Bukan pagi yang indah untuk dirayakan, begitulah kiranya Mokta memulai hari yang bisa dikatakan baru permulaan itu. semalam, Tidurnya tidak nyaman, bahkan sesekali menggerutu ketika dahaga kembali menyerangnya tanpa ampun.
Mokta mengernyit, merasakan kedua kakinya yang tiba tiba kram saat digerakan. Otot betisnya terasa ditarik, dibarengi dengan telapak kaki nya yang terasa kesemutan.
Berkali kali dia mengumpat, mencerca seluruh bagian tubuhnya yang seakan bekerja sama untuk berdemo kepada si tuan pemilik raga.
Mokta bahkan sampai tidak sadar bahwa diruangan bernuansa kelabu itu bukan lagi dirinya sendiri sebagai penghuni. Marisa yang semula tersenyum teduh kini mengernyitkan dahi mendapati sang putra yang menapikan kerutan didahinya itu.
"Abang! Dipanggil gak nyaut nyaut. Kenapa gitu mukanya, kakinya sakit?"
Mokta mendongak, berusaha menormalkan mimik wajahnya kepada wanita yang dia hormati mendudukan diri diranjang samping kakinya.
"Kram sama kesemutan." Ujarnya.
Marisa menyikap selimut yang menutupi sebagian kaki putranya, keningnya mengernyit ketika mendapati bagian pergelangan kaki putranya yang sedikit membesar.
"Ini kenapa rada bengkak sih bang? Kesleo apa gimana?"
Mokta mengernyit, seingatnya dia tidak terjatuh ataupun kesleo sebelumnya.
"Iya apa Bun, perasaan Abang kagak jatuh deh. Gak tau juga kalau bengkak"
"Bunda panggil Ayah bentar, habis itu ke RS buat chek up," ujarnya sembari bangkit menuju lantai bawah.
Tidak membutuhkan waktu lama, suara knop pintu kembali terdengar dibarengi langkah kaki sepasang suami istri yang menyandang sebagai orang tua Mokta itu.
Galih mendekat, mengulurkan tangannya kekepala sisulung, sembari meneliti bagian tubuh Mokta yang memang terlihat membengkak.
"Sakit nggak buat berdiri, Ayah bantu turun. Kita ke rumah sakit sekarang," ucapnya.
Mokta sedikit meringis, menggerakan kakinya satu persatu menapaki lantai yang dingin.
Ngingg
Galih dengan sigap menopang Mokta yang sedikit limbun, kernyitan dalam menghiasi dahi yang dipenuhi keringat dingin.
Mokta mendesih, merasakan bumi yang dia pijaki serasa berputar. Bayang bayang kehitaman memenuhi penglihatan yang sudah rabun itu.
"Ayah papah"
Mokta mengangguk, mempercayakan bobot tubuhnya kepada sang Ayah yang akan memasuki kepala 5 itu.
📖📖📖📖
"Tekanan dan gula darahnya lumayan tinggi, dari gejala yang ananda rasakan mungkin kami memerluka beberapa rangkaian tes untuk memastikan gejala yang diderita. Untuk sementara Ananda dianjurkan untuk melaksanakan rawat inap terlebih dahulu ya."
Mokta mendesih tidak suka, netranya lalu menubruk raut wajah kedua orang tuanya yang juga terlihat gelisah dan khawatir itu.Ingin Mokta mengatakan bahwa dia baik baik saja tapi dia sendiri sangsi dengan hasilnya.
Mokta menggerakan lipatan lengannya yang sedikit pegal setelah seorang suster mengambil sampel darahnya beberapa waktu lalu. Mokta sudah dipindahkan kekamar rawat, lengkap dengan selang infus yang menjuntai dipunggung tangan kirinya .
Suster bilang Mokta juga harus melakukan puasa 8 jam untuk kembali melakukan beberapa tes darah selanjutnya.
"Bunda tinggal kekantin bentaran, Adek juga udah nyampe lobi bentar lagi palingan" pesan Marissa sembari mengusap sayang pucuk kepala Mokta.
KAMU SEDANG MEMBACA
oktrouble
Teen FictionDear Mokta Ratusan kilo meter jauh dari pusaran tempatmu menyatu dengan keabadian. Lapor komandan, saya sudah berhasil menemukan titik kordinat tempat seharusnya saya pulang. Saya sudah berhasil sembuh dari trauma yang berjudul kehilangan. Tapi k...