13. Tanggung Jawab

2.6K 377 26
                                    

Jujur saja, Vanilla sesak napas saat tubuhnya ditindih tubuh bongsor Jema. Dengan posisi yang sangat sulit untuk dideskripsikan lagi, dua orang itu masih terjebak di gorong-gorong dengan motor yang ikut tersangkut di bawah mereka. Intinya, Vanilla masih merasakan dada Jema menempel di punggungnya dan helm keduanya yang saling beradu.

"Pak Jema!" kali ini Vanilla yang berteriak kesal.

"Sabar! Kaki saya tersangkut!" balas Jema. Jika bukan karena kakinya yang terjepit antara sela-sela body motor dan tembok gorong-gorong, sudah sejak tadi dia ingin bangkit dari posisi aneh mereka. Tapi jangankan bangkit, menggerakkan ujung kakinya saja sangat sulit di lakukan. Padahal, saat ini kaki Jema sudah mulai berdarah karena tertusuk sebagian body motor yang hancur.

"Demi dah, Pak. Gue bisa mati konyol kalau kaya gini terus!" Vanilla tak henti menggerutu. Tak jauh berbeda dengan posisi Jema saat ini, gadis itu juga terjepit antara badan motor dan badan Jema. Tapi, dia juga tak bisa berbuat apa-apa saat Jema tak bisa bergerak sedikit pun.

"Jangan gerak mulu! Malah makin kesangkut!" ketus Jema. Jujur saja, Vanilla yang tak henti belingsatan di bawahnya membuat Jema makin kesakitan karena kakinya makin terjepit.

"Oke! Oke!" balas Vanilla tak kalah ketus. Kali ini dia pasrah dengan posisi aneh mereka.

Hampir tiga menit mereka bertahan dengan posisi seperti itu tanpa bergerak sedikit pun. Sudah tak terhitung helaan napas dari keduanya saling bersahutan masuk ke pendengaran mereka masing-masing. Sampai akhirnya beberapa orang mulai berdatangan. Satu demi satu orang berkumpul mengerubungi Jema dan Vanilla.

"Bantu angkat korbannya!" teriak seseorang.

Meski dengan bersusah payah, akhirnya kaki Jema bisa ditarik keluar. Dengan tergopoh-gopoh, Jema bangkit dan dibantu oleh orang-orang sekelilingnya. Jema meringis melihat luka di kakinya yang cukup parah dan dalam. Untuk saat ini masih belum kerasa sakit yang begitu. Dia masih bisa berdiri seperti sedia kala.

"Terima kasih," ucap Jema sambil mangut sekilas. Dia masih kaget bin getir dengan kecelakaan kecilnya bersama Vanilla.

Setelah Jema, kini giliran Vanilla yang dibantu untuk keluar dari gorong-gorong. Gadis itu meringis merasakan tangannya yang kebas dan serasa mati rasa.

"Perlu kami antar ke rumah sakit?" tanya salah seorang di sana.

"Kami baik-baik aja," sahut Jema.

Saat pengemudi dan penumpang itu sudah diselamatkan, kini waktunya si motor matic untuk keluar dari gorong-gorong. Beberapa orang begitu kesulitan mengangkat motor berwarna kuning neon itu Dengan mengandalkan tenaga kuli dari para manusia di sana, motor itu bisa diselamatkan juga meski dengan bentuk yang sudah hancur.

Vanilla terbelalak, melihat keadaan motor kesayangannya. "CIMOOOOOOOOY!" gadis itu berteriak histeris dan berhasil membuat Jema terpelonjat kaget.

"Cimooooyy ... hueeee!" Vanilla memangis meraung-raung. Dia tarik kemeja Jema. Gadis itu berjinjit untuk menyamakan tingginya dengan Jema. "Anda harus tanggung jawab pada Cimoy!"

"Tanggung jawab apa? Siapa Cimoy?" tanya Jema polos.

"Si Cimoy Gemoy kesayangan gue! Dia rusak! Dan itu gara-gara Pak Jema!" Vanilla kembali berteriak dan menunjuk motor miliknya yang sudah tidak bisa dikatakan baik-baik lagi.

"Bukan urusan saya," ucap Jema tak peduli.

"Kalau saya gak bonceng Pak Jema, si Cimoy gak mungkin jatoh ke gorong-gorong!"

Bukannya meladeni Vanilla, Jema malah mengulum senyuman. Sekuat tenaga dia menahan gelak tawanya saat melihat helm yang masih bertengger di kepala Vanilla ikut bergerak seirama dengan ucapannya.

Vanilla menundukkan kepalanya menatap kembali motonya yang rusak. Padahal dia benar-benar menyayangi motornya. Motor yang dia beli dengan tabungannya itu selalu dirawat seperti anak sendiri melebihi Pak Petani merawat Malika si keledai hitam.

"Setidaknya, Pak Jema harus bantu saya bawa Cimoy ke bengkel," gumam Vanilla.

"Motor punya kamu, kan? Kenapa saya yang tanggung jawab?! Harusnya, kamu yang bertanggung jawab. Karena kamu, saya jadi telat dan lihat ... baju saya kotor!"

"Hueeeeeee!" tiba-tiba Vanilla kembali menangis dramatis. "Orang ini gak mau tanggung jawab!" teriaknya sambil menunjuk wajah Jema.

Orang-orang yang masih ada di sana, seketika ikut menatap Jema yang kini sebuk pelanga-pelongo.

"Saya hamil anak dia!" Vanilla kembali berteriak sambil menatap Jema

Mata Jema langsung terbelalak. "Ngomong apa kamu!" teriaknya

Vanilla makin memdramatisasi tangisannya. Dia tersedu-sedu sambil memeriksa respon orang-orang yang ada di sana. Tatapan kaget dari orang-orang itu membuat Vanilla diam-diam tersenyum. "Padahal, padahal ... dia bilang, dia akan tanggung jawab kalau aku hamil. Nyatanya ... nyatanya sekarang hueeeee..."

Tatapan dari orang-orang membuat Jema kalut. Dia menggelengkan kepalanya dengan ribut. "Enggak. Saya gak hamilin dia," sanggahnya. Dia memegang bahu Vanilla. "Mau kamu apa? Jangan bikin keributan di sini!"

"Aku mau Pak Jema tanggung jawab," ucap Vanilla dengan sesenggukkan. Tapi, matanya tetap tertuju pada motor ringseknya.

Jema menyadari akal bulus Vanilla. Dia mencebikkan bibirnya. Seakan ada kilatan petir dari sudut matanya, pria itu menatap Vanilla dengan jengah.

"Saya gak mau tanggung jawab!"

"Hueee..." Vanilla kembali nangis buaya. "Malam itu, Pak Jema bilang, semuanya akan baik-baik saja. Tapi, saat sudah terlanjur begini. Pak Jema gak mau tanggung jawab. Padahal aku masih mau kuliah, mau kerja, gapai cita-cita aku. Aku gak bisa merawat anak ini sendirian. Aku juga gak berani gugurin anak kita," lirihnya.

Entah datang dari mana, tiba-tiba seorang ibu-ibu datang untuk merengkuh Vanilla. Dia usap punggung Vanilla dengan lembut.

Vanilla sempat menghentikan tangisan palsunya karena terkejut. Tapi, saat mengetahui keadaan sedang berpihak padanya, dia kembali menangis. Kali ini sambil memukul-mukul dadanya. "Padahal, aku hanya mau dia tanggung jawab," isaknya.

"Kamu! Kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab dong! Jangan mau enaknya aja. Udah hamil begini, malah berlagak suci!" ucap seseorang pada Jema.

"Dia itu lagi bohong!" Jema tak mau kalah. "Saya gak pernah sentuh dia. Apalagi hamilin dia! Gadis gilak!"

Vanilla tak mau mengakhiri sandiwaranya. "Mungkin, aku memang harus mempertanggungjawabkan semua ini sendirian. Aku kecewa, Pak," isaknya.

Orang-orang langsung berpihak pada Vanilla. "Lo laki bukan! Tanggung jawab!" teriak yang lain. Orang itu hampir saja melayangkan tinjunnya ke wajah Jema.

"Kita bisa pakai cara lain," sahut yang lain sambil menyingsingkan lengan bajunya.

Jema mengusap wajahnya frustasi. Dia menyerah untuk meladeni permainan gadis gila seperti itu Vanilla.

"Okay! Okay! Saya tanggung jawab!" ucap Jema.

Vanilla langsung tersenyum. Gadis itu seketika sumringah penuh kemenangan. Dia mendekati Jema.

Jema membeku di tempatnya. Entah dosa apa yang dia perbuat di kehidupan sebelumnya hingga di kehidupan ini harus di pertemukan dengan spesies gadis seperti Vanilla.

Gadis itu mendekatkan wajahnya ke telinga Jema. "Bengkel resmi ya, Pak," bisiknya.

Tunggu pembalasan saya, Vanilla!

BERSUMBANG 😭

p.s. Cerita ini akam jadi cerita tergaje di ramah perhaluan AlienMoomin.

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang