"Mereka berantem lagi?" tanyaku pada Leah yang mulai menangis. Dengan telaten kubersihkan sisa beling dan meneteskan obat merah di telapak kakinya. Tanpa dijawab pun aku sudah tahu. Ya, orangtua Leah memang sering bertengkar. Tepatnya selalu bertengkar."Udah, jangan banyak gerak, nanti berdarah lagi."
Kutatap gadis berkacamata yang membuatku jatuh cinta, sejak SMP itu. Seragam putih abu-abunya kotor. Noda kecokelatan, bercak merah, dan kusut di sana-sini.
"Sini, peluk!"
Kurentangkan tangan memintanya bersemayam di dadaku. Dengan cepat, Leah terisak. Kurasakan hangat, karena air matanya pasti membasahi seragam putihku. Kedekap erat wanita tegar yang sangat kusayangi itu.
Menginjak SMA, tepatnya saat kami baru jadian, Leah mengeluhkan kedua orangtuanya yang terus bertengkar. Bukan hanya teriakan, lemparan barang-barang rumah tangga hingga pukulan sering mewarnai pertengkaran mereka.
Leah tidak menjadi korban, memang, tapi jiwanya sungguh sakit. Bagaimana dia bisa tahan melihat ayah dan ibunya saling memaki, melempar yang kemudian tamparan mampir di pipi sang ibu. Yang kemudian terdengar, tangis pilu sang ibu.
Leah? Tentu saja meraung di telepon. Ya, tiap kali orangtuanya bertengkar, Leah akan menelponku.
"Aku nggak mau pulang," bisiknya pelan setelah terisak.
"Terus mau kemana? Ke KUA?" candaku. Leah memukul dadaku pelan.
"Ke taman aja, yuk!" Leah menatapku, memohon. Kubelai anak rambutnya yang sedikit berantakan.
"Buat kamu, apa si yang nggak?" Leah tersenyum, meski hanya sedikit.
Kukeluarkan jaket dari tas, dan memakaikannya pada Leah. Tidak mungkin 'kan kami keluyuran dengan seragam sekolah seperti ini?
"Yuk!" Aku berjongkok di depannya.
"Ngapain?" tanyanya bingung.
"Ayo, naik aja!" Kurasakan tubuh Leah sudah membebani punggungku karena dengan cepat dia meloncat naik.
Hup!
Aku berjalan pelan dengan dia di punggungku.
"Jangan pernah sedih lagi, ya! Aku akan selalu ada buat kamu." Leah mengeratkan pelukannya di leherku ketika mendengar ucapanku.
"Terima kasih, ya." Sebuah kecupan dingin mendarat di pipiku.
"Nggak perlu terima kasih. Sudah kewajibanku, kan?" Leah menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Kamu nggak capek?" tanyanya.
"Aku ingin seperti matahari, terus menyinari tanpa lelah. Meski kadang tidak dianggap." Kulirik dia yang terdiam.
"Aku ingin terus seperti ini," ucapnya pelan. Kusatukan kepalaku ke kepalanya.
"Aku akan membuat setiap kebersamaan kita, seperti ini." Lagi Leah mencium pipiku. Kali ini lebih lama.
Setelah sampai di taman, kami seolah melupakan masalah besar. Bermain, bercanda dan bercerita sepanjang hari. Aku senang membuat Leah kembali tertawa.
"Brian? Aku mencintaimu!" ucapnya tiba-tiba ketika kami menikmati ice cream. Kutatap netra bersinar itu dengan penuh cinta.
"Aku sangat mencintaimu. Teruslah kuat dan sabar, hingga aku menjemputmu menjadi milikku seutuhnya."
Leah mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku sekilas. Senyum itu ... sungguh menenangkan. Siapa yang tahu jika di balik senyum itu ada duka yang dalam. Sangat dalam.
"Maukah kau menjadi istriku?" Kuulurkan cincin dari rumput taman. Kontan saja Leah tertawa. Aku terkekeh dengan menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Aku mau, kok jadi istri kamu," jawabnya sedikit berbisik sambil mengulurkan jarinya.