08. Senin

1.8K 183 17
                                    

Dengan rasa malas Jeno mencoba untuk mengumpulkan nyawa sebelum beranjak untuk membersihkan diri dan bersiap untuk kembali menuntut ilmu di sekolah menengah pertama yang saat ini sedang menjadi tempatnya untuk belajar.

Apa kalian bertanya mengapa Jeno malas sekali hari ini untuk bersekolah?

Bagi Jeno bertemu hari Senin adalah hal yang menyebalkan. Pada hari ini dirinya harus kembali bersekolah dan bertemu dengan banyak orang juga teman-temannya — Oh, ayolah!

Semenjak kejadian tidak mengenakkan ini terjadi menimpa keluarganya, Jeno menjadi enggan untuk sekedar bertemu banyak orang atau bahkan keluar dari rumah.

"Malas banget harus sekolah lagi, aarrgghhh!" Jeno mengacak-acak rambutnya merasa frustasi. Apa ia harus membuat alasan agar tidak bersekolah saja hari ini? Tapi, apa alasannya? Dan apakah Taeyong dan Mark akan langsung percaya dengan apa yang Jeno berikan sebagai alasannya kali ini?

Pasalnya, sudah banyak kali Jeno memberikan alasan agar dirinya tidak bersekolah tetapi itu semua ditolak oleh kedua anggota keluarganya itu. Dengan sebuah alasan yang membuat Jeno tidak bisa membantah ataupun melawan.

"Pendidikan itu penting buat masa depan kamu, Jen. Daddy pasti nggak suka dan bakal kecewa kalau tahu kamu sering bolos sekolah. Pasti masih ingat 'kan nasehat yang Daddy bilang sama kamu waktu itu? Seenggaknya, niatin dalam hati kamu kalau kamu sekolah buat bikin Daddy bangga."

Nasehat yang diberikan oleh Mark — sang kakak masih jelas teringat dan terngiang dalam benak dan pikirannya. Meskipun mendapat banyak cobaan saat di sekolah yang membuat Jeno bertahan adalah kalimat itu.

Bagaimanapun sikap dan sifat Jeno sekarang, dirinya tidak mungkin membuat kedua orangtuanya kecewa terutama sang ayah — Jung Jaehyun.

🐯

Setelah bersalaman dengan satpam yang sedang berjaga dan bertugas di depan gerbang sekolah, Jeno masuk ke dalam area sekolahnya. Menuju kelas XII IPS 3 dimana ia belajar.

"Waah, anak pembunuh ternyata masih berani masuk sekolah." Sambutan itu langsung Jeno dapatkan dari seorang teman sekelasnya yang memiliki nama panggilan Eric.

Seolah sudah biasa mendapat sambutan seperti itu dari teman sekelasnya membuat Jeno tak ambil pusing. Ia langsung menuju bangku belakang dimana tempat ia duduk.

Omong-omong saat ia datang, kelasnya masih sepi hanya ada Eric dan dirinya saja sekarang.

"Heh?! Sejak kapan lo jadi bisu gini, huh?"

Sialan, Jeno sudah berusaha untuk diam dan sabar agar tidak meladeni temannya ini. Tapi mengapa Eric seolah memancing masalah, sih?

"Oh, gue tahu!" Eric mengambil alih kursi kosong yang berada tepat di depan Jeno. Kedua mata mereka saling menatap dengan pancaran kebencian itu Eric dan Jeno berikan satu sama lain.

"Lo pasti udah sadar 'kan kalau lo itu NGGAK PANTAS buat sekolah di sini. Secara lo itu udah dianggap sebagai anak dari seorang pembunuh." Eric menyeringai. "Nggak nyangka gue, Jen. Ternyata keluarga yang punya reputasi dan nama baiknya terkenal dimana-mana bisa berubah jadi psikopat. Apalagi yang ayah lo bunuh itu bodyguard-nya sendiri. WOW!" Tepukan tangan Eric berikan tak lupa dengan ekspresinya yang terlihat seolah dirinya benar-benar terkejut.

Mata sipit itu sudah terlihat menahan amarahnya, kedua tangannya yang bersembunyi di bawah meja bahkan kini sudah mengepal erat. Bersabar agar tidak menghajar habis-habisan teman kurang ajarnya ini.

"Kok diam? Lo benar udah terima sama panggilan baru lo itu?" Wajah Eric mendekat sehingga bibirnya berada di telinga Jeno.

Berbisik pelan, "Anak Pembunuh!"

(✔) Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang