Happy Reading!!
________"Selalu ada pengganti terbaik setelah adanya kepergian."
Sebulan berlalu. Pertemanan antara Adnan dengan Bintang menjadi lebih erat. Mereka terlihat seperti saudara yang saling menguatkan. Hampir ke mana pun selalu berdua, sampai banyak yang berpikir jika mereka berpacaran.
Bintang menjadi sering berkunjung ke panti itu, bermain dengan anak-anak. Bahkan terkadang tidak jarang membelikan mainan atau bahkan sekedar makanan untuk mereka. Sering juga Adnan menemani Bintang saat sedang berada di atas perahu kecilnya. Berbincang tentang banyak hal, dari yang lucu hingga yang serius.
Seperti saat ini, keduanya sedang berada di atas perahu kecil milik Bintang itu. Dengan membawa teleskop dan kamera yang biasa digunakan Bintang setiap dirinya mengunjungi danau itu. Dan Adnan akan senantiasa menemani Bintang berbincang.
"Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi aku minta maaf karena menanyakan hal ini," ucap Bintang saat mereka sudah berada di tengah danau.
"Tidak masalah, tanyakan saja."
"Sebenarnya, apa yang terjadi dengan orang tuamu?"
"Hampir satu semester berlalu dan kita pun sudah cukup terbuka dalam kehidupan masing-masing. Ini terasa aneh, kenapa kamu baru menanyakannya sekarang?"
"Aku hanya takut jika pertanyaan itu akan menyakitimu. Lagi pula kamu tidak pernah membahas tentang itu."
"Tidak perlu takut, itu hanya masa lalu yang sudah lama terjadi." Adnan membenarkan posisi duduknya. "Aku tidak begitu ingat. Saat itu, aku sedang bersama dengan mereka. Kami hendak mengunjungi tempat liburan. Tetapi saat di persimpangan kami mengalami kecelakaan, di tempat yang sama seperti saat kakak dan mamamu mengalami kecelakaan itu.
Aku tidak tahu jika aku satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Yang aku ingat, tiba-tiba semuanya berlalu begitu cepat. Aku yang saat itu masih berusia tujuh tahun belum bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Aku hanya melihat ibu dan ayahku mengeluarkan darah cukup banyak, dan aku menangis melihat itu karena mereka tidak juga membuka mata.
Aku satu-satunya yang tidak terluka secara fisik. Kemudian aku diselamatkan oleh orang-orang yang berada di sana. Aku ditenangkan dan diberi minuman. Kemudian mereka memutuskan untuk membawaku ke panti itu dan aku tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan pada orang tuaku. Aku dibawa ke panti agar aku menjadi lebih tenang. Dan mereka menenangkan ku di balkon itu. Tepat saat itu, aku melihat seorang anak yang memegang perahu kertas bersama dengan keluarganya di tepi danau ini," ucap Adnan panjang lebar.
"Anak yang memegang perahu kertas? Apa kamu tahu siapa anak itu?" tanya Bintang penasaran.
"Tentu saja kamu. Apa kamu lupa momen itu?"
"Aku?" Bintang mencoba mengingat masa lalunya. "Apa yang kamu maksud adalah sehari sebelum aku mendapatkan perahu ini dari papa?"
"Iya. Aku juga menyaksikan saat kamu tersenyum begitu senang mendapatkan perahu ini."
"Aku tidak tahu jika kamu begitu memperhatikanku, Adnan." Bintang sedikit terkekeh.
"Tidak usah meledek. Saat itu aku hanya iri karena sebelum kecelakaan itu terjadi, orang tuaku mengajakku ke pantai untuk melihat perahu yang berlayar. Tapi sayang, mereka meninggal tepat setelah dilarikan ke rumah sakit, tidak ada kata perpisahan. Dan lebih menyedihkan lagi, aku baru mengetahui itu semua saat aku sudah duduk di bangku SMP."
"Aku minta maaf."
"Tidak perlu. Itu hanya kisah lalu."
Bintang mengangguk setuju, meskipun dengan perasaan bersalah kepada Adnan. Keduanya kemudian kembali terdiam, menyelami pikiran masing-masing. Bahkan Bintang yang tadinya sedang memotret langit pun menjadi tidak berselera.
"Jadi, apa yang membuat om Herman memberikanmu perahu ini?" tanya Adnan penasaran.
"Tentu karena aku yang menginginkannya."
"Bagaimana ceritanya?" Adnan meminta penjelasan lebih banyak.
"Seperti yang sudah kamu tahu. Awalnya Papa membuatkan ku perahu kertas dan aku mencoba membuat perahu itu terapung di atas air. Saat aku melihat perahu itu, aku bertanya apakah aku bisa menaiki perahu itu jika perahunya berukuran besar? Papa tertawa mendengar pertanyaanku, dia mengatakan jika ingin menaiki perahu maka Papa akan membuatkannya dengan kayu agar aku tidak tenggelam. Dan benar saja, besoknya Papa membawaku ke taman ini dan memberiku kejutan." Adnan mengangguk takzim saat mendengarkan penjelasan dari Bintang.
"Apa aku boleh melihat hasil fotomu?"
"Akan ku izinkan, asal kamu tidak mencurinya."
"Tentu saja, itu perbuatan yang tidak baik." Keduanya tertawa.
Kemudian Bintang asik menatap teleskopnya dengan Adnan yang sedang melihat-lihat koleksi foto milik Bintang. Tidak banyak yang bisa Bintang lihat malam ini. Awan terlihat sedikit mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
"Aku tidak tahu jika langit bisa terlihat sangat indah. Apalagi foto ini, terlihat lebih mencolok dari yang lainnya." Adnan menyodorkan kamera ke hadapan Bintang.
Bintang menatap sebentar foto itu. Dia ingat kapan foto itu diambilnya. Dia ingat betul filosofi yang terkandung dalam foto itu. Foto yang menyiratkan banyak rasa.
"Iya. Sangat indah."
"Benar. Kapan kamu mengambil foto ini?"
"Ditanggal kelahiran ku."
"Waw..., Tentu saja itu sangat istimewa, apalagi kelahiran gadis cantik sepertimu. Kapan tanggal kelahiran mu itu?"
"Hari saat Papa di kebumikan. Aku memotret langit yang seolah berusaha menghiburku. Tidak ada ucapan, dihadiahi dengan kematian Papa dan Mama yang menjadi berubah, tidak seperti sebelumnya." Bintang tertunduk sedih.
"Maaf, Bintang. Aku tidak tahu soal itu."
"Tidak apa. Kamu hanya bertanya." Bintang sedikit tersenyum ke arah Adnan. "Sebaiknya kita segera pulang. Sebentar lagi hujan akan turun, kita tidak boleh kehujanan karena besok ujian semester ganjil."
"Kamu benar."
Apa besok-besok Bintang masih bisa tersenyum saat merayakan hari kelahirannya??
Tinggalkan jejak yuk sebagai bentuk dukungan untuk author, terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTROPHILIA (Antara persahabatan dan impian)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca!! Awal publish : 01 Juli 2022 Tentang dia yang perlahan dihadapkan pada kepergian orang-orang tersayangnya. Bintang. Gadis pendiam yang berusaha bangkit beberapa kali dari masa keterpurukannya. Hingga akhirnya, bertemu denga...