Dalam Diam

8 0 0
                                    


Langkahku semakin mendekati kedua mempelai yang sedang berbahagia. Kuatur degup jantung yang terlalu aktif. Tanganku pun semakin basah oleh keringat. Entah seperti apa ekspresiku sekarang, yang jelas terasa aneh. Wajahku kaku, sedangkan bibir kupaksa untuk tersenyum.

"Selamat, ya, May," ucapku menangkupkan telapak tangan di depan dada. Kali ini senyumku melentur, sedikit ikhlas. Hal yang sama dilakukan oleh Mayza, mempelai wanita. Jemari lentik berbalut sarung tangan putih itu ditangkupkan juga di depan dada. Aku tahu dia juga tersenyum.

"Terima kasih, Zam. Terima kasih sudah menjadi saksi hari bahagia kami," ucapnya tulus sembari melirik Revan di sampingnya. Lelaki berwajah teduh itu tersenyum tulus padaku. Aku? Tersenyum seadanya.

"Terima kasih juga sudah menjadi yang istimewa dalam hidupku. Menjadi hal penting dalam do'aku, Mayza," ucapku dalam hati. Aku hanya menunduk. Bahkan hanya untuk menatap ujung gaun putihnya pun aku tidak berani.

"Cepet nyusul, ya, Mas!" Revan menepuk pundakku pelan. Aku mengangkat wajah, bersitatap dengan lelaki yang kuanggap sainganku, dulu. Kami lantas sama-sama kembali tersenyum, aku dan kedua pengantin. Mereka tersenyum karena akhirnya hari bahagia itu datang, sedangkan aku tersenyum untuk menutupi perih di dalam sana. Di tempat yang sama aku mengukir nama sang mempelai wanita. Setidaknya aku tersenyum, kan?

Dua bulir bening meleleh turun bersamaan dengan berpalingnya wajahku dari wajah Mayza.  Wajahku terasa panas. Namun, hatiku lebih dari itu. Terbakar, perih,  dan sakit.

Kini, wanita yang kucinta selama tiga tahun itu--sejak menjadi mahasiswa baru--  sudah resmi menjadi milik orang lain.

Tidak peduli berapa lama aku memendamnya, seberapa besar perasaan yang kupunya, atau seberapa sering aku menyebutnya dalam doa, aku tak berhak kecewa. Ya, aku tidak punya hak untuk itu, karena Mayza memang tidak pernah tahu apa yang kurasakan.

Ya, selama ini aku hanya memendamnya, sendiri. Bersama Tuhan, aku menjaganya, karena aku tidak ingin menjadi perusak kebahagiannya bersama Revan, cinta pertama dan terakhirnya. Hal yang kutahu saat aku sudah terlanjur menyimpan Mayza dalam hatiku.

"Aku akan menikah, bulan depan," ucapnya ketika itu. Ketika aku selesai mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang kurasa. Cinta harus diungkapkan, bukan? Tidak ada kata terlambat sebelum qobiltu, bukan?

Aku bagai tersengat listrik. Terdiam dan seolah tuli dari sekitar. Jantungku seolah diremas habis. Hanya tersisa namanya yang tidak lagi utuh.

Aku terdiam. Sangat lama. Bahkan saat Mayza selesai menceritakan detail acara pernikahannya.

Aku sangat ingin berbicara saat itu. Aku ingin dia tahu bahwa aku mencintainya, tapi di sisi lain aku tak ingin merusak bahagianya. Bukankah sahabat seharusnya ikut berbahagia ketika sahabatnya bahagia?
Ya, kami hanya sahabat, tidak lebih. Begitu katanya. Aku saja yang terlalu berlebihan mengartikan kebaikan dan perhatiannya.

Hingga Mayza pulang, aku masih termangu. Tidak ingin beranjak andai saja azan tidak berkumandang. Entahlah. Apa ini yang dinamakan patah hati? Bagiku, bukan! Ini adalah mati hati. Ya, hatiku telah mati sejak saat itu.

Kubiarkan air mataku mengalir. Gelap, tidak akan ada yang melihatku menangis.

"Tuhan, dia bukan milikku,  dan tidak akan menjadi milikku. Maka, ikhlaskan! Ikhlaskan, Tuhan!" pintaku dalam hati.

Aku masih ingat dengan jelas, betapa setiap malam aku selalu menyebut namanya. Berharap agar dia menjadi milikku. Hingga tanpa kusadari harap itu semakin tinggi.

Namun, semakin lama, aku semakin sadar, bahwa aku egois.  Bagaimana aku memintanya untuk bersamaku, jika bukan aku bahagianya?

Bagaimana aku berdoa dia menjadi jodohku, jika ada orang lain yang lebih khusyuk memintanya pada Sang Khalik?

Sekarang aku hanya berdoa, supaya hatiku baik-baik saja. Walaupun itu akan butuh waktu lama. Bahkan mungkin lebih lama dari waktuku untuk memendam cintaku padanya.

"Ya Rab, bersamakan aku dengan dia yang menyebut namaku. Seperti aku menyebut Mayza dalam doaku. Entah siapapun itu"
.
END
.
Baturaja, 12102018

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang