21. Perkelahian

43 16 0
                                    

Selamat Membaca😊

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

Rezvan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sembari berjalan di atas lantai keramik, ia sangat marah dan tidak suka mendengar perkataan dari mulut Revi yang terlontar seakan tidak bersalah. Sekali lagi, b
eruntung Revi seorang perempuan, jika laki-laki ia akan membuatnya menyesal karena tidak bisa mengontrol ucapan tidak pantasnya.

Langkah kaki Rezvan berhenti tepat di depan pintu ruang kelas yang dihuni oleh Kila, ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Wajah tampan bercampur tegasnya ia buat setenang mungkin dan sekarang sedang berusaha mengurangi rasa marah yang hampir saja meledak-ledak.

Ia masuk lalu melihat ke arah tempat duduk Kila, gadis itu sedang duduk sendirian sembari menunduk bermain jari-jarinya. Kelas ini sepi, pastinya semua orang sedang berada di kantin atau tempat istirahat lainnya. Rezvan menghampiri Kila setelah beberapa saat terpaku.

Saat sudah duduk disamping Kila, Rezvan melotot kaget menyadari ternyata Kila sedang menguliti kulit di sekitar kuku jari tangan, alhasil kulit mulus di jari-jari yang lentik jadi mengelupas dan mengeluarkan darah segar berwarna merah.

Tatapan Kila juga terlihat sedang putus asa, terlihat sangat bertolak belakang dengan tadi pagi. Bahkan kehadiran Rezvan seolah tidak terdeteksi dalam radarnya.

"Hey Kila stop!" tangan Rezvan mengambil kedua tangan Kila, dan pemiliknya baru tersadar jika disampinganya ada orang yang baru datang.

"Punya tisu ngga?" tanya Rezvan sembari menoleh kesana kemari mencari barang putih tipis yang memiliki daya serap baik, untuk ia balut ke luka yang sudah Kila ciptakan.

Kila menggeleng, kira-kira ia memang jarang membawa tisu. "Buat ini?" ia menunjuk pada tangannya yang terluka, "Gausah, ini cuma sobek dikit aja kok."

Rezvan bingung harus bagaimana, ia tahu pasti Kila sedang sangat tidak baik-baik saja. Lalu kemana teman-temannya, mengapa mereka meninggalkan gadis rapuh ini sendirian? Yang Rezvan tahu, sekumpulan empat anak yang bersahabat itu selalu melekat.

"Lo... Gapapa?" tanya Rezvan ragu dengan ucapannya, pertanyaan konyol yang bisa membuat pertahanan seseorang roboh seperti bunga dandelion yang mudah gugur dan terjatuh tertiup angin, bahkan hanya dari angin kecil.

Kila sudah menahan rasa sesaknya, ia tidak mau terlihat seperti orang yang sangat cengeng dan lemah. Mengapa ia harus diberi hati yang sangat mudah sekali terluka, dan mengapa ia harus mendapat perlakuan tidak meyenangkan dari sahabatnya. Mengapa ia tidak bisa setegar orang yang mampu melewati masa sulitnya dengan kuat. Mengapa hidupnya seperti ini. Banyak pertanyaan mengapa muncul berbondong-bondong menyerobot dalam kepalanya.

Di sudut mata Kila sudah ada genangan air mata yang saling mendorong agar terjatuh, matanya berkaca-kaca.

"Maaf," Rezvan sudah membuat Kila menjadi ingin menangis.

Kila mendongakkan kepala, berharap tangisnya tidak jatuh sekarang. Ia tidak mau menangis, sungguh ia tidak mau menangis saat ini.

Rezvan mengambil tangan Kila yang terluka, ia meniup-niup agar luka itu mengering. Memang luka kecil dan sepele. Namun, luka di sekitar jari tangan lumayan terasa perih.

"Jangan gini lagi, nanti sakit," Rezvan memperingatkan.

Kila tidak bersuara, ia membalas dengan tatapan yang sendu.

"Iya tau, rasa sakit hati lo lebih dari ini iyakan?" Tepat!

Rezvan tidak tahu mengapa ia juga merasakan sakit hati, "Gue lihat lo gini jadi ikut sakit," meskipun yang pasti rasa sakitnya tidak sampai lima puluh persen dari yang Kila rasakan. Biarpun begitu, mata yang menangkap itu seakan membawa luka itu masuk ke tubuhnya dan timbul rasa sakit entah dimana, yang jelas Rezvan merasakan sakit di dalam sana.

"Tolong jangan bikin makin parah dengan nyakitin diri lo sendiri!" pinta Rezvan.

"Emang dengan gitu rasa sakitnya berkurang?" tanyanya lagi, siapapun tahu Rezvan sedang mengkhawatirkan Kila.

Kila mengangguk, ia menunduk dan tepat saat itu satu tetesan air matanya berhasil jatuh.

Rezvan memalingkan wajahnya sebentar, tidak percaya. Kemudian tangannya membawa Kila ke dalam pelukannya dengan lembut, sebenarnya ia tidak mau keadaan menjadi seperti ini. Apa kedatangannya salah? Ia membuat Kila menangis.

Kila semakin menjatuhkan banyak air mata di dekapan Rezvan, ia terisak merutuk hal bodoh dalam dirinya.

"Kenapaa... Gue salah apa sama semua orang?"

"Gue emang bisa sendirian tapi gue juga butuh seseorang, gue juga butuh sahabat."

"Gue gamau sendirian, Van..."

"Tapi kenapa orang-orang ngga nganggep gue ada?"

"Gue sejahat apa? Seaneh apa? Seburuk apa?"

"Gue gapapa orang-orang pergi, tapi jangan Nada, jangan dia, Vann..."

"Kalau bukan dia siapa lagi yang meduliin gue..."

"Siapa yang nemenin gue..."

Tangisnya tidak berhenti, ia mengucapkan semua kalimatnya dengan isak tangis yang membuat Rezvan tidak bisa berkata-kata. Tidak apa, untuk saat ini Kila cukup didengarkan pasti sudah sedikit lega.

Cekrek!

Suara dari ponsel saat mengambil gambar Rezvan bersama Kila terdengar sangat jelas, dan memang disengaja agar perhatian mereka terpusat pada seseorang yang memotret itu. Sontak keduanya mengalihkan atensinya ke arah pintu.

Rezvan yang langsung menyadari itu segera bangkit dari duduknya dan amarah tadi kembali tersulut.

"Gini kan ada temen kalau gue dipangil ke ruang BK, makin rame, dan lo..." si pembawa ponsel yang sengaja memotret tadi, menunjuk dengan dagu tepat ke arah Kila, "Lo bakal makin parah deh kasusnya."

Setelah lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, tanpa basa-basi Rezvan langsung melayangkan pukulan keras ke rahang sebelah kiri milik Adryan, hingga pukulan itu membuatnya oleng dan hampir terjatuh mencium lantai keramik kelas. Membuat sang perempuan memekik, pukulan yang menimbulkan bunyi cukup keras.

Melihat itu Kila ingin melerai, tetapi sulit karena mereka berdua sama-sama sedang terselimuti emosi.

Saat Adryan berhasil bangkit, ia memberi balasan yang membuat mereka berdua semakin tidak bisa dipisahkan. Mereka tidak memperdulikan sekitar, hanya fokus saling pukul. Tinjuan satu demi satu menghantam bergantian di area wajah mereka, bahkan ke perut.

Bangku-bangku sudah berubah dari tempatnya, beberapa bergeser dan menimbulkan suara gaduh. Hal tersebut membuat siswa-siswi yang melewati kelas tiba-tiba menjadi penonton, ada yang ngeri melihat perkeliahian itu, ada juga yang semakin menyoraki.

Seketika Kila panik dan ingin segera memanggil guru. Jika tidak begitu mereka tidak akan berhenti, padahal di sekitar mulut, mata, dan dahi mereka sudah membiru keunguan. Tidak perlu ditanya, darah pun ikut mengalir juga.

Wajah mereka babak belur, pasti punggung dan perut juga nyeri.

Belum sempat Kila melewati kerumunan dan membelah anak-anak yang menonton, suara Fina- guru BK -terdengar melengking, "Berhenti kalian!"

"REZVAN, ADRYAN," suara itu semakin terdengar keras saat kalimat pertama tadi tidak dipedulikan maupun didengarkan.

Kila menghela napas lega, akhirnya mereka berhenti walaupun sudah babak belur sana-sini. Tetapi jantungnya masih terpacu cepat, ia sangat panik, takut, dan cemas menjadi satu. Helaan napasnya tidak membuat ritme pernapasanya kembali normal, masih terengah-engah seolah ia ikut adu jotos.

"Kalian berdua ngapain hah?! Ikut saya sekarang!"

Rezvan dan Adryan saling menatap tajam penuh kebencian. Lalu hanya bisa pasrah dengan perintah yang terucap tadi, Rezvan bersisurut lebih dahulu dari Adryan mengikuti Fina menuju ruangan BK.

Kila celingak-celinguk, "Eh? Gue ga diajak juga?"






Sendiri, sepi, dan sunyi

Bersambung👋

Earth √̲Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang