18. Gak Suka Matcha

2.7K 367 89
                                    

EDISI KANGEN PAK JEMA
Absen dulu siapa yang masih inget dengan cerita ini!
Hahaha. Aku baca ulang cerita ini, eh cekikikan sendiri dan berakhir dengan kangen sama kelakuan tilil Vanilla sama Jema.

Cung yang kangen Jema!
Semoga kangennya bisa terobati.
Selamat membaca!

_____________________________________


TYPOLOVA

Pagi-pagi sekali Vanilla sudah mengendap-endap ke ruangan dosen. Emang sejatinya gadis itu kesiangan saat pembagiaan akhlak, tanpa sopan santun dia main nyelonong ke dalam ruangan yang tertutup itu. Tujuan Vanilla pagi ini, tiada lain tiada bukan yaitu dosen tercintanya alias kulkas tujuh belas pintunya bernama Jema Anggara.

Dengan langkah kaki yang berjinjit-jinjit, Vanilla diam-diam mendekati Jema yang kini tengah membelakanginya. Entah apa yang pria berkacamata itu lakukan. Sepertinya sedang merapikan meja, atau mungkin menghitung setiap lembar buku kesayangannya.

"PAK JEMA!"

Vanilla berteriak tepat di balik punggung Jema dan membuat sang empunya terpelonjat kaget. Mata sipit Jema terbelalak sempurna. Dia mentap Vanilla dengan tatapan membara.

"Kamu-"

"Iya, saya Vanilla."

Jema berdecak kesal. Matanya makin menyala-nyala melihat cengiran Vanilla. Belum sempat pria itu untuk bicara, dia kembali ditimpali oleh spesies manusia di depannya.

"Pagiku, cerahku ... matahari bersinar. Kugendong tas merahku di pundak. Selamat pagi Pak Jema, kunantikan dirimu di depan kelasku ... memantikan aku."

Gadis sengklek itu masih sempat bernyanyi di tengah tatapan membara milik Jema. Di cengengesan, memamerkan dua gigi kelincinya.

"Hari ini, kita mulai berdamai, 'kan ... Pak?" tanya Vanilla. Dia menaik-turunkan kedua alisnya, seraya minta penguatan atas pertanyaannya.

Jema mendelikkan matanya. Dia kembali merapikan beberapa tumpuk kertas di mejanya. "Berdamai matamu sipit!" cecarnya. Dia ambil tumpukan kertas itu dan langsung memberikannya pada Vanilla. "Bagikan ini ke kelas pertama hari ini! Saya masuk agak telat."

Vanilla yang kewalahan karena bobot tumpukan kertas itu, meringis hingga wajahnya tidak bisa terkontrol.

"Hahaha!" Jema tekekeh melihat raut wajah Vanilla. "Mukanya biasa aja, gak usah dijelek-jelekin!"

"Biasa begimana, Maemunah! Ni kertas udah kaya beban hidup!" balas Vanilla bersungut-sungut.

"Ngeluh terus! Cepat ah! Pastikan semua mahasiswa kebagian kertasnya!"

"Hidup memang keluhan, Pak! Ah ... elah berat banget!"

Jema tak memperdulikan celotehan Vanilla. Dia lebih memilih untuk duduk manis di depan mejanya san mula membuka laptop.

"Kita damai, 'kan, Pak?" tanya Vanilla.

Tapi, Jema tetap setia dengan laptop dan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya.

"Okay, fix. Kita damai!" seru Vanilla. "Terima kasih yaa Tuhan. Semester ini hamba lulus!"

"Jangan berharap lulus, jika terus berdiri di sini!" timpal Jema.

Dengan langkah kaki yang sengaja diseret begitu malas, Vanilla kembali keluar dari ruangan dosen.

"Vanilla!" panggil Jema lagi.

Vanilla enggan menoleh. Kejadian Jema memesan minuman rasa vanilla waktu itu membuatnya trauma berat dengan namanya sendiri. Gadis itu pura-pura tuli dan kembali melangkahkan kakinya.

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang