Cerita Secangkir Kopi

0 0 0
                                    


Aku menggeliat mencium aroma kopi. Mengerjap sebentar sebelum akhirnya benar-benar bangun. Mataku menangkap gerakkan Kaila di ruang makan.

"Kopi? Sejak kapan?" tanyaku padanya yang meletakkan cangkir besar khas tempo dulu. Cangkir berbahan seng dengan aksen lurik hijau bercampur putih. Uap panas masih mengepul saat Kaila menutupnya.

"Kan ayah suka kopi, Mbak. Lupa?" Kaila balik bertanya. Aku tercenung.

"Nanti kalau ayah pulang, bilang suruh abisin kopinya, ya!" Kaila mengambil tas, lantas berlalu sambil mengucap salam.

Aku termenung menatap secangkir kopi di meja. Ada sepiring nasi goreng untukku si sebelahnya dan beberapa pisang goreng. Sarapan yang sempurna.

Menjelang siang aku pergi ke pasar. Ada beberapa bahan yang harus kubeli untuk pesanan. Kain hitam dan motif bunga-bunga. Membayangkan gamis yang akan kubuat saja sudah membuatku senang. Apalagi saat menerima bayaran nanti. Ya, lumayan untuk membantu Kaila membeli buku. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris tingkat akhir itu memang sedang butuh banyak biaya. Beruntung dia mendapat beasiswa penuh dari kampus. Aku? Ah, bisa lulus kuliah dengan IPK standar saja sudah bersyukur. Apalagi sekarang aku bisa membuka butik kecil-kecilan di rumah.

Aku pulang menjelang malam. Ketika Kaila juga sudah di rumah. Wajahnya masam, terlihat tidak suka. Apa karena aku terlalu lama?

"Kira-kira dong kalau pergi. Masa pulang malam begini!" Dia berlalu ke kamarnya dengan membanting pintu.

Ah, baru juga sebentar di rumah dan kami mengulang kebiasaan lama, bertengkar. Saudara kandung memang begitu, 'kan?

"Maaf, Mbak mampir ke rumah Tante Mai. Dia ...."

"Dia nggak bilang yang aneh-aneh, 'kan?" Kaila tiba-tiba membuka pintu dan menatapku yang keheranan. Aku menggeleng.

"Jangan didengerin apa kata dia. Dia pembohong. Sama kayak Om Danu, Bik Sina, dan orang-orang." Pintu kembali tertutup. Aku termangu memikirkan ucapannya.

                            ☕☕☕

"Hari ini ada acara sama anak-anak organisasi. Aku pulang malam," kata Kaila yang sedang menyiapkan kopi.

"Hati-hati!" Anjuranku tak dijawab karena kini dia sudah menaiki motor matic-nya.

Aku kembali tercenung menatap secangkir kopi dengan aroma yang masih tertingggal. Kopi hitam pekat dengan sedikit gula batu, diseduh dengan air mendidih langsung dari panci, dan dihidangkan di cangkir favorit adalah hal kesukaan ayah. Dua hari di rumah, secangkir kopi itu yang selalu kutemukan ketika bangun tidur.

Biasanya ayah pulang menjelang siang dengan membawa hasil tangkapan berupa berbagai jenis ikan sungai. Ya, ayah adalah nelayan tradisional. Mengandalkan jala dan panah untuk menangkap ikan. Ayah berangkat dini hari dan pulang menjelang siang. Selalu begitu setiap hari.

"Ayah tidak takut?" tanyaku dulu ketika tahu ayah selalu berangkat setelah tengah malam.

"Ayah lebih takut jika anak-anak ayah tidak bisa makan dan bersekolah." Tangan kasar dan besarnya membelai kepalaku. Ada Kaila yang tertidur di pangkuannya. Kami biasa seperti ini sebelum ayah berangkat.

"Ayah rindu ibu?" tanyaku pelan dan hati-hati. Ayah menghela napas berat. Menatapku dan tersenyum.

"Sangat. Sama seperti Kania dan Kaila, ayah sangat merindukan ibu." Aku langsung menghambur dalam pelukannya.  Tubuh kekar dan tangan kokohnya adalah tempat ternyaman untukku.

"Ayah yang sabar dan kuat, ya!" Ayah hanya terkekeh melepas pelukanku.

"Ada dua bidadari di sini, ayah pasti kuat. Kan kalian punya kekuatan warisan dari kayangan. Iya, 'kan?" Kami lantas tertawa.

Magic WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang