9. Worth(less)

2.6K 422 31
                                    

Entah bagaimana ceritanya. Kini, Vanilla dan Sani sudah duduk di ruang tamu rumah Jema. Sesuai dengan dugaan Vanilla, rumah bernuasa putih itu begitu cantik dan rapi. Mirip dengan Jema yang selalu memiliki kesan rapi dan terorganisir. Semuanya begitu ciamik tertata di tempat mereka masing-masing. Di beberapa sudut ruangan juga ada foto Jema dan keluarganya yang terpajang cantik.

"Jadi, kalian mahasiswanya Jema?" tanya perempuan yang kini duduk menemani Vanilla dan Sani.

"Betul. Kami mahasiswanya," sahut Sani dan langsung dijawab sebuah senyuman tipis, lalu diperkuat oleh anggukan dari Vanilla.

Awalnya, Vanilla kira dia takkan pernah dizinkan masuk ke dalam rumah oleh perempuan cantik itu. Mengingat bagaimana tatapan perempuan itu pada Vanilla beberapa saat yang lalu, Vanilla kira akan langsung diusir. Ternyata tidak. Tapi, Vanilla hanya ingin segera mendapatkan kembali tas putih miliknya yang belum lunas.

"Oh iya. Belum kenalan, nama saya Juwi. Kakaknya Jema," ucap perempuan itu.

"Kakak?" Sani berdecak tak percaya. Sebagai fans Jema garis terdepan, dia cukup terkejut. Sani juga baru beberapa detik yang lalu mengetahui fakta tentang Jema yang memiliki seorang Kakak cantik bagaikan bidadari dari kayangan.

"Kembaran lebih tepatnya," sambung perempuan bernama Juwi itu.

Sani makin tak percaya. Dia terperangah dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. "K-kembaran?" tanyanya dengan terbata-bata.

"Iya, beda tujuh menit," sahut Juwi.

"Pantesan mirip," timpal Vanilla. Setelah dilihat-lihat kembali, wajah Juwi memang tak jauh berbeda dengan Jema. Intinya, Juwi adalah versi feminim dari Jema. Bahkan, senyuman mereka berdua begitu mirip, sama-sama punya eyesmiles yang mematikan. Sekarang, Vanilla semakin yakin kalau Juwi adalah versi Kutub Selatan dari Jema.

"Eh, si Jema lama bener ya." Juwi mulai tak enak membuat Vanilla dan Sani menunggu sejak tadi. Bahkan, jarum jam sudah berutar beberapa kali, tapi Jema tak kunjung turun dari kamarnya.

"Enggak apa, Kakak ipar!" sahut Sani asal. Dia langsung menutup mulutnya "Eh, hahahaha," gelaknya.

"Haduhh! Berat bestie!" Juwi mengusap keningnya, menyeka keringat imajiner ciptaannya sendiri. Dia ikut tertawa karena gelak tawa Sani yang begitu renyah.

Berbanding terbalik dengan kesan awalnya yang begitu judes dan dingin. Ternyata saat ngobrol, kembaran Jema itu lumayan asyik juga. Bahkan, sejak tadi Juwi terus bercanda dengan Sani. Vanilla sih hanya ikut haha hihi doang. Dia cukup canggung dengan orang baru. Pikirannya masih tertuju pada masib tas kecil dan seluruh barang berharganya sekarang.

Hampir setengah jam tiga perempuan itu ngobrol di ruang tamu. Mereka sudah membicarakan ini dan itu, mulai dari konspirasi dunia paralel hingga gosip tentang pernikahan sesama jenis di Jambi. Tapi, kulkas tujuh belas pintu yang mereka tunggu belum menunjukkan batang hidunganya sama sekali. Sudah beberapa kali Vanilla menguap dan kadang menghela napas begitu berat.

Tak enak membuat Vanilla dan Sani menunggu sejak tadi, Juwi segera beranjak.

"Maaf ya, Jema emang kaya perawan kalau mandi. Saya panggilin dulu bocahnya," pamit Juwi. Perempuan berambut cokelat itu mulai berjalan ke lantai atas. "Jema! Ada tamu tuh! Ngapain sih lama amat!" teriaknya.

"Kak Juwi!" panggil Sani.

Belum sempat Juwi menaiki tangga, dia harus terhenti karena suara Sani. "Kenapa, San?" tanyanya.

"Aku nebeng ke toilet dong! Hehehe," cengir Sani.

"Ayok!"

Sani buru-buru mengekori Juwi ke belakang rumah dan meninggalkan Vanilla di ruang tamu sendirian.

Di ruang tamu, Vanilla celingak-celinguk sendirian. Ternyata, berdiam diri di rumah orang lain, membuat Vanilla ngeri-ngeri sedep. Dia tak henti memeriksa sekelilingnya dengan gelisah. Lagi lagi, Vanilla hanya bisa menghela napasnya. Kalau ada ponsel sih lebih baik, setidaknya bisa sedikit membunuh rasa bosan.

Sampai akhirnya langkah kaki seseorang membuat Vanilla menelan ludahnya dengan kasar. Gadis itu mengerjapkan matanya saat melihat Jema menuruni tangga dengan pakaian santainya.

"Tamu siapa sih, Kak!" teriak Jema.

Pria itu sepertinya belum melihat keberadaan Vanilla. Dia malah sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang masih mengalung di ceruk lehernya.

Jujur, sejujur-jujurnya, Jema benar-benar memiliki kesan berbeda saat menggunakan baju santai. Kaos oblong dan celana boxer sekalipun tak bisa menutupi kegantengan dosen muda itu. Apalagi dengan rambut yang terkesan masih basah dan wajah paripurna yang tak terhalang oleh kacamata. Vanilla makin tertegun di tempatnya. Dibandingkan dengan seorang dosen, Jema sepertinya masih cocok untuk duduk di bangku kuliah. Setidaknya jadi kating ganteng di kampus.

"Ngapain kamu di rumah saya?!" Akhirnya Jema menyadari keberadaan mahasiswa sekaligus musuh terbesarnya. Dia menatap Vanilla dengan tatapan jengah sekaligus terkejut.

Vanilla ikut berdiri. "Eh, anu Pak! Saya mau ambil tas saya," ucapnya.

"Tas?" Jema malah balik bertanya.

Vanilla menggerakkan kedua telunjuknya, menggambar bentuk tas kecil di udara. "Tas! Punya saya," ucapnya.

Jema ber-oh kecil. "Oh, yang ada rokoknya?" tanyanya memastikan.

"Rokok elektrik!"

"Sama aja!"

Di waktu yang sama, Sani dan Juwi kembali dengan urusan toilet. Sani tertegun beberapa saat, melihat Jema. Anyiiiing... Ayang Jema ganteng banget, batinnya menjerit histeris.

Sani tak bisa melepaskan pandangannya pada dosen pujaannya itu.

"Kasian, dua mahasiswa kamu nungguin dari tadi," ucap Juwi.

"Jadi? Mana tas saya!" Vanilla kembali mengintrupsi. "Bukannya Bapak bawa pulang?" tanyanya.

"Ngapain saya bawa pulang tas kamu. Worthless!" timpal Jema.

Kalau Jema gak menang kandang saat ini, rasanya Vanilla ingin segera mencekik leher kulkas 17 pintu itu. "Terus tas saya di mana, Bapak Jema yang terhormat!" Ucapan Vanilla dibarengi dengan gertakan giginya.

"Saya simpan di parkiran," sahur Jema santai.

"P-parkiran? KAMPUS?" tanya Vanilla. Matanya langsung menyala-nyala.

Jema mencebikkan bibirnya. "Iya. Di sana ada penitipan helm tuh. Saya titipin ke sana," jelasnya.

Urat kesabaran Vanilla seketika putus. Dia memijat pelipisnya dengan kekesalan yang sudah membuncah. Jika Vanilla adalah gunung berapi, sepertinya dia akan segera memuntahkan seluruh lahar panasnya saat itu juga. "Yak! Anjir ngapain gue ke sini!" teriaknya.

Sani buru-buru mengelus punggung Vanilla. "Sabar... Ini bukan habitat kita, tarik napas... Tenang... Tarik napas lagi..."

Vanilla mulai mengikuti intruksi Sani. Dadanya kembang kempis, menahan gejolak amarahnya.

Di sana Jema masih tak merasa bersalah sama sekali. Dia malah sibuk mengeringkan rambutnya yang belum kering. "Saya gak minta kamu untuk ke rumah saya. Saya bilang, ambil tas kamu!"

Vanilla langsung memegang tangan Sani. "San tolong tahan gue! Rasanya gue mau makan manusia!"

"Dan seharusnya kamu berterima kasih, karena saya masih berbaik hati untuk tidak melempar tas tak berguna itu ke Direktorat Kedisiplinan," sambung Jema.

Untuk terakhir kalinya, Vanilla mengehembuskan napasnya dengan kasar. Dia bersusah payah memamerkan senyuman terpaksanya pada Jema. "Okay! Terima kasih."

Vanilla tak segan mengacungkan kedua jari tengahnya di depan wajah Jema. "Terima kasih karena sudah mempersulit hidup saya!"

BERSUMBANG 😭

PART SELANJUTNYA PEPERANGAN DIMULAI,
KENCANGKAN SABUK PENGAMAN KALIAN!

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang