Bunuh Diri

10 1 0
                                    


Kunaikkan kakiku perlahan ke atas besi penyangga di tepi jembatan. Perasaan aneh menjalari tubuhku. Antara takut dan dingin. Keputusanku sudah bulat. Tidak akan ada yang bisa merubahnya. Ah, untuk mengingatnya saja aku frustasi.

Kubiarkan air mataku mengalir deras. Toh, tidak ada yang tahu. Siapa juga yang akan keliaran di jam tiga pagi ini. Paling juga setan.

Setelah kedua kakiku berada di atas besi penyangga, kurentangkan kedua tangan. Sedikit ngeri memang, tapi ... semriwing.

"Aku benci hidupku!" teriakku lantang. Suaraku hilang ditelan aliran sungai yang deras. Namun, aku bisa mendengar dengan jelas suaraku sendiri. Suara cempreng khas lelaki yang baru akil balig. Sedikit nge-bass, tapi gember. Ya, mirip suara Doraemon batuk pilek sebulan.

Setelah berteriak perasaanku sedikit lega. Mungkin jika kembali berteriak akan semakin lega. Kutarik napas sedalam mungkin, mengumpulkan tenaga untuk teriakan ronde kedua.

"Mas, ngapain?"

Aku tersentak. Mulut yang sudah siap berteriak, membentuk monyongan. Kurasakan boxer-ku ditarik. Aku menoleh ke bawah.

Ya Tuhan! Seorang cewek cantik berdiri mendongak, menatapku. Ujung jarinya masih menempel di ujung celana pendekku, siap menariknya kapan saja. What? Bagaimana kalau melorot?

"Apaan si?" tanyaku ketus.

"Mau bunuh diri?" Aku mendengkus kesal mendegar pertanyaannya. Ya kali mau nyari ubur-ubur.

"Turun!" perintahnya.

"Apa?" tanyaku galak. Lagian siapa dia? Berani-beraninya memerintahku.

Aku melihat sekeliling. Siapa tahu ada bapak si cewek atau setidaknya kendaraan miliknya. Nihil.

"Jangan bunuh diri!" ucapnya pelan.

Dia melangkah maju, mendekati besi penyangga.  Posisinya yang tepat berada di bawahku, membuatku tak enak. Apalagi angin malam nakal membuat boxer geborku sedikit tersingkap.

"Bunuh diri jangan di sini! Kalau jatuh, sakit."
Aku mengerutkan kening. Apa pedulinya coba?

"Enak kalau langsung mati. Gimana kalau patah leher, patah kaki, patah tangan dulu? Atau kepalanya pecah jadi tiga, otaknya keluar. Sakit!" Aku merinding mendengar penjelasannya. Sesekali aku mencuri pandang.

Setelah diperhatikan, dia cantik juga. Walaupun sedikit pucat. Kaus kuning lengan panjang bergambar pisang dan rok mekar selutut, membuatnya terlihat menggemaskan. Apalagi rambut hitam sebahunya yang dibiarkan tergerai begitu saja. Sepertinya dia seusiaku.

"Kamu patah hati, ya?" tanyanya. Aku terkejut dan memalingkan wajah.

"Sok tahu, Lu." Aku menjulurkan lidah.

"Keliatan kok. Kamu ditolak karena kentut di depan gebetan kamu, 'kan?"

Aih, ini anak. Asal aja! Eh, bener si. Duh, kalo diinget, pengen langsung terjun aku.

Bayangkan saja, nembak cewek setelah makan bakso pedas ternyata tidak berhasil. Apalagi aku memang selalu grogi jika berhadapan dengan wanita yang kusukai.

Baru satu kalimat, tekanan angin dari perutku tak bisa ditahan. Kumpulan udara bertekanan tinggi membulat di perut. Berputar-putar mencari jalan keluar. Reaksi cabai dan grogi berlebih akhirnya membuat massa udara panas semakin banyak dan kuat. Kontan saja  suara angin dengan note tinggi dan suara tiga oktaf, nyaring bersenandung.

Wajah Mei yang sejak awal memang tidak suka, menjadi merah padam. Matanya melotot seolah menembus jantungku. Bukan kalimat manis yang keterima, tapi justru tamparan. Itu jelas penolakan.

"Dasar, kurang ajar!" teriaknya setelah menitipkan bekas jemari lentik di pipiku.

"Argh!" teriakku sambil meremas kepala. Bayangan kencan romantis dengan Mei malam minggu besok gagal total.

Tamparan Mei, penolakannya, dan cibiran para siswa lain semakin menguatkan tekadku untuk langsung terjun.

"I hate my life!" Aku berteriak lebih keras. Kali ini diiringin hentakan kaki. Aku lupa jika sedang berada di tepi jembatan. Kontan saja aku oleng.

"Akh!" Aku kelabakan ketika tubuhku tak seimbang, nyaris terjatuh. Dengan mengumpulkan semua kekuatan, aku menjatuhkan tubuhku ke belakang, di jalan.

Aku meringis. Tanganku tergores aspal. Setelah menyadari apa yang terjadi, mulutku mendadak terkunci. Bagaimana tidak, ternyata aku refleks menarik rok gadis itu hingga melorot ke mata kaki.

Ya Tuhan! Bagaimana ini?

Aku menutup mata untuk sesaat. Kutarik tanganku yang menarik roknya dengan perlahan. Sebisa mungkin mengalihkan pandangan dari rok hitam yang sudah ada di kakinya yang tanpa alas kaki. Tuhan, mungkin kali ini aku akan dibunuhnya.

Tunggu! Kenapa tidak ada reaksi?

Pelan aku membuka mata, masih dengan posisi berbaring di aspal. Gadis itu masih berdiri di dekatku. Posisi roknya pun masih sama, di kakinya. Aku hanya melirik, tak berani melihat ke atas.

"Banyak orang dengan masalah yang lebih berat, tapi, mereka kuat. Jangan putus asa! Duniamu bukan hanya tentang cinta!" Aku memejamkan mata mencoba mencerna nasihatnya.

Ya, bodohnya aku! Hanya karena hal sepele lantas memutuskan bunuh diri. Harusnya masa SMA kuisi dengan belajar. Bukan mengejar cinta yang malah jadi kurang ajar.

"Ya, kamu benar." Aku bangkit berdiri, memegang besi peyangga, sama sepertinya.

"Dia cewek baik. Pintar pula. Wajar kalau aku jatuh cinta. Tapi ... sepertinya dia tidak suka sama aku," jelasku pelan. Bayangan Mei yang sempurna mendadak menghajar otakku. Menyadarkan aku bahwa dia tidak sepadan denganku. Siswa biasa, tanpa prestasi yang hanya jago memata-matai gadis yang disukai.

"Tapi aku terlanjur malu. Aku harus bagaima--"

Deg!

Kemana dia?
Aku menatap sekeliling. Tak ada seorang pun di sekitarku. Bukankah dia baru saja berdiri di sampingku? Aku bahkan mencarinya hingga ke ujung jembatan dan melihat taman sekitar. Nihil. Gadis itu seolah hilang ditelan malam.

Aku lantas berjalan kembali menuju tepi jembatan. Kulongokkan kepala ke bawah. Entahlah, aku seolah diminta melihat aliran sungai terbesar di komplekku. Sungai yang memisahkan komplek A--tempatku tinggal--dengan komplek B--tempat Mei tinggal.

Jantungku seakan terlepas dari tempatnya. Melalui lampu jembatan aku dengan jelas melihat gadis tadi terbaring di bawah sana. Ya, dia terbaring santai di atas air. Masih dengan pakaian yang sama dan wajah yang lebih pucat.

Bagaimana bisa?

"Akh, hantu!" teriakku sambil berlari. Bulu kudukku meremang ketika kudengar tawa  melengking seorang wanita. Walau kakiku terasa berat, terus kucoba berlari.

Jadi, mitos itu benar? Mitos tentang hantu cantik di jembatan? Kenapa aku tidak memperhatikannya?

Kyaa ....

Aku terus berlari. Tak peduli jika kini celanaku menjadi hangat karena cairan yang tak kusadari. Sial, aku ngompol.

"Mama! Tolong!"
.
END

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang