Part 7 : Raka

30 27 97
                                    

Happy Reading!!
_________

"Mengikhlaskan tidak semudah melempar barang."

Bintang mulai kembali memasuki sekolah setelah seminggu dirinya izin tidak masuk. Untungnya pihak sekolah bisa mengerti karena memang kondisi Bintang sedang berkabung setelah kehilangan sosok papanya yang terlalu berarti untuk pergi.

Berita itu tersebar luas. Setiap Bintang berpapasan dengan orang lain, ucapan bela sungkawa terus terdengar. Wajah-wajah prihatin begitu terang menatap ke arah Bintang. Apalagi dengan kondisi Bintang yang terlihat sudah kehilangan semangatnya.

Bahkan saat memasuki kelas, tidak ada lagi salam yang terdengar dari mulut Bintang. Dia lewat begitu saja, tanpa melihat bagaimana kondisi kelasnya saat ini. Semua orang menatap sedih ke arah Bintang, hingga Adnan yang duduk sebangku dengan Bintang pun tidak berani untuk menyapa duluan.

"Bintang," sapa Desy mendekati bangku milik Bintang.

Bintang hanya menatap sekilas ke arah Desy. Hal itu semakin membuat orang-orang kasihan pada kondisinya, termasuk Desy.

"Aku tahu, kamu adalah orang paling kuat yang pernah aku temui, Bintang." Desy memeluk erat tubuh Bintang.

Seketika pertahanan Bintang selama seminggu ini luruh. Tangisannya pecah mendengar perkataan dari Desy, karena Bintang tahu jika dirinya tidak sekuat itu.

Tidak semua yang terlihat, menunjukkan bagaimana kondisi di dalamnya. Bintang memang terlihat kuat, tetapi hatinya begitu hancur karena harus menanggung kesedihan sendiri. Resa berubah sejak hari meninggalnya Herman. Bahkan kakaknya yang bernama Raka, belum tahu kabarnya hingga sekarang.

Yang lebih menyedihkan lagi, selama seminggu ini banyak sekali kunjungan dari saudara Resa maupun Herman. Tidak masalah jika kunjungannya memang untuk berbela sungkawa, tetapi mereka berkunjung hanya untuk membicarakan tentang pengalihan sementara perusahaan Herman. Bahkan butik Resa ikut terbawa dalam pembahasan, seolah mereka tahu bagaimana kondisi Resa sekarang yang memang tidak memungkinkan untuk kembali mengurus butiknya.

Berbicara tentang Resa, kondisinya semakin buruk sejak terakhir kali terlihat. Tidak hanya tentang kondisi jiwanya, tetapi juga fisiknya yang kian menjadi kurus karena perutnya jarang terisi makanan. Resa sudah seperti orang lain di mata Bintang, tidak ada lagi Resa yang hangat menyapa di pagi hari.

Setiap hari yang diucapkannya hanya tentang Herman, lupa jika dirinya masih memiliki Bintang dan juga Raka yang sedang berada di luar kota. Bahkan tidak jarang Resa menuduh Bintang lah yang membunuh atau membawa Herman pergi.

Berat sekali bagi Bintang untuk tetap bertahan. Tidak jarang keinginan untuk mengakhiri semua terlintas di pikirannya. Melepaskan takdir dengan paksa. Tetapi setiap kali hal itu akan dilakukannya, ingatan tentang Herman berdatangan. Ingatan tentang impiannya, tentang harapan-harapannya. Semua terlintas begitu saja dan membuat Bintang mengurungkan niatnya.

"Aku tidak sekuat itu, Desy," ucap Bintang setelah Desy melepaskan pelukannya.

"Tidak, kamu gadis yang sangat kuat. Aku yakin soal itu, Bintang."

"Terima kasih."

Senyum pertama Bintang setelah insiden itu akhirnya keluar. Saat ini, yang Bintang butuhkan hanyalah dukungan dan rasa percaya dari orang lain. Orang lain yang percaya bahwa dirinya mampu untuk melewati semuanya.

Meskipun begitu, Bintang masih dengan kekhawatiran dan rasa sedihnya. Bahkan beberapa kali dirinya terlihat tidak fokus saat pelajaran dimulai. Tugas yang seharusnya selesai pun tidak bisa dituntaskannya. Insiden itu benar-benar merenggut banyak hal darinya. Tidak hanya air mata, tetapi juga menguras semangatnya.

Saat ini, Bintang sedang melantunkan ayat demi ayat kitab suci Al-Qur'an setelah selesai menunaikan salat Dhuhur di mushola dalam sekolahnya. Tangisnya luruh bersama lantunannya. Bintang tidak merasa malu karena hanya dirinya yang berada di mushola itu, yang lainnya sudah pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka.

Setelah selesai, Bintang segera merapikan mukena yang dikenakannya dan menyimpannya di tempat yang sudah disediakan. Kemudian dirinya berjalan menuju pintu keluar musholla.

"Setelah seminggu menghilang, akhirnya aku bisa kembali mendengar lantunan itu."

Bintang dikejutkan dengan keberadaan Adnan yang berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Wajahnya menatap sepenuhnya ke arah Bintang.

"Apa maksudmu?" Bintang tidak begitu paham dengan ucapan Adnan.

"Seminggu lalu memang ada siswa lain yang melantunkan Al-Qur'an, tapi tidak ada yang menjadi favoritku. Seminggu lalu, suara itu menghilang dan baru bisa kembali ku dengar hari ini."

"Aku tahu, kamu hanya sedang berusaha menghiburku, 'kan?"

"Tidak, aku memang mengagumi suaramu. Indah dan lembut."

"Terima kasih atas pujiannya, aku permisi."

"Tunggu, Bintang." Adnan mencegah kepergian Bintang, dirinya masih ingin berbincang banyak dengan Bintang.

"Ada apa? Aku ingin kembali ke kelas."

"Kamu tidak ke kantin?"

"Tidak."

"Baiklah, aku hanya ingin memberitahu, LKS milikmu ada di laci ku. Aku lupa memberinya tadi saat jam pelajaran."

"LKS apa?"

"LKS seminggu kemarin saat kamu tidak masuk."

"Oke."

Bintang kembali ke kelas dengan Adnan yang juga berjalan menuju kantin. Keduanya berpisah karena memang tujuan mereka berbeda. Sejujurnya, Bintang merasa sangat lapar. Tetapi ia lupa untuk membawa uang dan membuat bekal. Tidak mungkin jika dia meminjam ke temannya, itu hanya akan membuatnya semakin terlihat menyedihkan.

Tiba-tiba Bintang merasa handphonenya bergetar, tanda ada panggilan masuk. Dilihatnya nama si penelepon itu adalah Raka, kakaknya yang sudah lama tidak bisa ia temui.

"Assalamualaikum, Kak."

"Waalaikumsalam, Bintang."

"Kakak, apa kabar?"

"Alhamdulillah, Kakak sehat. Bagaimana denganmu? Mama? Papa? Kakak sangat merindukan kalian, sudah berusaha menghubungi Papa tapi tidak bisa. Aneh sekali. Tapi tidak apa-apa, lusa Kakak akan pulang. Kebetulan Kakak sedang libur cukup panjang, jadi bisa menemui kalian."

Raka berbicara tanpa tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya. Dia tidak tahu, sulit sekali menghubunginya saat itu. Bahkan sekarang, Bintang menjadi tidak kuasa menahan kesedihannya. Air matanya luruh kembali.

"Kakak kemana saja? Kenapa sulit sekali untuk dihubungi? Apa Kakak tahu? Bintang sendiri, Kak!"

"Apa maksudmu sendiri, Bintang?" Raka dibuat bingung dengan ucapan Bintang.

"Papa sudah tidak ada, Kak. Papa sudah pergi meninggalkan kita." Bintang semakin bergetar akibat dari tangisannya. "Bahkan, sekarang Mama tidak lagi mengenal Bintang. Mama tidak ingat jika Bintang anaknya."

"Kamu sedang berbohong, 'kan?" Raka tidak mempercayai ucapan Bintang.

"Bohong? Kakak pulang saja jika tidak percaya dengan Bintang."

Akhirnya Raka muncul juga....

Thanks buat yg udah mampir, jgn lupa tinggalkan jejak dgn vote and koment!!
Jgn jadi silent reader guysss😭

Sampai ketemu di next part!!!

ASTROPHILIA (Antara persahabatan dan impian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang