Kamu

1 0 0
                                    


Angin sore dari danau menerpa wajah dua insan yang saling diam. Tak ada percakapan antara mereka berdua sejak 30 menit berlalu. Sejak pertanyaan seputar kabar selesai dijawab.

"Kamu masih sendiri?" tanya Indri pelan dan hati-hati.

"Iya." Wahyu menjawab singkat seolah memang tidak ada tambahan jawaban.

"Hhmm, kenapa?" Indri tak henti meremas ujung jilbab panjangnya. Wanita cantik 25 tahun itu berusaha mengurangi degup yang terlalu aktif sejak duduk berdampingan dengan Wahyu.

"Karena kamu."

"Maaf."

Diam. Mereka kembali membisu.

"Aku sudah kembali. Seperti dulu," ucap Indri mencoba membuka percakapan kembali.

"Aku tahu."

"Apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu?"

Wahyu mengela napas.

"Bisa," jawabnya kemudian.

Indri menoleh. Menatap lelaki yang pernah memenuhi hatinya dengan cinta. Lelaki yang terpaksa ditinggalkan, setahun lalu.

"Kita bisa kembali seperti dulu." Kali ini Wahyu menoleh, menatap Indri yang masih menatapnya. Gejolak rasa yang campur aduk seolah menghantam mereka berdua saat kedua pasang mata itu bertemu. Mata yang dulu penuh cinta, lantas berganti luka.

"Kita akan kembali seperti dulu. Kembali menjadi asing." Wahyu memalingkan wajah, kembali menatap danau yang penuh dengan kenangan mereka.

"Setidaknya aku sudah menepati janji, kan?" Wajah tegas itu menegang. Menahan gejolak yang sekarang tak lagi bisa ditahan.

"Janji untuk tetap sendiri hingga tahun yang kita sepakati." Wahyu meremas jari. Memainkan cincin perak yang dulu disematkan Indri.

"Kamu tahu? Kamu adalah jawaban dari semua pertanyaan. Termasuk kenapa aku masih memilih sendiri."

Isak pelan mulai terdengar. Ya, Indri memilih untuk diam saja. Walaupun kini suasana menjadi terusik oleh tangisnya. Tangis yang sudah ditahannya sejak tadi.

"Aku masih sendiri karena aku tidak lagi percaya ... dengan apapun dan dengan dengan siapapun."

"Maaf," ucap Indri pelan. Sangat pelan. Hanya terdengar oleh telinganya sendiri ... mungkin.

"Dan itu semua tetap karena kamu."

Wahyu beranjak. Terus berjalan tanpa menoleh masa lalunya yang kini semakin terisak.

"Kamu juga alasanku untuk kembali," ucap Indri sangat pelan seolah untuk dirinya sendiri karena memang tidak akan didengar oleh Wahyu.

Hingga menghilang dari pandangan Wahyu tak berniat menoleh. Dia lantas menaiki sebuah mobil putih yang sudah menunggunya. Beberapa orang sigap menyiapkan tempat berbaring untuknya, lantas memasang beberapa peralatan.

Sementara Indri mulai panik. Kepalanya mulai terasa sakit lagi. Bahkan teramat sakit. Dunianya berputar-putar dengan tubuh yang terasa semakin ringan. Pandangannya semakin mengabur bersamaan dengan deru mobil putih yang beranjak pergi. Hal terakhir yang diingat adalah datangnya dua lelaki dengan pakaian serba putih yang sigap menangkap tubuhnya yang hendak jatuh.
....

"Selamat beristirahat, Kawan. Kalian sudah memenuhi janji. Tetap bersama, selamanya."

Alfath meletakkan foto dengan bingkai keemasan di tengah dua makam yang masih baru. Lelaki itu mengusap pipi yang basah. Hatinya menjerit. Bagaimana bisa dia akan melupakan kisah kedua sahabatnya. Kisah pilu yang dia pun tak ingin menceritakannya. Cukup selembar kertas hasil diagnosa kanker otak milik Indri setahun lalu dan lembar yang sama milik Wahyu yang juga diberikan padanya sepuluh bulan yang lalu.

"Aku tidak ingin dia menyaksikan kematianku," tutur Indri dulu. Saat dia memutuskan untuk meninggalkan Wahyu dengan alasan perjodohan.

"Dengan begini setidaknya dia tidak melihatku mati, 'kan?" Jawaban yang tak kalah trenyuh diutarakan Wahyu ketika Alfath bertanya mengapa dia tidak mengejar Indri.

Rahasia. Itu kata mereka tentang penyakit yang mereka derita. Saling menyimpan dengan alasan tak ingin saling merasa kehilangan.

Ah, kehilangan kadang pandai berkamuflase.

"Aku hanya ingin menatapnya. Untuk yang terakhir kalinya." Begitu jawaban Indri ketika ditanya untuk apa kembali.

"Aku hanya ingin mendengar suaranya. Untuk terakhir kalinya." Begitu jawab Wahyu ketika ditanya alasannya kenapa akhirnya mau menemui Indri.

Sekali lagi Alfath mengusap bingkai itu. Biarlah sekarang mereka berdua yang jujur di alam sana. Tugasnya sebagai penyimpan rahasia sudah selesai.

Senyum terakhir diberikan Alfath untuk kedua sahabatnya. Foto Wahyu dan Indri yang terlihat sangat bahagia. Sebaris tulisan di bawah foto kembali dibaca sang sahabat.

"Kamu adalah kamuku, selamanya."
*****
-Aku Bucin-
🌹🌹🌹🌹🌹

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang