Joyce terkejut ketika mendapati Akio sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Lelaki yang baru saja diputuskan itu datang dengan wajah lesu dan mata sembab."Kamu mau putus sama aku?" tanya Akio lirih. Matanya mengikuti gerak kikuk Joyce. Gadis itu berusaha menyembunyikan matanya yang juga sembab.
"Kenapa?" Akio memegang bahu gadis yang hanya setinggi lehernya itu. Tangan kekar Akio mendorong Joyce hingga terbentur tembok. Mata tajam yang mulai berair itu tak beralih dari wajah sang kekasih.
"Apa yang kamu pikirin? Kamu tahu, ini menyakitiku."
"Apa kamu pikir selama ini aku nggak sakit?"
Akio terdiam. Mata mereka beradu. Saling menyelami perasaan masing-masing dari air mata yang mulai mengalir.
"Kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Kamu lupa ada aku. Kamu lupa aku butuh kamu. Butuh kamu, bukan transferan uangmu!"
"Aku kerja demi--"
"Kita? Bukannya buat kamu sendiri?"
Jemari Akio bergerak, bermaksud mengusap air mata di pipi Joyce. Namun, Joyce dengan cepat menepis. Gadis berlesung pipi itu menunduk, menumpahkan tangisnya.
"Aku sakit, sendirian, dan kamu nggak pernah peduli. Kamu pikir saat kamu bayar dan kirim dokter pribadi untuk aku, itu membuatku sembuh? Tidak! Sakitnya di sini," ucap Joyce menepuk dadanya sendiri. Isaknya semakin dalam.
"Maafkan aku. Tapi aku mau kita kembali lagi, please!" Akio memegang kedua tangan Joyce, menangkupkannya di depan dada dan mengecupnya sekilas.
"Aku mau sendiri, please!" Joyce menarik tangannya. Dia lantas mendorong dada bidang Akio untuk menjauh.
"Pulanglah! Klienmu sudah menunggu. Aku mau ke butik." Tanpa menatap Akio, Joyce terus mendorong tubuh tinggi tegap itu hingga ke pintu.
"Joyce, please, aku minta maaf!"
Joyce sesenggukan di balik pintu. Pertahannya runtuh, tubuhnya melorot hingga bersimpuh ke lantai. Gadis itu memeluk lutut dan masih menangis.
Semalam, Joyce memutuskan Akio melalui pesan WhatsApp. Pesan singkat berisi enam kalimat itu dikirim olehnya setelah tiga panggilannya ditolak, dan puluhan panggilan lain yang tak terjawab.
Sore itu memang Joyce mengeluh pusing. Sebenarnya gadis itu hanya mencari perhatian Akio yang sudah hampir satu bulan tidak menemuinya. Rindu menggunung, begitu kata Joyce. Namun, bukannya datang, lelaki yang sibuk mengurus lima kafe dan restoran Jepang itu justru mengirim seorang dokter ke rumah Joyce.
Kecewa? Jelas. Bukan itu yang diinginkan Joyce. Dia hanya butuh Akio, bukan yang lain.
[Memang seharusnya aku tahu diri. Aku tidak pernah penting dalam hidupmu. Kulepas tanggung jawabmu mencintaiku. Kita putus! Jangan temui aku lagi!]
Semalaman Joyce tidak tidur hanya untuk menunggu bahwa pesan itu sudah berganti menjadi centang biru. Nyatanya tidak, hingga pagi. Lalu sejam kemudian Akio datang dengan wajah sembab.
Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi berkali-kali. Semenjak hubungan mereka memasuki tahun ke dua.
"Aku harus bolak balik ke Jepang, kumohon mengerti!"
"Rindu? Kenapa jadi manja, sih?"
"Aku capek, mau istirahat. Besok lagi, ya?"
"Aku nggak bisa dateng, maaf. Papa memintaku menemani dia buka cabang baru."
Itulah beberapa alasan yang diberikan Akio ketika gadis yang bekerja sebagai desainer baju pengantin itu meminta waktunya.
"Kalau kamu ikut, aku nggak yakin kamu suka."