Aku merebahkan tubuh di ranjang empuk hotel. Nuansa kuning gading seakan melipur lelahku. Jam di meja sudah menujukkan pukul delapan malam. Itu artinya sebentar lagi apa yang kupesan akan datang.Benar saja, pintu diketuk lantas seseorang dari luar melongokkan kepala ke dalam. Wajah cantik dengan rambut panjang menyuguhkan senyum manis ke arahku. Meski sedikit heran, aku membalas senyumnya dan memperbaiki posisi berbaring menjadi duduk bersandar pada tembok.
"Kok beda?" tanyaku sembari melihat ponsel.
"Sama aja kali, Om!"
Aku mengangguk. Wanita yang kini duduk di ranjang bersamaku memang berbeda dengan yang tadi kupesan. Dia lebih muda dan cantik, hanya saja aku seolah kehilangan selera. Padahal tubuhnya sangat menggoda. Apalagi dress setengah paha dan model kemben itu.
"Usia kamu berapa?" tanyaku iseng ketika melihatnya langsung membuka retsleting dress. Gerakan tangannya terhenti dan menatapku.
"Ehm, tujuhbelas, Om."
Aku mengerutkan kening. Sepuluh tahun lebih muda dari wanita yang tadi kupesan.
"Kok udah kerja ginian?"
Dia menghela napas panjang sembari menutupkan selimut ke tubuhnya. Dress merah maroon-nya sudah tergeletak di lantai, bersama sepatu berhak tinggi dan pakaian dalam.
"Om mau wawancara apa mau sewa saya?"
Aku terdiam. Dia menatapku lekat.
"Ehm, maksudku ... ini kan pekerjaan—"
"Kerjaan orang dewasa? Kata siapa? Bukannya banyak yang suka dengan yang seusia saya? Masih fresh katanya, hihi," jawabnya sembari menutup mulutnya dengan tangan. Dia lantas mengikat rambut panjangnya, membiarkan selimut putih itu melorot. Aku menelan ludah menatapnya. Tujuhbelas tahun dan sudah seperti ini? Luar biasa!
"Ayo, mau pakai pemanasan atau ...."
Aku dengan cepat menghalangi tangannya yang terulur hendak menarik handukku. Kudorong bahunya untuk duduk di depanku.
"Ehm ... bagaiamana kalau kita mengobrol saja?"
Bibirnya manyun dengan tatapan mata kecewa. "Saya dibayar bukan buat ngobrol, Om. Bahkan kebanyakan langsung ajak main aja."
"Tapi saya mau ngobrol!"
Dia terdiam dan menggigit bibir. Bibir merah merona dengan bentuk sangat menggoda itu mungkin akan langsung membuat lelaki lain bergejolak, tapi entah mengapa tidak denganku.
"Tapi saya minta—"
"Saya tambah duakali lipat?"
Wanita itu langsung tersenyum riang dan dengan cepat mendaratkan bibirnya ke pipi kiriku. Wanita yang kemudian kuketahui bernama Alice itu lantas duduk di depanku. Dia hanya manut saat aku menutupkan selimut ke tubuhnya.
"Aku masih sekolah, Om. Tadi gantiin tetanggaku."
"Sekolah?"
"Iya. Sudah mau tamat, sih."
"Kamu cari uang atau ...."
"Ya cari uang lah, Om. Masa cari gebetan."
Aku ikut terkekeh meski itu tidak lucu sama sekali.
"Oranga tua kamu tahu?"
"Ya nggak, dong. Gila aja tahu! Bisa dibunuh aku!"
"Terus?"
"Ya pamit kencan sama pacar aja."
"Pacar?"
"Iya. Dia nunggu di depan."