Nyatanya seseorang itu hanya menghilang dari pandangan, bukan dari hati dan kenangan.
****Kuberikan senyum termanis pada Al, calon suamiku. Sembari sesekali mengusap keringat di telapak tangan. Aku gugup. Ya, kurasa ini wajar. Setiap calon pengantin akan begitu, bukan?
"Kamu cantik, Sayang," ucapnya pelan memujiku yang mengenakan gaun pengantin berwarna kuning gading. Aku tersipu. Meski dia selalu memujiku, tapi tetap saja ini membuatku melayang. Apalagi dipuji di depan orang banyak.
"Kamu juga tampan, Sayang," balasku melihatnya yang gagah dengan jas hitam dan dasi. Rambut gondrongnya dikucir rapi dengan rambut halus di wajah yang mulai tumbuh. Dia sungguh tampan dan mempesana seperti biasanya, meskipun ....
"Sudah siap?" tanya penghulu. Kami mengangguk. Buncah bahagia kurasakan ketika melihat semua keluarga menghadiri, menjadi saksi hari bahagia kami. Ya, meskipun mendadak dan sederhana.
Dengan mata berkaca-kaca, Ayah menjabat tangan Al, bersiap mengucap kalimat sakral. Dengan mantap pula Al mengucap ijab qabul. Mataku mulai buram. Tidak! Ini hari bahagia kami, aku tidak boleh menangis.
Namun, akhirnya air mataku mengalir juga ketika menatap wajah Al yang terlihat berseri setelah resmi menjadi suamiku. Tidak pucat, seperti biasanya.
Aku menggigit bibir ketika bibirnya yang pucat perlahan bergumam, "Aku mencintaimu, istriku."
Kuraih tangannya yang terulur. Ingin sekali aku memeluknya, seperti dulu, tapi apa daya. Aku hanya tidak ingin membuatnya tidak nyaman.
Kugenggam tangan dingin itu. Wajah kami sudah berdekatan. Al meraba pipiku, mengusap air mataku perlahan.
"Terimakasih sudah memilihku," ucapnya pelan. Aku hanya mengangguk. Dari jarak sedekat ini, aku bisa merasakan semuanya. Tatapan cinta, buncah bahagia, dan harapan.
"Aku akan terus mencintaimu, sampai kapan pun." Sungguh, aku benar-benar tulus mengucap janji itu.
"Aku juga. Kau adalah bidadariku di dunia dan akhirat kelak." Al memelukku. Aku mencoba mencegah, tapi Dokter Bram yang ada di belakang kami, mengangguk.
Tidak! Jangan sekarang!
"Kamu harus kuat! Harus bahagia!" bisiknya. Aku memeluknya erat. Tidak peduli apa yang terjadi padanya.
"Aku janji!" Kali ini sesakku terasa menyakitkan.
"Carilah penggantiku, karena kau akan kesepian." Aku menggeleng.
"Tidak! Kamu tidak akan terganti," ucapku dengan dada sesak. Dia hanya terkekeh pelan.
"Apa kau sudah rela?" Aku mengusap pipi mendengar pertanyaannya. Otakku seakan tidak bekerja lagi. Bahkan hanya untuk menyuruh air mataku tidak mengalir. Sial! Bukankah aku berjanji tidak akan menangis.
Lama aku tergugu. Memeluk dan meresapi hangat tubuhnya. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Hal selalu kurindukan sejak dulu.
"Iya. Pergilah! Istirahatlah dengan tenang ... Sayang." Akhirnya aku berucap pelan. Kalimat yang kuucapkan sendiri, tapi juga membunuhku. Sebuah tangan kekar seolah meremas jantung, hingga membuat tubuhku mati rasa.
Al mengelus pungunggku pelan, sedangkan aku memeluknya lebih erat lagi. Tak peduli jika mesin pendeteksi jantungnya berbunyi semakin lambat.
"Aku mencintaimu, sampai akhir hidupku ...," ucapnya dengan napas yang mulai payah.
Kurasakan pelukan dan usapan tangannya di kepalaku semakin melemah. Lemah dan akhirnya terhenti. Aku menggigit bibir ketika merasakan kepalanya terkulai di pundakku, dengan air mata yang mengalir.
"Tidak! Aku mohon! Jangan sekarang!" Aku berteriak panik ketika suara pendeteksi denyut jantungnya memanjang. Terdiam.
Aku menjerit dan memeluknya seerat mungkin. Kupanggil namanya berkali-kali, berharap dia bersuara. Tubuh lunglainya kugoncang, seolah itu bisa membuatnya bangun kembali. Namun, semua sia-sia. Ya, percuma dan aku tahu itu.
Beberapa orang mencoba melepas pelukan kami. Mama yang menangis, memelukku. Berusaha menjauhkan aku dari Al. Begitu juga Papanya Al. Dengan wajah tegar dia berusaha meraih tubuh Al dari pelukanku. Aku berontak, menolak sekuat tenaga.
"Jangan! Jangan ambil dia! Kumohon ...!" Semua terdiam dengan isak tangis tertahan.
"Aku masih ingin bersama Al. Kumohon ...!"
Telingaku dengan jelas mendengar isak tangis banyak orang. Orang yang menyaksikan hari bahagia kami. Apa aku sangat mengenaskan? Entahlah.
Mereka ikut bahagia, tapi aku juga yakin mereka sama sepertiku. Aku? Ya, aku bagai kehilangan nyawa. Al-ku sudah pergi. Membawa seluruh cinta, kenangan dan juga bahagiaku.
Hanya hampa yang tertinggal di sini, di hati yang sudah tak lagi berbentuk.
Akhirnya aku menyerah. Membiarkan orang-orang membawa tubuh Al, menjauh. Satu per satu alat penopang hidupnya dilepas. Selang-selang yang mengurangi rasa sakitnya perlahan dicabut. Dia sudah kalah.
Tidak! Dia sudah menang. Dia mampu melawan ragunya untuk menikahiku di sisa hidupnya. Dia melawan sakit kankernya demi untuk memenuhi janjinya. Menjadi suamiku.
****Masih dengan gaun pengantin, aku menatap tubuhnya--yang sudah berganti pakaian--perlahan diturunkan. Diistirahatkan dalam keabadiannya.
"Selamat beristirahat, Sayang. Kau tak akan terganti."
Istrimu, Rindu.
***END
.
Baturaja, 12 September 2018