidak lama, Bintang merasa handphonenya bergetar, tanda ada panggilan masuk untuknya. Bintang segera mengangkat telepon itu, begitu melihat panggilan itu dari Raka.

"Apa anda adik dari pemilik nomor ini?"

"Iya, saya adiknya. Ini siapa, ya? Kakak saya di mana?" Perasaan Bintang mulai tidak enak.

"Jadi begini, Dek. Kakak kamu mengalami kecelakaan di persimpangan jalan Setiabudi. Sekarang baru akan dilarikan ke rumah sakit terdekat."

"Ya Allah, Bapak tidak sedang bercanda, 'kan?"

"Tidak mungkin saya bercanda, Dek. Bahkan saya sudah memanggil ambulans."

"Terima kasih informasinya, Pak. Saya akan segera ke sana."

Ada apa lagi yaa...
Kira-kira Raka bakal bernasib sama nggak ya?
Tinggalkan jejak yukk!!

ASTROPHILIA (Antara persahabatan dan impian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang