21. Panggilan Alam

2.1K 267 57
                                    

Sebetulnya, semester 8 yang Vanilla miliki sudah hampir selesai. Dia hanya perlu menunggu pertunjukkan drama dilaksanakan sebagai pengganti ujian akhir semester mata kuliah Drama & Theatre. Rencananya, pertunjukkan drama itu akan dilaksanakan besok lusa di gedung teater Bulungan yang kebetulan jaraknya dekat dari kampus.

Setelah beberapa bulan mengreog sebagai asdos Jema sekaligus menjadi stage manager yang merangkap sebagai bendahara, kini Vanilla bisa bernapas lega karena tidak perlu mengulang mata kuliah Jema untuk kedua kalinya. Semester ini, Jema lumayan berbaik hati. Tak ada drama nilai predikat anjing dari Jema ataupun drama ketikan typo laknat yang Vanilla kirimkan. Semuanya aman sentosa dan lancar jaya.

Makanya, saat prodi mengeluarkan program baru untuk mata kuliah skripsi, Vanilla menjadi mahasiswa pertama yang mendaftar.

Prodi menyebutnya dengan program spartan, program yang diperuntukkan untuk mahasiswa yang ingin menyelesaikan skripsinya secepat mungkin. Karena, di sana mereka akan dibimbing secara intensif. Setiap harinya pasti ada bimbingan, revisi dan progres selanjutnya. Prodi menargetkan satu bulan mahasiswanya bisa menyelesaikan skripsi dan langsung mendaftar sidang.

Namun, tak Vanilla sangka dia kembali bertemu dengan Jema. Pria itu yang akan menjadi pembimbingnya selama penyusunan skripsi.

Jujur saja, jika bisa membujuk Bu Vera, Vanilla ingin protes dan ganti pembimbing.

Jema itu dikenal dengan kedisiplinan dan pemikirannya yang kritis. Vanilla tak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika Jema membaca draft skripsinya.

Pria itu mungkin akan berkata, "Vanilla, relevansi antara teori dan sumber data kamu sesuai. Hal apa yang mendasari saat kamu memilih data, lalu ruang lingkupnya penelitiannya juga harus jelas. Apa ada kesinambungan antara manfaat teoritis dan perkembangan bahasa di zaman sekarang yang ....."

Ah sudahlah. Dengan membayangkannya saja membuat Vanilla tak nafsu makan. Gadis itu cemberut sambil nangkring di warung Bang Jabrig, warung Indomie di belakang kampus.

"Mie lo udah ngembang, Bege! Kenapa sih? Monyong aja dari tadi? Ngulang matkul Ayang Jema lagi?" tanya Sani. Sejak tadi, dia heran melihat Vanilla yang terus bermuram durja.

Vanilla ikut merlirik semangkuk indomie kuah yang kuahnya sudah surut. Sambil memotong-motong mie menggunakan sendok, Vanilla menggelengkan kepalanya. "Kagak sih! Malah semester ini lancar. Gua udah bisa ambil skripsi."

"Lah, terus? Putus? Tapi, 'kan lo jomblowati ...." Sani menutup mulutnya seolah kaget tak tertolong. "Jangan bilang! Jangan bilang! Your crush has a girlfriend?!" pekiknya.

Vanilla mencebik. Dia mendesis kesal sambil menyikut perut Sani yang penuh oleh mie. "Gua udah gak suka sama Kak Ezra. Dan udah lama juga dia punya pacar."

"Btw, Kak Ezra wisudanya bareng gua, loh."

Vanilla menoleh. "Serius?" tanyanya.

"Serius, gilak. Gua kira anak seaktif dia bakal lulus tepat waktu. Dia 'kan dua tahun di atas kita, Pan. Berarti skripsinya juga molor. Gak heran sih, dia itu kuliah buat organisasi, belajar di kelas buat formalitas doang ...."

Vanilla malah tertegun. Dulu, dia memang begitu menyukai senior dari Fakultas FISIP itu. Ezra Pahlevi, mahasiswa kura-kura yang kerjanya kuliah rapat-kuliah rapat. Vanilla kenal Ezra sejak masa OSPEK, karena Ezra sempat menjadi ketua BEM di kampus. Tak hanya Vanilla, banyak juga mahasiswi yang caper.

Vanilla memang tidak secara terang-terangan menyatakan cinta, tapi dia rela ikut organisasi demi bisa dekat dengan Ezra. Tapi, sejak Ezra datang ke kampus menggunakan tote bag Blackpink, Vanilla langsung illfeel. Dia bukan tak suka Kpopers, yakali seorang Ezra menenteng tote bag warna pink lengkap dengan gantungan gemoy.

TYPOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang