Balada Handuk Basah Pengantin Baru

30 1 0
                                    


"Mas, bangun! Air angetnya udah siap." Aku menggeliat ketika suara khas dari seorang wanita membangunkanku. Guncangan kecil juga diberikan untuk membuatku segera bangun. Kubuka mata perlahan, ada wanita tercantik di rumah yang sudah kuhuni enam bulan terakhir ini. Dia adalah Kardasian, wanita seksi berbibir sensual yang sah menjadi istriku dua bulan lalu.

Ya, kami adalah pasangan pengantin baru yang tengah menikmati masa bulan madu setelah LDR Palembang-Singapura selama lima tahun.

"Nih, handuknya," ucapnya seraya menutupkan handuk biru laut ke padaku yang memasang wajah memelas. Bibir yang sudah hendak mecucu—pose minta cium— mendadak tertutup rapat. Dia hanya cekikan berlalu ke dapur.

Sudah pukul 6 pagi. Ternyata aku tertidur satu jam setelah sholat subuh tadi. Laporan dan harus lembur membuat RPP membuatku begadang hingga tengah malam. Ya, dengan dia yang merajuk karena aku tak kunjung rebahan di sisinya.

"Bajunya sudah tak siapin di ranjang, ya," teriaknya dari halaman belakang, menjemur pakaian.

Aih, begini nikmatnya sudah menikah, ya. Air mandi, handuk, baju ganti, sarapan, kopi, dan keperluan lainnya sudah disiapkan sedemikian rupa. Jika aku tahu begini enaknya punya istri, tentu aku akan langsung menikahinya saja terlebih dahulu sebelum melanjutkan kuliah dan bekerja di Singapura.
****

Kata siapa rindu hanya milik mereka yang jarang bertemu? Aku yang setiap hari bertemu bahkan selalu bersama berjam-jam pun tetap disiksa rindu saat berjauhan. Padahal baru tiga jam yang lalu aku mencium kening dan memeluknya sebelum berangkat mengajar.

Aku mengecek ponsel. Berharap chat mesra atau voice note romantis sudah ada di aplikasi pesanku. Seperti biasanya. Ya, sejak menikah aku memang melarang Kardasian bekerja. Jadi, dia hanya di rumah merawat ratusan koleksi bunganya.

Nihil. Tidak ada satupun chat mesra darinya. Tumben?

[Sayang?]

Kukirim pesan singkat dengan emoticon kiss di ujung kata. Aku tersenyum senang saat kulihat dia online.

Dibaca

Sedang mengetik ....

[Apa?]

Keningku berkerut membaca balasannya. Tumben chat-nya cuek? Lagi marah, kah?

[PMS, ya?]

[Gk.]

[Kenapa, Sayangku, cintaku?]

[GPP.]

Astaghfirullah, ini adalah tanda-tanda peperangan akan segera dimulai. Ya, memahami sifatnya selama berpacaran tujuh tahun aku sangat hafal bagaimana jika dia sudah marah. Ah, sebaiknya kudiamkan saja. Siapa tahu nanti dia mencariku.

Aku pun fokus pada pekerjaanku kembali. Mengajar para calon penerus bangsa.
****

Aku memasuki rumah dengan kantung kresek berisi roti bakar selao cokelat kesukaannya. Biasanya saat PMS dia senang ngemil walaupun dengan muka masam dan berlipat menahan emosi. Namun, tak kutemukan dia di manapun. Termasuk galeri bunganya. Hingga kuputuskan meletakkan roti bakar di meja makan kemudian memasuki kamar.

"Astaghfirullah ...," ucapku spontan ketika kudapati Kardasian duduk di ranjang menghadap pintu, ke arahku. Padahal dia tadi tidak ada di sana. Kuperhatikan dengan seksama wanita yang hanya mengenakan celana dan kaus pendek milikku. Rambut panjangnya dibiarkan terkucir sembarangan, sedikit awut-awutan. Sedangkan bibirnya merengut, seolah tengah menahan kemarahan.

"Pinter sulap kayaknya sayangku ini sekarang." Aku memasang senyum termanis dan menaikkan alis, menggodanya. Dia hanya terdiam dan kini melipat tangan di dada.

"Kenapa, sih?"

Dia hanya melengos.

"Mau roti bakar? Itu Mas beliin." Aku mencoba meraih pipinya agar menatapku, tapi dengan cepat tangannya mencegah.

"Ehm .... Mas salah apa, sih?"

"Pikir sendiri!" jawabnya ketus lantas berdiri. Kini dia menghadap jendela, entah apa yang dilihat.

Aku menghela napas lantas berbaring di ranjang dengan berbantal lengan. Saat itulah aku tak sengaja menyentuh sesuatu yang lembab di kasur.

"Kok basah?" tanyaku yang langsung memeriksa kasur.

"Pakai nanya lagi!"

Loh ....

"Kalau habis mandi itu handuk dijemur di luar, Mas. Bukan disuruh rebahan di kasur!"

Aku terdiam. Oh, jadi handuk basah permasalahannya?

"Ya, maaf, Mas lupa."

"Mana ada lupa. Emang sengaja, iya."

Selanjutnya, aku mengalah. Mendengarkan omelannya yang panjang lebar. Dia terlambat tahu jika handuk bekasku masih ada di atas kasur. Saat ditemukan, kasur sudah dalam keadaan basah karena memang setiap habis mandi handukku selalu basah berat. Entah bagaimana aku bisa melakukan itu?

Hingga malam, Kardasian tetap merajuk. Usahaku membujuknya seolah sia-sia. Tuhan, aku baru tahu jika meletakkan handuk bekas mandi di kasur adalah sebuah dosa besar yang memancing perang dalam rumah tangga.

Kejadian hari itu benar-benar kuingat dengan baik. Setiap selesai mandi aku langsung membawa benda itu ke luar, menjemurnya. Atau mengangin-anginkannya di teras saat mendung. Tentu saja rumah tangga kami kembali romantis layaknya pengantin baru.

Hingga suatu hari ....

"Mas salah apa lagi?" tanyaku pada Kardasian yang seharian tak membalas chat-ku sama sekali. Hanya dibaca. Dia bahkan memasang wajah masam hingga malam hari.

Otakku berpikir keras. Handuk sudah kujemur dengan benar, pakaian di lemari yang kuambil pun masih tetap rapi. Meski harus latihan berkali-kali agar tidak merusak tumpukkannya. "Ambil pakaian itu diangkat, jangan ditarik!" Begitu kata Youtube saat aku mencari tutorial mengambil pakaian di lemari. Aku jelas tidak mau membuatnya lebih marah lagi karena merusak mahakaryanya dalam menyetrika.

"Mas pakai handuk ini tadi?" Kardasian mengulurkan handuk berukuran sedang dengan warna merah muda bergambar bunga mawar. Aku mengangguk sedikit ragu saat melihat wajahnya yang jutek seolah siap menerkam.  Apakah aku salah memakai handuknya?

"Tapi kan udah Mas jemur, Sayang. Habis pakai langsung dijemur, kok," ucapku memberi laporan untuk membuatnya urung marah.

"Mas lap ke mana ini tadi?" tanya Kardashian lagi. Kali ini dengan nada tinggi dan raut wajah kesal.

"Hah?" Aku bingung.

"Mas lap-in ke mana handuk ini tadi?" tanyanya lagi mendesak.

Aduh, mati aku! Itu kan handuk yang dia khususkan untuk mengelap bagian wajah saja. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala, salah tingkah dan panik yang menyerang bersamaan.

"Ke mana?" tanyanya melempar handuk ke tubuhku, dengan cepat aku menangkapnya.

"Ya ... ke wajah, lah. Sini," jawabku sembari mengusap wajah dengan handuknya. Berharap dia akan percaya.

"Bohong!" teriaknya merebut kembali handuk dari tanganku. "Di mana?"

Kan ... dia tidak percaya.

"Ehm .... di sini dan ... di sini ...." ucapku ragu dan takut-takut.

"MASS!!"

Handuk itu akhirnya menjadi senjata Kardasian untuk menyerangku setelah kutunjuk tubuh bagian bawahku, depan dan belakang. Bukan hanya handuk saja, tapi jari runcingnya juga ikut menyerang.

Yang selanjutnya terjadi, istriku menjadi sangat perhatian. Selepas sholat isya' dan makan malam yang bagai di suasana berduka, dia punya inisiatif yang belum pernah dilakukan. Kardasian menggelar kasur lantai di depan tivi. Bantal dan guling juga disiapkan. Tak lupa selimut hangat yang biasa kupakai. Sedangkan dia ... mengunci diri di kamar, sendiri.

Nasib pengantin baru!
***
END

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang