Patricia melangkah cepat, menghindari kejaran Alfath. Gadis 25 tahun itu terpojok di ujung lorong kantor. Dia mendengkus kesal. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah menyerah dan pasrah. Alfath tersenyum menang melihat gadisnya terpojok. Melipat tangan di dada, memasang wajah kesal tanpa senyum nyatanya malah membuat Alfath semakin tersenyum menatapnya. Semakin jatuh cinta ... mungkin."Ayolah, menikahlah denganku!" Patricia melengos. Gadis manis itu jengah menghadapi Alfath, rekan kerjanya selama enam bulan ini. Sudah berminggu-minggu Alfath melakukan hal yang sama. Tak peduli penolakan, lelaki itu tetap melakukannya.
"No! Big no!" Patricia berlalu.
"Aku kurang apa?"
Patricia hanya diam, tanpa mau menatap wajah Alfath yang justru tak beralih menyusuri setiap lekuk wajah cantik miliknya.
"Please, marry me!" Kali ini Alfath berjongkok di depan Patricia. Dia mengulurkan sekotak cincin bermata bening yang cantik.
"Oh, please stop it! Aku jijik melihatmu begitu," ucap gadis bertubuh langsing itu ketus. Lantas mendorong Alfath hingga jatuh bersimpuh.
Patricia berlalu. Meninggalkan suara ketukan stiletto hitam di lantai marmer. Pun meninggalkan Alfath yang jatuh bersimpuh. Ya, ditolak lagi. Seperti sebelumnya. Entah dengan halus atau terang-terangan seperti ini. Namun, lelaki kurus dan tampan itu sepertinya tidak menyerah.
"Bukan Alfath kalau menyerah. Lihat saja nanti!"
Alfath lantas menuju meja kerjanya. Setumpuk file dari klien sudah menunggu. Sesekali dia melirik Patricia yang duduk tak jauh dari meja kerjanya. Senyum sinis tercipta pada bibir kecokelatan itu.
****"Apa-apaan ini?" gumam Patricia keheranan. Matanya melotot menatap taburan kelopak mawar beraneka warna di lantai rumahnya. Benda itu berserakan dari pintu masuk hingga ke ruang tengah.
Patricia semakin terbelalak ketika memasuki kamar. Ruangan bernuansa hitam itu juga penuh dengan mawar dan balon dengan aneka warna.
Belum sempat gadis itu mencari tahu lebih banyak, sebuah benda kecil berujung runcing menusuk lehernya. Pandangannya mendadak kabur lantas menghitam dengan tubuh yang tak berdaya.
****"Sudah bangun, Sayang?"
Patricia menggeliat. Lantas meronta ketika tahu bahwa kini dirinya terikat kuat di sebuah kursi. Kedua tangannya terikat ke belakang, kaki yang diikat erat pada kedua kaki kursi, dan tubuh yang juga diikat.
Dia dihadapkan pada meja makan yang penuh bunga mawar dan kue cokelat dengan hiasan patung pengantin di atasnya.
"What the hell are you doing!" pekiknya.
"Sstt, jangan berisik!" Alfath menempelkan telunjuknya di bibir merah Patricia. Tangan kekarnya memainkan pisau kecil yang ditemukannya di meja rias wanita itu.
"Aku kan sudah bilang, menikahlah denganku! Kau tak paham bahasaku, ya?" Ujung pisau diarahkan ke wajah Patricia yang berkeringat.
"Aku tidak sudi menikah dengan lelaki aneh sepertimu. Aku lebih baik ...."
Plak!
Pipi sehalus porselen Patricia memerah akibat tamparan keras Alfath."Kau .... Baiklah, sepertinya kamu lebih suka paksaan. Akan aku lakukan!"
Alfath melepaskan ikatan tangan Patricia. Meletakkan kedua tangan itu di pangkuan Patricia dan mengikat kembali ke pahanya.
"Menikahlah denganku! Aku memerintahmu, bukan bertanya. Paham?" Alfath mengambil kotak cincin di saku celananya. Tergesa-gesa dia mengambil dan segera meraih jari manis Patricia.
"Apa ini?" tanyanya ketika melihat cincin perak sudah terpasang di jari manis Patricia.
"Kau sudah menikah? Tidak! Kau tidak boleh menikah dengan orang lain!"
Alfath kalap, jemari kokohnya mencengkeram pipi Patricia dengan kuat.
"Kau .... Sial!" Alfath menyentakkan wajah Patricia. Luapan emosi terlihat jelas dari rahangnya yang menegang. Lelaki 27 tahun itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari sesuatu. Hingga matanya menemukan sebuah gunting. Dia tersenyum sinis dan meraih benda tajam itu.
"Apa yang akan kau lakukan?" Patricia berontak, berusaha melawan.
Tanpa menjawab, Alfath langsung meraih jemari Patricia. Gadis itu menjerit saat jari manisnya berada di antara mata pisau gunting. Semakin menjerit ketika Alfath menekan gunting dengan kuat.
Darah mengucur deras bersamaan dengan jari pucat yang terjatuh ke lantai, lengkap dengan cincin yang kini berwarna merah. Patricia menjerit. Kursi yang didudukinya bergerak-gerak karena dia meronta kuat.
"Kamu akan menyesal melakukannya. Aku akan .... Akh!" Patricia terhenyak saat tinju kokoh Alfath menghantam perutnya.
"Andai kau bersikap manis, kita pasti sedang melakukan adegan romantis sekarang. Lihat! Kau mengacaukan segalanya, 'kan?" Alfath menjambak rambut halus Patricia hingga mendongak.
"Kalau aku sudah begini, kau bisa apa, hah?" bentaknya lantas berjongkok, memungut potongan jari Patricia. Dia terkekeh menatap jari yang pucat dan berlumuran darah.
Tiba-tiba Alfath mengerang seraya memegang leher. Belum sempat menoleh, tubuhnya ambruk karena tak kuat menahan beban. Ya, Patricia sudah menerkamnya dengan bengis. Pisau kecil dan tajam yang tadi dipegang Alfath nyatanya sudah menjadi senjata Patricia sekarang.
Alfath mengerang kesakitan karena Patricia terus menusuk lehernya dengan membabi buta. Hingga akhirnya dia tersungkur ke lantai.
"Sudah kubilang aku tidak mau menikah denganmu! Kau tak paham bahasaku, ya?" bisik Patricia sembari membalik tubuh Alfath yang bersimbah darah. Dia tersenyum sinis.
Alfath menggapai-gapai dengan mulut dan leher yang terus mengeluarkan darah. Patricia yang duduk di atas dadanya justru tergelak.
"Tch, psikopat amatiran!" Patricia bangkit, sedikit merapikan kemeja kerjanya yang penuh darah. Kaki jenjangnya lantas menendang tubuh Alfath yang diam, mati. Tak lupa gadis itu memungut potongan jemarinya di lantai.
Patricia menyeret tubuh Alfath. Membawanya ke sebuah ruangan. Aroma anyir dan busuk bangkai menguar tajam. Namun, gadis itu seperti sudah terbiasa. Dengan santai dia menyalakan lampu, membuat terang seluruh ruangan.
"Kuharap ini yang terakhir. Aku muak dengan rayuan tak bermutu mereka." Dia menatap satu persatu lima jasad yang berjejer rapi di tembok dengan tangan dan kaki yang dipaku.
Mata lentik itu meneliti satu persatu wajah mereka. Termasuk cincin yang sengaja di tancapkan di mata para lelaki.
"Memintaku menikah adalah sebuah kesalahan!"
Patricia berbalik. Mematikan lampu dan menutup kembali pintu.
"Mungkin dengan cacat ini tidak akan ada yang mau memintaku untuk menikah. Ah, dasar lelaki sialan! Aku jadi tidak bisa memakai cincin lagi." Patricia menatap jarinya yang berkurang satu. Dia mulai mengobati jari manisnya yang buntung.
****[Maukah kau menikah denganku, mawar tercantik di dunia?]
Patricia membanting ponselnya ke lantai. Lagi? Mengingat wajah sang pengirim pesan saja sudah membuatnya muak. Ya, dia adalah Kansrah, manager barunya. Lelaki sombong dan sok kaya yang intens mendekatinya selama seminggu ini.
"Oh, come on! Aku lelah! Aku lelah membunuh," keluhnya.
....
END