"Abang kapan lamar aku?" tanya Via tiba-tiba pada Boy yang sedang menikmati kopinya di kantin kampus Via."Kenapa nanya gitu, Dek?" Boy menatap wanita yang hampir satu tahun ini dipacarinya. Gadis berlesung pipi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris semester akhir.
"Emang hubungan kita mau gimana? Pacaran doang?" cerca Via sedikit sebal.
"Ehm, besok siang, deh, Abang ke rumah."
"Nanti sore. Mumpung Ayah libur."
Boy terdiam. Belum juga bertemu, jantungnya sudah berdegup kencang. Apalagi mengingat perkataan teman-temannya jika Ayah Via adalah orang yang galak. Boy sendiri sedikit segan mengingat beberapa kali dia pernah bertemu sang calon mertua ketika mengantar Via kuliah.
"Huh, harus berani! Demia cinta pada Via," gumamnya pada diri sendiri.
****"Punya apa mau lamar Via?" tanya Pak Malik—ayah Vita— yang sedang membaca koran.
"Ehm, anu ... saya ...."
Boy terdiam ketika Pak Malik melipat koran dan menatap lekat padanya. Mata tajam serta kumis tebal itu nyatanya sukses membuat nyali Boy menciut.
"Saya mencintai anak bapak dengan segenap jiwa. Sangat mencintainya," ucapnya mantap dengan keringat yang mulai muncul di dahi. Padahal AC rumah Via sangat dingin.
"Saya tanya kamu punya apa?" Tak ada wajah bersahabat dari seorang lelaki beranak dua itu.
"Saya janji akan membahagiakan Via dengan sepenuh hati. Saya akan membahagiakan dia lahir dan batin. Saya janji, Pak." Boy menahan napas ketika mengucapkan itu. Wajahnya tegang.
"Jadi ... kamu cuma punya cinta dan janji? Yakin, anak saya kenyang?"
Boy menunduk. Telapak tangannya sudah berkeringat. Sedangkan Via hanya mengurut dahi menyaksikan ketegangan di depannya.
"Saya menikahi ibunya dan membesarkan Via bukan cuma modal cinta. Apalagi janji. Pulanglah, pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan untuk membahagiakan Via setelah menikah!"
Boy menatap Pak Malik yang kembali membaca koran dan Via yang bermuka masam bergantian. Ada raut wajah tidak suka di wajah Pak Malik dan rona kecewa di wajah kekasihnya.
****"Via? Dengerin Abang dulu! Ayah kamu benar."
"Ya memang benar, kan? Via sudah bilang, ceritakan apa adanya, bukan malah ngebucin!" jawab Via kesal. Sifat Boy yang cenderung susah serius nyatanya masih saja terbawa bahkan ketika membahas hal penting.
"Itu juga apa adanya, Via. Abang memang mencintai kamu sepenuh jiwa. Abang janji akan melakukan apa saja untuk membua kamu bahagia." Boy memegang bahu Via dan menatap lekat mata berpupil kecokelatan itu.
"Lalu?"
"Abang mau jadi Iko Uwais."
"Hah?" Via melongo.
"Merantau maksudnya, hehe."
"Serius?"
"Iya. Takut nggak kuat nahan kangen, ya? Cie ...." Via menepis tangan Boy dan melengos.
"Bukan. Via takut kegoda lelaki lain, hehe."
"Bisakah?"
"Hehe, ya nggak lah, Bang. Via akan nunggu Abang di sini. Via kan juga harus kuliah. Sembari Via meyakinkan ayah kalau Abang patut diperhitungkan untuk direstui."
"Benar?"
Via mengangguk. Taman kampus sore itu menjadi saksi janji setia mereka.
Mereka tidak menyangka jika kisah cinta itu harus terpisah sementara. Via tetap melanjutkan kuliahnya hingga selesai sembari menunggu Boy yang memutuskan untuk merantau demi masa depan mereka.
Ya, cinta dan janji saja memang tidak cukup untuk modal berumah tangga. Apalagi bagi pengangguran banyak acara seperti Boy. Masih beruntung bidadari secantik Via mau menerima cintanya.
****Dua tahun kemudian ....
"Wah, adeknya gerak-gerak, hihi ...." Bocah perempuan berusia empat tahun tertawa geli sembari meraba perut Via yang membesar. Wanita yang kini mengenakan jilbab lebar itu ikut tertawa.
"Baik-baik di sini, ya, Dek. Jangan nakal!" ucap bocah itu masih dengan mengusap perut Via.
"Jadi, kamu sudah punya anak?"
Via dan bocah itu terkejut ketika mendapati seorang lelaki yang sangat dikenalinya. Lelaki yang sudah berdiri entah sejak kapan menatap kebersamaan mereka.
"Bang Boy? Kapan Abang—"
"Kenapa kamu bohong? Selama ini aku nggak kasih kabar karena aku nggak mau semakin rindu. Tapi kamu ...."
"Bang, ini—"
"Tega kamu, Vi."
"Bang, ini—"
"Apa? Selama aku menghilang kamu ternyata menikah, ya? Jahat kamu!"
"Bang—"
"Kamu ja—"
Plak
Jemari lentik dan lembut Via menampar pipi bercambang milik Boy. Lelaki yang kini terlihat lebih dewasa itu meringis menahan perih.
"Kalau aku ngomong tuh dengerin dulu!" ucap Via dengan nada tinggi. Wanita itu merogoh bajunya dan mengeluarkan sesuatu dari perutnya.
"Ini bantal. Kamu pikir aku hamil? Hamil sama siapa? Sapi?"
"Loh?" Boy bengong menatap benda empuk yang kini direbut bocah perempuan di samping Via.
"Ini anak Kak Della. Masih mau bilang ini anakku?"
Boy menggaruk kepala yang tidak gatal. Lelaki itu salah tingkah.
"Jadi, Abang masih bisa lamar Via, kan?" tanya Boy pelan, takut ditampar lagi. Via bersedekap dengan hati yang masih dongkol.
"Kenapa nggak pernah kirim kabar?" tanya Via ketus.
"Abang nggak kuat nahan kangen lah, Dek. Kalau chat Adek, nanti Abang jadi pengen pulang terus."
"Alesan!"
"Bener lah, Dek. Maaf, ya." Boy memasang wajah manis dan sedikit menundukkan kepala di depan Via yang memang hanya setinggi Boy. Gadis itu masih terdiam.
"Via tuh kangen, Bang. Bingung juga. Abang nggak pernah kirim kabar. Via pikir Abang udah nikah. Hiks ...."
Boy tersenyum menatap gadis yang selalu dirindukannya. Gadis yang menjadi semangatnya bekerja di perantauan. Kini dia sadar, betapa Via sangat mencintainya dan selalu setia menanti. Sama seperti dirinya.
****
End
Kayangan, 26 Maret 2020