Selamat Membaca☺
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
Setelah membersihkan diri dan mengganti seragam yang lusuh digunakannya sejak pagi, Kila segera berangkat ke rumah sakit tanpa berpamitan dahulu dengan Rina. Ia tidak akan tenang jika harus di rumah, sedangkan Abian belum jelas keadaannya. Belum ada kabar baik dari rumah sakit, seakan tidak ada yang peduli bagaimana setiap napasnya tidak pernah tenang karena menunggu.Jalanan cukup ramai, beberapa kendaraan disana dipadati oleh orang yang sedang perjalanan pulang dari penatnya bekerja.
Tidak lama kemudian matanya menangkap bangunan yang tadi ia kunjungi bersama papanya, bangunan yang sebenarnya ia tidak ingin datangi. Namun, takdir berkata lain.
Kila mencari nomor ayahnya, "Halo, Pa."
"Kila, kamu sudah bangun? Makan dulu ya."
"Aku di rumah sakit, terus ini aku harus kemana, aku gatau," katanya dengan bingung. Huh, ia tadi berada dalam dunia setengah sadar jadi ke ruang mana dan ke tempat mana ia sempat menangis sejadi-jadinya di depan ruang Abian berbaring, ia tidak tahu lalu dengan sembrononya ia malah datang sendirian kesini.
Terdengar helaan napas dari papanya yang terdengar lewat ponsel yang ia tempelkan ke telinga.
"Kila... Tunggu di depan aja ya, nanti papa anter pulang. Udah mau malam sayang, papa aja yang jaga kakakmu, kamu di rumah aja ya."
"Tapi..." keputusan Dendra membuat Kila ingin menangis lagi rasanya. "Yaudah aku matiin dulu ya, Pa."
Kila hanya berdiri di tempat, padahal ia tadi ikut papanya kesini, tetapi sudah lupa arah mana yang harus ia lalui. Maklum karena tadi ia tidak fokus dan hanya tahu menangis.
"Kila!" panggil seseorang sambil menepuk pundaknya.
"Ehh, Van," sahutnya menahan kaget.
"Tumben ngga kaget."
"Kaget," jawabnya. "Tapi dalem hati."
"Bisa gitu ya," ucap Rezvan pelan. "Kok disini? Baru nyampe?"
Reflek Kila menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal, "Gue gatau kakak dirawat dimana."
Rezvan ingin tertawa tetapi ditahan, ia kasihan melihat Kila yang seperti orang putus asa di depannya itu. Ia segera menyuruh Kila untuk mengikutinya, setidaknya ia bisa membawa gadis itu mendekat ke Abian. Karena sepertinya jika harus masuk dan melihat Abian kemungkinan belum bisa.
Abian sudah tidak berada di ruang ICU lagi, tetapi tetap saja Kila tidak bisa menemui kakak tersayangnya itu.
Kila dan Rezvan duduk di tempat yang sudah tersedia disana ditemani keheningan. Kila yang sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri, dan Rezvan yang memutar otak mencari cara menghibur gadis yang patah semangat.
Coba katakan pada Kila bagaimana cara untuk tidak menyalahkan dirinya dengan keadaan Abian, ia bukan anak kecil yang tidak paham bagaimana ini semua terjadi. Dan ajarkan padanya bagaimana cara menahan tangis tatkala bayangan buruk tentang kakak tersayang yang berlalu lalang terlintas di angan-angannya.
Kila menunduk menatap kedua kakinya yang ia rapatkan, ia takut dengan semua ini, sangat takut. Apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang selain berdo'a dan menunggu, sepertinya tidak ada.
Rezvan berjongkok di depan Kila, "Semua baik-baik aja, jangan tertekan, dan jangan bikin gue sedih."
"Emang gue keliatan banget lagi tertekan?" tanya Kila.
"Iya, jadi pendiem gitu. Bukannya lo cerewet ya?"
"Emang iya? Sejak kapan lo menilai gue cerewet?"
"Sejak kecil," jawab Rezvan cepat tanpa berpikir.
Kila mengernyitkan dahi, ia jadi bingung sendiri mendengar dua kata yang baru keluar dari mulut Rezvan yang berjongkok itu.
"Ha?" kepala Kila jadi ikut miring merespon perkataan Rezvan.
Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum simpul. Memorinya sedang berputar ke masa lalu, jauh saat masih kecil. Rumah sakit, bukan tempat indah yang terkadang mampu menjadi ingatan yang melekat, tetapi di tempat bernama rumah sakit itulah kedua anak yang dulu masih kecil bertemu.
Iya, tempat dimana saat pertama kali Rezvan bertemu dengan Kila.
~.~
Hari itu Rezvan yang masih kecil duduk sendirian di taman rumah sakit. Ia menangis tersedu-sedu tanpa orang dewasa yang menemaninya.
Tangisnya deras, hingga sesekali kedua tangan mungil itu mengusap sendiri pipi yang dibanjiri oleh air matanya.
Beberapa saat lewatlah gadis kecil bersama kakaknya yang merasa iba. Gadis itu melepas genggaman kakak laki-lakinya kemudian berlari menghampiri Rezvan yang tengah menangis.
"Mauu? Ini ess klim..." ucapnya menawarkan es krim yang kebetulan baru dibeli bersama kakaknya.
Sang kakak memandang adik perempuannya dari kejauhan lalu tersenyum dan mendekatinya, ikut duduk di samping Rezvan kecil yang menangis dan kebingungan.
Adik kakak itu saling pandang saat kedatangan keduanya tidak membuat Rezvan berhenti menangis, yang ada mereka seakan diabaikan, tidak dianggap ada.
"Oy! Apa mata kamu buta?" sang kakak laki-laki yang merasa terabaikan melambaikan tangan di depan wajah Rezvan.
"Bu-ta, apa itu sebutan buat mata yang keluar air mata? Eh engga, itukan namanya menangis. Buta itu apa, Kak?" bukan Rezvan yang menjawab, justru adiknya itu yang antusias bertanya mendengar kata baru.
"Buta itu ngga bisa melihat, lihat tuh dia ga nganggep kita ada."
Merasa tidak enak, akhirnya Rezvan kecil buka suara untuk mengatakan alasan, "Bunda bilang aku ngga boleh bicara sama orang asing."
"Pinter! Anak baik dan penurut sama bunda, ayo, Dek! Kita balik ke dalem," ajak sang kakak kepada adiknya yang masih saja setia duduk. Sedangkan kakaknya sudah melangkah.
Adiknya yang diajak justru mengulurkan tangan kepada Rezvan mengajak berkenalan, "Aku Ghiska Shakila, kalau panggilannya Shakila aja jangan panjang-panjang, nanti kalau kepanjangan... aku keburu ilang pas kamu manggil aku."
"Terus, terus itu kak Ian, dia kakaknya Shakila yang agak serem hehe, dia suka gangguin aku padahal aku diem lohh."
Abian membalik badan lalu menepuk pelan dahinya melihat perilaku adik perempuan yang diluar kendalinya. Tambahan satu hal yang Abian pahami selama ia tumbuh sampai hari ini, bahwa menjaga seorang anak kecil yang cukup aktif sangat sulit, harus memiliki kesabaran.
"Gimana? Nama kamu siapa?" tanya Kila setelah tidak ada jawaban yang dinantinya, tangannya yang terulur tak mendapat respon jua.
"Rezvan," jawab Rezvan. "Kenapa kamu boleh bicara sama orang asing?"
Abian akhirnya berhenti ke tempat tak jauh dari mereka. Mana mungkin ia meninggalkan adik perempuan cantik yang selalu dijaganya, kalau diculik bisa stress dirinya. Lihatkan, kalau Abian menyayangi Kila.
"Eumm," Kila kecil tampak berpikir keras, bola matanya sibuk berputar melihat sana-sini seolah mencari jawaban, "Karena aku ngga punya bunda kayak kamu buat ngelarang hal itu. Mungkin..." jawabnya.
"Lepan kenapa nangis?" tanya Kila kecil sok akrab pada anak yang baru ditemuinya.
"Rezvan, bukan lepan Shakila," yang memiliki nama membenarkan, tidak terima. Namanya sudah bagus, tidak perlu diubah.
"Lepan."
"Rezvan."
"Lepan," ulang Kila lagi, "AAAAA KAKAKK. KOK AKU GA BISA NGOMONG KAYAK DIAA," Teriaknya kesal sambil menunjuk Rezvan kecil yang menertawainya.
♡
Perjalanan adalah serangkaian kebetulan.
♡
Bersambung👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Earth √̲
Fanfiction"Gapapa kok, namanya juga hidup di dunia bukan di surga, bahagia sama sedih emang wajar terjadi kan?" -Shakila. Benar adanya bahwa kehidupan dunia penuh dengan warna, lara, tawa, dan sengsara. Tidak jarang berjalan silih berganti, begitu pula dengan...