23. Ganteng doang!

4.7K 295 63
                                    

Jika daging manusia halal, rasanya Jema ingin menyembelih Vanilla, lalu memakannya bulat-bulat. Bisa-bisanya, gadis itu ngajak naik kereta, tapi tidak tahu harus turun di mana. Dan, yang lebih tak habis pikir, bisa-bisanya Jema kembali tergiur dengan ide bodoh gadis itu. Rahang pria itu mengeras sambil mendelik, menatap tatapan watados Vanilla di sampingnya.

“Kalau cari di Mbah Gugel, katanya, kita bisa turun di stasiun Blok M 1 atau 2, terus jalan dikit langsung ke jalan Bulungan, Pak,” jelas Vanilla.

Jema mencebik sambil menggelengkan kepalanya. Kali ini, dia tak mau kembali mendengarkan ide mahasiswinya itu. “Vanilla, lebih baik simpan ide kamu buat kamu sendiri aja. Kali ini dengerin saya.” Suara Jema awalnya terkesan lembut, tapi tiba-tiba kembali judes bin jutek dalam seketika. “Simpan ponsel kamu, kita turun di sini, lalu naik gocar!”

“Tapi, bentar lagi juga stasiun Blok M, Pak. Dikit lagi.”

“No!”

“Stasiun berikutnya ASEAN, Pak. Satu stasiun lagi kita sampe.”

“Saya turun di sini!” sahut Jema tak peduli.

Vanilla berjalan cepat, mengekori Jema yang langsung turun saat pintu kereta terbuka. Kali ini, Vanilla mengalah. Dia mengikuti kemauan dosennya itu.

Sekarang, di sanalah dua orang itu berdiri, di bawah flyover, menunggu taksi online pesanan Jema datang. Entah karena jam pulang kerja, taksi itu tak kunjung datang. Vanilla sudah bosan sebetulnya. Gadis itu terus menendang-nendang krikil jalanan sambil menghela napasnya begitu berat. Sesekali, dia melirik Jema yang begitu sabar menanti. Padahal, kalau mereka turun di stasiun sesuai Gugel, mereka mungkin sudah sampai di Teater Bulungan.

Sambil terus menghela napasnya begitu lelah, Vanilla terus memperhatikan lalu lalang kendaraan yang begitu sibuk mengisi seluruh jalanan. Bus-bus Transjakarta juga terlihat sangat penuh. Bahkan, ada orang yang terlihat terjepit di jendela mirip cicak karena saking berdesakan. Sekali lagi, Vanilla melirik Jema. Jika bukan karena ingin segera lulus, rasanya Vanilla ingin kabur.

“Pak, driver-nya masih lama, nggak? Gu-eh ... saya mau ke jajan dulu.”

Jema tak menjawab apa-apa. Dia hanya mendelik, menatap Vanilla melalui sudut matanya.

“Tuh, di depan ada Endomaret. Kata Gugel sih, ada Endomaret di sana. Jalan dikit, terus belok masuk ke gedung. Boleh gak, Pak?”

Jema menghela napasnya jengah. “Kamu kembali dari tempat itu, saya udah pergi!”

Kali ini, Vanila kembali kalah. Bibir gadis itu mengatup. Dia menekuk wajahnya.

Setelah sekian abad, akhirnya taksi pesanan Jema datang. Sedan putih itu berhenti tepat di bawah flyover. Driver-nya melongok keluar dari jendel.

“Mas Jema?” tanyanya.

Jema hanya mengangguk. Berlainan dengan Vanilla yang cekikikan karena mendengar Jema dipanggil Mas. Gadis itu mengulum senyuman sambil menutup mulutnya, menyembunyikan tawanya.

“Kenapa kamu?” tanya Jema.

Vanilla langsung menggeleng ribut. Dia segera membuka pintu mobil dengan tergesa. “Silakan masuk, Mas,” ledeknya.

Meski sambil mendelik, Jema tetap masuk mobil dan disusul oleh Vanilla yang duduk di sampingnya.

Baru beberapa menit mobil itu berjalan, Jema dan Vanilla saling melirik satu sama lain. Mereka sama-sama melihat plang jalan yang tak asing. Tepat setelah persimpangan jalan yang mereka lalui, mereka sudah sampai di kompleks teater.

“Pak, saya gak salah lihat, ‘kan?” tanya Vanilla.

Jema menggeleng. “Sayangnya, enggak.”

“Kalau gitu, gak usah pesan taksi begini!” pekik Vanilla dengan suara yang dipelankan sebisa mungkin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang