28. Takut

6 11 0
                                    

SELAMAT MEMBACA☺


 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

“Lo beneran ngga inget sama gue, La?” Rezvan bertanya.

Ah, rezvan tidak seharusnya membahas itu sekarang, Kila yang ada dihadapannya kini sedang tidak baik-baik saja. Bahkan untuk memikirkan hal lain Kila tidak sanggup, ia hanya terpikirkan keadaan Abian.

Kila yang merasa kepalanya pusing karena terlalu banyak menangis, tidak mengerti maksud pertanyaan Rezvan. Tidak seperti biasa, ia sama sekali tidak kepo, tertarik dengan pertanyaan itu saja tidak. Ia menganggap hanya angin lewat.

Rezvan bangkit, lalu duduk di samping Kila. Ia memangkas jarak diantara mereka, ia membawa kepala Kila untuk bersandar ke bahunya dengan lembut. Lalu ia mengelus dan menyisir pelan rambut Kila dengan tangannya.

Rezvan berusaha melakukan yang terbaik untuk Kila sebisanya, berharap luka gadis itu dapat berkurang walaupun sedikit saja.

Rumah sakit cukup sepi, mungkin karena ini sudah malam. Orang yang berlalu-lalang mulai berkurang, dan udara cukup dingin menusuk kulit dan tulang-tulang mereka, menembus baju yang dikenakan.

Tangan kirinya merogoh kantong, mengambil ponsel, ia lihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia memasukkan kembali saat tidak ada panggilan atau pesan masuk dari orang rumah, berarti mereka tidak khawatir.

Rezvan juga sudah berpamitan saat berangkat tadi, mungkin mereka mengerti keadaannya.

Malam mulai menyapa, bulan dan bintang menyala, seakan ingin membangkitkan kepala-kepala yang mulai lelah.

Rezvan menoleh untuk mengecek Kila, ternyata masih tidak mau tidur, karena mata yang meredup itu masih menatap kosong kedepan. Yang jelas Rezvan sangat khawatir dengan keadaan Kila yang seperti ini, daritadi ia juga sudah membujuk Kila untuk makan atau pun untuk istirahat dan pulang bersama Dendra. Karena kalau ada apa-apa pasti pihak rumah sakit mengabari mereka, sedangkan sekarang masih tidak ada perkembangan.

Kila sendiri sangat takut, ia sudah tidak bisa berpikir positif dengan semua yang sudah terjadi. Ia hanya berharap sebuah keajaiban terjadi untuk membantu kakaknya. Tatapan mata ceria yang biasa ia pancarkan kini menggelap, ia menatap kosong dengan pikiran yang juga sama kosongnya, seolah tubuhnya ditutupi kabut tebal yang membuat dunia terhalang dari pandangannya. Ia sudah sulit menangis, padahal ia sangat ingin menangis, semua ini terlalu menyakitkan dan mendadak untuknya. Mungkin kah air matanya mengering atau habis?

Rezvan yang daritadi memeluknya dari samping juga sudah seperti tidak Kila anggap, ia selalu menggeleng untuk semua tawaran yang Rezvan berikan. Ia tahu jika Kila tidak membutuhkan apapun sekarang, kecuali seorang kakak laki-laki yang ditunggu kabar baiknya.

Semua itu benar, untuk sekarang Kila tidak membutuhkan apapun yang ingin dunia berikan padanya, ia hanya mau keselamatan Abian yang kini berbaring tidak berdaya.

Detik, menit, dan jam berjalan dengan semestinya, waktu yang berlalu tidak membuat mereka berdua pergi dari sana. Kini sudah memasuki pukul satu dini hari, Rezvan mungkin lelah hingga tertidur sambil duduk di sebelah Kila, masih dengan posisi yang sama sejak beberapa jam lalu.

Sedangkan Kila masih terjaga, ia berdiri lalu menyenderkan tubuh Rezvan agar tidak terjatuh, kemudian ia menjauh dan menelpon Rina yang berada di rumah. “Halo, papa udah tidur kan, Bi? Bilang ke papa jangan khawatir sama aku, ada temennya kok.”

Kila berhenti berbicara, dan mendengarkan apa yang Rina katakan lewat telepon.

“Papa jangan boleh berangkat kesini, pasti Papa baru tidur, suruh istirahat ya, Bi. Biar Kila yang jaga soalnya besok libur kok.”

Earth √̲Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang