22. Tanggung Jawab

2.5K 265 53
                                    

Sepertinya, semesta memang berpihak pada Jema. Vanilla tak bisa melarikan diri saat pintu lift tak kunjung terbuka ditambah dengan tangga darurat yang ditutup karena sedang dipel. Bersembunyi di toilet perempuan pun sangat tidak berguna saat Jema lebih dulu menarik kerah baju Vanilla dan menyeretnya macam kucing oren yang tertangkap basah mencuri ikan asin.

"Enak aja, mau kabur!" begitu kata Jema sambil terus menyeret Vanilla.

Sekarang, di sanalah Vanilla berdiri, di depan ruangan sekretaris rektor yang entah kapan akan Vanilla ketuk. Sebetulnya, Pak Rektor cukup humble dan murah senyum, berbanding terbalik dengan Jema yang judesnya naudzubillah. Namun, hal yang Vanilla takutkan adalah Bu Winda, sekretaris rektor yang menurut Vanilla sangat sombong. Tak hanya wajahnya yang judes, bau parfumnya pun sangat menyengat mirip kuburan baru.

Jika bukan karena surat undangan pertunjukkan drama di tangannya, Vanilla tak mau masuk ke ruangan sekretaris rektor.

Diam-diam, Vanilla melirik Jema yang sebetulnya menunggu sejak tadi. Pria itu duduk di bangku sambil mengawasi Vanilla dari kejauhan. Jema sengaja melipat tangannya di depan dada sambil menggerak-gerakkan kakinya seolah meminta Vanilla untuk cepat-cepat masuk ke ruangan itu.

"Takut," bisik Vanilla tanpa suara.

Jema menggulirkan matanya dengan malas. Tangannya tiba-tiba bergerak seolah tengah mengiris lehernya sendiri.

Hal itu sanggup membuat Vanilla menelan ludahnya dengan kasar. Jema memang mengancam tidak akan meluluskan Vanilla di mata kuliah Drama & Theatre (lagi) kalau surat-surat itu tidak didistribusikan hari ini juga. Itu artinya Vanilla harus kembali mengulang mata kuliah Jema untuk kedua kalinya. Dengan kata lain, semakin jauh untuk Vanilla bisa lulus karena surat-surat itu.

Vanilla kembali menatap pintu di depannya. Sambil mengeratkan genggaman pada surat di tangannya, Vanilla menghirup udaranya dalam-dalam. "Yuk! Bisa, yuk!" gumamnya.

Belum sempat Vanilla mengetuk, pintu itu lebih dulu terbuka. Dia langsung disambut oleh wajah Pak Rektor yang masih berbicara bersama sekretarisnya di ambang pintu.

"Jadi, begitu, Bu. Tolong bantuannya untuk--" Pak Rektor terkejut karena keberadaan Vanilla yang menghadang jalan keluarnya.

"Selamat siang, Pak," sapa Vanilla dengan senyuman canggung. Dia sempat melirik Jema sekilas sebelum akhirnya menyodorkan surat di tangannya.

"Vanilla, 'kan?" tanya Bu Winda. Perempuan itu menatap Vanilla dengan tatapan judes bin julid.

Tak Vanilla sangka Bu Winda masih mengingat namanya. Saat ikut organisasi bersama Ezra, Vanilla memang lumayan terkenal di kalangan jajaran petinggi kampus karena Vanilla selalu bertanggung jawab di bagian humas. Makanya, sifat judes Bu Winda sudah tidak aneh lagi bagi Vanilla.

"I-iya, Bu ... s-saya mau memberikan surat undangan, sekaligus undangan untuk sambutan," sahut Vanilla gelagapan.

"Pak Rektor sibuk. Kalau ada perlu, buat janji temu dulu."

Memang salah memberikan surat undangan dua hari sebelum acara. Harusnya, 7-4 hari sebelum acara surat itu harus diberikan supaya Pak Rektor bisa mengatur jadwalnya untuk bisa hadir. Jika mepet begini, jangan kedatangan Pak Rektor, Vanilla yakin 1000% suratnya tidak akan diterima. Padahal, Jema sangat mengharapkan Pak Rektor hadir sebagai bukti kalau acara mereka berjalan dengan baik.

"Undangan apa?" Tiba-tiba Pak Rektor bersuara. Pria paruh baya itu mengambil surat yang disodorkan Vanilla.

Vanilla nyerengeh. Ternyata, masih ada harapan. "Pertunjukkan drama, Prodi Inggris akan mengadakan pertunjukan drama sebagai tugas UAS, Pak. Bapak diharapkan untuk datang dan memberikan sedikit sambutan sebagai pembuka rangkaian acara."

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang