Manten Minggat

1 0 0
                                    


"Rara nggak mau, Mak. Masak dijodohin, sih?" Gadis berlesung pipi itu menangis di ranjangnya.

"Ini kan demi kebaikan kamu, Nduk," ucap wanita paruh baya yang masih tetap cantik itu. Rara menggeleng keras.

"Terima saja. Semua sudah Bapak atur, besok pagi mereka datang!" Tiba-tiba Pak Danu muncul di pintu dan menatap lekat pada putri dan istrinya.

"Nggak mau, Mak." Rara memeluk mamaknya erat. Tak peduli jika usianya sudah hampir menginjak kepala tiga.

"Terima saja, ya! Bapak nggak akan salah milih orang. Bapak tau yang terbaik buat kamu. Ya?" Rara tetap saja menggeleng.

Gadis itu masih menangis tersedu-sedu di kamar. Berharap sang bapak luluh hatinya dan menggagalkan perjodohan yang sudah direncanakan. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Lelaki mantan tentara itu tetap keras hati dan tidak mau tahu. Berontak? Rara terlalu takut. Bukan pasal akan dipukul atau dikasari, dari kecil memang gadis itu tidak pernah berani menolak dan membantah perintah orang tuanya. Disiplin selalu menjadi hal yang diutamakan oleh sang bapak.
****

[Ram, aku mau dijodohin. Gimana?]

Lama Rara menunggu hingga pesan itu centang dua biru. Lebih lama lagi gadis itu menunggu balasannya.

[Ram, balas!]

Resah. Rara duduk menghadap ke luar jendela. Seharian gadis itu sudah menangis dan malam ini dia akan menyusun rencana. Rama satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Sahabat sejak sekolah dasar itu pasti bisa membantunya.

[Ramaaa! Balas, atau kita musuhan!]

Rara geram. Terus ditatapnya layar ponsel yang menampilkan chat-nya dengan Rama. Pemuda yang berprofesi sebagai dokter di puskesmas desanya itu sedang mengetik.

[Mau dibantu apa?]

Rara dengan cepat membalas.

[Bawa aku kabur! Atau anter ke kota. Bisa? Harus bisa!]

Rara menutup ponsel. Kebiasaannya yang suka memaksa memang sering membuat Rama tak berdaya. Lelaki itu pasti akan manut saja apapun keputusan sahabatnya.

Tanpa membaca balasan dari Rama, Rara dengan cepat menurunkan koper dari atas lemari. Dengan cepat pula gadis itu mengeluarkan beberapa potong baju dan jeans yang biasa dia pakai ketika turun ke perkebunan warga, sosialisasi pertanian.

"Ehm, ke rumah Aliya dulu kayaknya. Minta anterin dia ke kota," gumamnya pada diri sendiri sembari mengetik pesan pada teman semasa kuliahnya itu.

Rara lantas mengirim pesan pada dua rekan kerjanya. Gadis itu izin beberapa hari tidak masuk kantor karena ada urusan mendadak yang harus dikerjakan. Meski Kantor Penyuluhan Pertanian tempatnya bekerja sedikit heran, tapi akhirnya mengijinkan juga.
****

Dengan sangat hati-hati Rara menurunkan koper dari jendela. Beban berat itu sedikit berkurang ketika Rama dengan cepat membantunya. Masih dengan dibantu Rama, Rara turun perlahan dari jendela kamarnya. Mereka berdua lantas mengendap-ngendap ke halaman dan dengan sangat pelan membuka pagar rumah. Rama segera menaikkan koper ke jok belakang dan segera menuntun sepeda motornya mengikuti Rara.

Setelah berada agak jauh dari rumah, Rama meminta Rara untuk naik ke boncengan dan memangku kopernya. Beruntung koper Rara tidak terlalu besar.

"Kamu sudah yakin?" tanya Rama sedikit berteriak karena laju motor yang sedikit kencang.

"Iya. Anterin ke rumah Aliya aja, ya!" jawab Rara juga berteriak.

"Tapi nunggu pagi, kan?" Rama sesekali menoleh untuk mendengar jawaban sahabatnya itu.

"Iya. Muter-muter aja dulu, nunggu pagi!" Rama langsung mengangguk.

Motor melaju pelan di dinginnya dini hari. Jalanan masih sepi karena memang masih pukul tiga pagi. Rara merapatkan jaket, begitu juga Rama. Hingga kemudian lelaki jangkung dan berkacamata itu menghentikan motor di sebuah taman yang tak jauh dari masjid.

"Kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Rama sembari merapatkan jaket. Rara yang mencoba menghubungi Aliya mengangguk mantap. Sepertinya dia kesulitan membangunkan gadis kota itu.

"Kenapa? Kan kamu sendiri yang bilang pengen nikah." Rara meletakkan ponsel, menghembuskan napas lalu menatap Rama.

"Iya. Tapi ... aku maunya nikah sama orang yang bener-bener kukenal. Okelah cinta bisa tumbuh kapan saja, tapi harus kenal, kan?"

"Kan kamu belum liat dia kayak gimana? Kok main tolak aja?"

"Rama, please! Aku nggak mau debat sama kamu, ya!"

Rama terdiam.

"Dia sudah tua. Mungkin sebaya bapak. Masih ganteng, sih, tapi apa kamu rela aku nikah sama orang tua?" Rara mencoba menjelaskan. Dia teringat wajah lelaki yang pernah berbincang serius di teras bersama bapaknya sebelum perjodohan itu terjadi.

"Ya kan kamu bisa kenalan dulu," kata Rama. Dia menatap sahabatnya yang menopang dagu dengan kedua tangannya. Mengenal gadis bertubuh tinggi langsung itu bertahun-tahun memang tidak akan ada gunanya jika dia memberi saran. Rara akan tetap pada pendiriannya, tak peduli apa kata orang.

"Nggak. Aku nggak mau!" Rara menggeleng keras.
***

"Kita mau ke mana?" tanya Rara ketika Rama melajukan motor tidak sesuai permintaannya. Bukannya menjawab, pemuda itu malah tancap gas. Sontak saja Rara emosi dan memukul-mukul punggung Rama agar berhenti.

"Bukan begini caranya orang dewasa!" Rara terdiam ketika Rama membentaknya. Selama ini lelaki itu selalu lembut dan diam.

Rara akhirnya hanya bisa menangis ketika Rama ternyata membawanya kembali ke rumah. Gadis itu hanya menunduk saat Rama menghentikan motor. Pasti sudah sampai, pikir Rara. Benar saja, suara yang amat dikenalnya langsung menyongsong kedatangan mereka.

"Kamu baik-baik saja?" tanya mamak langsung memeluknya. Rara balik memeluk erat. Dia sudah bisa menebak jika sekarang sang ayah pasti sedang melotot ke arahnya.

"Masuk!" perintah sang ayah. Rara perlahan membuka mata dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati seorang lelaki yang dihindarinya ada di sana.
*****

"Katanya mau nikah, kok malah kabur?" canda lelaki seusia Pak Danu yang langsung disambut tawa mamak dan bapaknya. Tak lupa Rama ikut tertawa. Meski akhirnya dia menunduk setelah Rara melotot ke arahnya.

"Kedatangan saya ke sini, ya melanjutkan pembicaraan kemarin, Mas Danu. Bagaimana?" Rara tetap menunduk. Dia tak berani menatap lelaki yang tepat di depannya itu.

"Kebetulan keduanya ada di sini, ya tanya langsung aja, Mas!"

Rara mengangkat wajah. Dia menatap bapak dan lelaki itu bergantian.

"Bagaimana, Rama?" tanya lelaki itu pada Rama. Rara menatap sahabatnya tak mengerti.

"Saya, sih, terserah Paman saja."

Rara semakin tak mengerti.

"Paman?" gumamnya.

"Iya, dia Paman Wira, adik almarhum ayahku," jawab Rama mantap.

"Maksudnya aku dijodohin sama paman kamu? Kamu ... kamu tahu tentang ini?" cerca Rara cepat.

Bukannya ada yang menjawab, mereka semua malah tertawa terbahak-bahak. Pak Danu bahkan sampai terbatuk-batuk.

"Makanya kalau bapak ngomong itu didengerin dulu, bukan malah ditinggal kabur. Untung yang nganterin kabur calon suami sendiri, ya, Mas?" Bapak mengedipkan satu mata pada paman Rama. Sedangkan Rama hanya tersenyum malu tak berani menatap sahabatnya yang pasti akan menagih jawaban darinya.

"Lha kamu mau nikah sama Paman? Kalau ndak mau, ya sama ponakan Paman saja, hehe."

Semua yang hadir tersenyum senang, tapi tidak dengan Rara. Gadis itu terus menatap Rama yang tak berani menatapnya.

END
****

Baturaja, 09 April 2020

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang