17. Latihan Militer

2.5K 360 17
                                    

"Lari 10 putaran lagi!"

Teriakkan Jema benar-benar menggema di seisi aula. Pria itu menolak pinggang tanpa melepaskan pandangannya pada setiap mahasiswa yang belari, mengelilingi ruangan yang hampir setengah dari luas lapangan bola.

"Capek, Pak!"

Salah satu dari mereka ikut berteriak. Jujur saja, latihan fisik bersama Jema benar-benar menguras tenaga. Sudah tak terhitung helaan napas dan keluh kesah para mahasiswa yang kelelahan bersahutan di ruangan itu.

Namun, hal itu tak dapat menggoyahkan Jema. Pria itu tetap kokoh pada aturannya untuk tetap berlari. "Lari! Bukan jalan!" teriaknya.

Jangan tanya keadaan Vanilla saat ini. Sebagai gadis jompo, dia sudah tak memiliki tenaga untuk berlari lagi. Dengan terengah-engah Vanilla menghentikan langkah kakinya. Dia menormalkan deru napasnya sembari memegang kedua lutut yang terasa ngilu akibat terus berlari. "Anjir ini latihan fisik buat drama atau buat militer sih!" gerutunya.

Tak kuasa untuk kembali berlari, Vanilla berjalan gontai ke sisi ruangan. "Nyerah, Pak ... haus ... air ... air ... siapa saja beri gue air ...."

Seakan cosplay jadi zombi, Vanilla yang kini sudah tak tahu bentukannya seperti apa langsung gelosoran di lantai aula dengan wajah yang sepenuhnya memerah.

Sambil mengipas wajah dengan tangannya sendiri. Vanilla menempelkan punggungnya ke dinding aula yang jauh terasa lebih dingin. "Ahhhh enak," desahnya.

Hari ini adalah latihan drama kedua kalinya. Namun, hari ini latihan difokuskan untuk latihan fisik dulu. Kata Jema, kondisi para pemain harus prima dan terbiasa dengan latihan fisik seperti ini. Jadi, inilah hasilnya. Latihan militer ala Jema menjadi mimpi buruk para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Drama & Theater.

Sebetulnya, latihan fisiknya baru lari di dalam ruangan doang, tapi bagi Vanilla yang pergi ke depan gang kompleks saja harus pakai motor, lari beberapa putaran saja sudah menguras tenaga beserta jiwa dan raganya.

"Capet bet anjir!" Gadis itu kembali menggerutu. "Haus gilak!" Vanilla menolehkan kepalanya kesana-kemari, mencari mangsa yang mungkin membawa minuman dingin dan bisa dia palak.

Hingga akhirnya, Vanilla malah melihat sepasang sepatu yang mendekatinya. Vanilla menatap jengah Jema, si dosen kulkas pemilik sepatu itu.

"Jangan nyender kalau selesai lari!" ucap Jema.

Vanilla terlalu lelah untuk berdebat. Dia malah asyik mengipas wajah dengan tangannya sendiri.

"Jangan salahkan saya kalau kamu tiba-tiba keram!" ucap Jema lagi.

"Iya! Iya!" Vanilla sedikit menggeser pantatnya untuk menjauhi dinding.

"Okay, baiklah! Semuanya kumpul! Buat lingkaran." Jema kembali mengumpulkan mahasiswa untuk membuat lingkaran besar yang mengelilinginya. "Sebelum masuk ke latihan drama, kita peregangan dulu."

Mata bulat Vanilla langsung membola. "LAGI?!" pekiknya hingga menggema di seisi aula. "Demi dah, Pak. Capek," rengeknya.

Lagi-lagi, Jema hanya menolehkan kepalnya. Pria itu lebih memilih untuk keluar dari lingkaran mahasiswanya.

"Surya, coba kamu beri contoh sikap lilin," ucap Jema pada Surya.

Surya malah celingak-celinguk. Dia membenarkan posisi kacamata tebal yang bertengger di hidungnya, lalu menujuk dirinya sendiri. "Saya, Pak? Gak salah?" tanyanya.

"Ada nama Surya selain kamu?" ketus Jema.

Surya mencebikkan bibirnya. Setelah Vanilla, Surya adalah haters Jema nomor satu. Dia adalah satu-satunya mahasiswa yang tertarik untuk gabung dengan Jemanjing buatan Vanilla waktu itu.

Meski dengan ogah-ogahan, Surya tetap bersiap untuk melakukan sikap lilin. Dia mulai berbaring dan dengan sekuat tenaga dia angkat kedua kakinya. Jema tak tinggal diam. Pria itu ikut membantu mengangkat kedua kaki Surya.

Saat Surya sudah stand out dengan sikap lilinya, Jema kembali masuk ke dalam lingkaran. "Silahkan, yang lainnya ikuti gerakan seperti itu. Tahan posisisnya sekuat kalian," ucapnya.

Semua orang di sana langsung patuh dan berusaha untuk membuat sikap lilin mereka masing-masing. Tapi, berbeda dengan Vanilla. Gadis itu malah terlentang alias rebahan sambil menatap langit-langit aula.

"Vanilla," panggil Jema.

Vanilla hanya menganggat dagunya. Dia bertanya melalui raut wajahnya.

"Sikap lilin, Vanilla!" ucap Jema lagi.

"Ini sikap lilin, Pak!" Vanilla tak mau kalah.

"Mana ada!"

"Tapi, lilinya udah meleleh, hehehe!"

Tak hanya Vanilla, Jema juga sudah lelah berdebat satu sama lain. Entah harus Jema lempar ke antariksa sebelah mana mahasiswa gak bermoralnya itu.

"Do as you want!"

***

Setelah hampir 4 jam latihan, akhirnya mereka bubar. Meski dengan kelelahan, semua mahasiswa berhamburan keluar aula dan menyisakan Jema dan Vanilla yang masih sibuk merapikan properti latihan.

Sebetulnya hanya Vanilla yang beres-beres, Jema hanya jadi mandor yang berpangku tangan.

"Cepat! Saya mau pulang!" ketus Jema.

Vanilla menggulirkan matanya dengan mulut komat-kamit, dia menggerutu tanpa suara. "Cipit! Siyi mii piling," nyinyirnya.

Jika bukan karena tugas asdosnya, harusnya Vanilla juga bisa langsung pulang. Mengingat, sekarang dia sudah menjadi seorang hamba sahaya, mau tidak mau Vanilla harus merapikan setiap properti yang digunakan untuk latihan tadi sebelum pulang.

"Pak Jema! Tahu gak? Dua kepala lebih baik dari satu kepala?" tanya Vanilla.

Jema menatap Vanilla penuh selidik. "Lalu?" tanyanya.

"Empat tangan juga lebih baik daripada dua tangan."

"Terus?"

"Saya punya dua tangan, Pak Jema juga punya dua tangan. Gimana kalau kita gunakan bareng-bareng?"

Jema hanya diam dengan wajah datarnya. Vanilla yang terlampau kesal, berkacak pinggang di depan setiap properti yang masih berantakan. "Bantuin! Biar cepet kelar, elah!" teriaknya.

"Saya gak mau!" tolak Jema terang-terangan.

Vanilla menggertakkan giginya dengan kesal. "Ya, udah. Saya juga gak mau!"

"Ya, udah. Saya sih gak rugi. Properti itu bukan saya yang sewa. Mau itu hilang atau rusak, bukan resiko saya!"

Kali ini Vanilla kalah. Dia kembali memunguti setiap properti di depannya dengan telaten meski bibirnya tak henti menggerutu.

"Mau lulus aja susah, ya?" celetuk Jema.

Tak Vanilla sangka, Jema ikut merapikan benda-benda yang berserakan itu.

"Padahal, untuk lulus mata kuliah saya gak sulit lho, Vanilla," sambung Jema.

"Ya, 'kan anda sendiri yang mempersulit saya!" balas Vanilla.

Jema tersenyum. "Kamu yang membuat saya sulit," ucapnya.

Vanilla mendongkakan kepalanya, menatap Jema yang kini malah memainkan properti samurai palsu di tangannya. Vanilla sedikit terkekeh, melihat Jema yang berlagak sebagai seorang pendekar dengan pedang panjang di tangannya.

"Pak Jema suka benget sama drama, ya?" tanya Vanilla.

"Suka gak suka sih."

Vanilla memincingkan matanya. Dia tak tahu harus bertanya apa lagi. "Pak," panggilnya.

"Ya?"

"Bisa gak sih kita jadi mahasiwa dan dosen yang normal aja. Capek banget tiap hari harus perang kaya gini. Saya cuman mau lulus, Pak. Kita damai aja, yuk!"

Jema memangku tangannya. "Tunjukkan dong kalau kamu mau damai!"

"Caranya?" tanya Vanilla.

"Itu tugas kamu." Jema mengedikkan kedua bahunya. Pria itu malah berjalan keluar. "Asdos! Saya tunggu di parkiran!" teriaknya.

BERSUMBANG 🤧

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang