Behinda The Mirror

1 0 0
                                    


Kanaya mematung di depan cermin yang tergantung di dinding. Dia mengamati benda yang memantulkan wajah manisnya itu dengan seksama.

"Please, jangan lagi!" bisiknya pelan.

Kanaya meraih cleanser dari meja dan mulai mengaplikasikan pada wajah halusnya. Namun, mendadak terhenti ketika lampu tiba-tiba padam. Kanaya terpekik pelan. Jemarinya mencari ponsel di antara alat make up. Ketemu. Dia lantas menghidupkan senter.

"Akh!" jeritnya terkejut ketika mendapati wajah menyeramkan di cermin. Lantas terpejam ketika lampu menyala tiba-tiba. Perempuan 26 tahun itu mengedarkan pandang berusaha mencari apa yang baru saja dilihatnya. Dia sangat yakin jika tadi benar-benar melihatnya.

"Hanya ilusi, tidak nyata!" ucapnya pada diri sendiri.

Setelah tenang dan memastikan tidak ada apa-apa, Kanaya kembali meneruskan kegiatan membersihkan wajahnya.

Satu tetes pelembab dioleskan ke pipi. Jemari lentiknya meratakan dan menekan-nekan krim ke kulit. Matanya melotot. Di cermin, bukan gerakannya yang memakai krim yang terpantul, tapi gerakan merobek pipinya sendiri. Ya, kuku jarinya panjang dan runcing, padahal Kanaya tidak memanjangkan kuku. Benda runcing itu perlahan tenggelam di dalam kulit pipi, membuat cairan merah kehitaman mengucur. Bukan hanya menusuk, kuku itu juga merobek kulit pipinya. Menarik dagingnya hingga ke dagu. Wajah cantik itu kini terlihat menyeramkan.

"Tidak!"

Prang!

Cermin itu pecah sebagian hakibat lemparan sebotol parfum yang juga pecah. Kanaya mulai ketakutan, karena bayangan di cermin tetap ada. Bayangan dirinya dalam bentuk yang lain berubah mengerikan. Jemari runcing itu kini mencakar wajahnya sendiri dengan beringas, membuatnya hancur dan berlumuran darah. Selesai dengan wajah, jemari itu menggores leher dan dada.

"Tidak!" jeritnya dengan tubuh yang jatuh terduduk di lantai kamar. Kanaya menutup mata dan telinganya karena kini suara tawa melengking memenuhi ruangan bernuansa merah muda itu.

"Kanaya?"

Raymond sigap memeluk istrinya yang ketakutan di lantai kamar. Wanita yang baru saja dinikahinya selama dua minggu itu langsung menangis ketakutan.

Perlu waktu lama untuk membuat Kanaya tenang. Bahkan lelaki 30 tahun itu harus mau memenuhi permintaan Kanaya yang tidak mau tidur di kamarnya.

"Aku yakin ada yang salah dengan kamar itu. Percaya padaku!" rengeknya.

"Sstt, tidak ada apa-apa, Sayang. Kamu hanya lelah." Raymond memegang pipi istrinya berusaha membuatnya tenang. Raut kecewa jelas tergambar di wajah Kanaya. Lagi? Suaminya tidak percaya.

Kanaya terisak. Ini bukan pertama kalinya. Namun, kali ini memang sudah parah. Biasanya Kanaya hanya melihat bayangan menyeramkan di cermin, kaca cermin yang tiba-tiba pecah dan mengeluarkan darah, cermin yang tidak memantulkan bayangannya, dan banyak hal ganjil lainnya.

"Oke. Jika memang kamu merasa ada yang aneh dengan rumah ini, besok aku akan cari tahu. Tenang, ya!" Raymond memeluk istrinya, memberi janji untuk membuatnya tenang.

"Aku tidak kuat ... aku takut!" rengek Kanaya dalam pelukan suaminya.
*****

"Dari informasi yang kudapat, dulu, di rumah ini telah terjadi pembunuhan pada seorang wanita. Jasadnya di simpan di tembok, yang sekarang ditutup cermin di kamar kita. Penyebab pembunuhan ... hm, aku kurang paham," jelas Raymond ketika sampai di rumah. Dia menyodorkan sebuah artikel di ponselnya.

"Pemilik sebelumnya juga mengalami hal yang sama, tapi tidak lama. Semua akan baik-baik saja. Oke?"

Kanaya mengangguk ragu. Dia tampak gelisah. Keringat mulai bermunculan di dahi. Duduknya pun terlihat tidak tenang.

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang