Sepasang sejoli itu saling diam. Sigadis melempar tatapannya, tidak berani menatap pemuda yang juga tengah menunduk itu. Perdebatan kecil mungkin lumrah untuk sebagian orang yang tengah dimabuk asmara, tapi tidak dengan mereka. Tidak ada hubungan sepesial diantaranya, hanya sepasang simbiosis mutualisme sekaligus menjadi pemeran antagonis dalam dongeng penghantar tidur.
"Gue capek," adu si gadis. "Papa selalu nuntut gue untuk ini itu, papa gak perna nanya kabar gue gimana, gak pernah nanya gue mau apa. Papa maunya gue nurut semua yang papa bilang tanpa nanya gue mau atau enggak"
Jari yang saling ditautkan itu lebih menarik ketimbang sembab yang meminta untyk diusap. Diraihnya jemari lentik itu, dikuatkan seperti semula mereka saling menguatkan.
"Gue suka sama Mokta Dik, tapi Papa gak mau dengerin. Gue minta maaf, maaf ma.. af"
Dika meraih bahu gadisnya, memeluknya begitu erat sembari menikmati rentetan petasan yang siap meledakan hatinya berkeping keping.
"Gue bisa bilang sama bokap Cat, kita batalin perjodohan ini kalau lo mau. Jangan nangis ya, gue gak bisa liatnya"
Kalau saja Dika bisa menghilang dengan mengucap mantra seperti di film hary potter dia ingin enyah saat ini juga, lalu terlahir menjadi seseorang yang tidak mengenal kehidupannya sekarang. Lagi lagi dia memang terlahir untuk kalah, tidak ada pilihan lain kecuali menerima.
Catrina terkekeh pelan, "hehhh dibatalin pun sampai keujung dunia juga percuma, gue udah kalah sedari awal".
Pilu,
"Papa kemarin pulang dan bodohnya gue gak sadar pas lagi bikin cover dikamar. Kacau banget Dik, selain gitar, semua bingkai yang sempat gue umpetin pecah semua. Kata mama, papa kalah tender. Dan lo tau dia kalah sama siapa?"
Hening sebentar, sebelum akhirnya sigadi mendesah resah "papa kalah sama Ayahnya Mokta, dan lucunya Papa marah marah sama gue, gue kena pukul Dik."
Catrina menyibak kaos yang menutup lengannya, lingkar biru keunguan mencuat dibawah lipatan tangan kanannya. Pantas, gadis itu mengadu tadi padahal Dika hanya menariknya pelan.
"Mama udah nangis kenceng banget, gue gak bisa mikir. Papa juga keliatan kacau, kayanya sih Papa habis mabuk. Papa nyalahin Mama yang gak bisa ngasih anak laki laki, dia maki maki Mama sambil lemparin barang barang ke dinding. Gue takut banget Dik" isaknya tertahan.
"Udah ya jangan dilanjutin, gue bakal jagain lo, gue gak mau kenapa napa. Gue bilang sama Om Hardian ya"
Catrina menggeleng ribut, mengencnagkan kepalan tangannya yang sudah bergetar.
"Papa bisa aja lukain Mama kalau gue gak nurut, gue gak mau Dik. Gue udah ikhlas lepas Mokta, tapi Papa masih gak terima"
"Papa.. papa mau gue balesin dendam dia." Bisiknya.
Bukan cuma Dika yang terkejut sembari menahan nafas, tanpa mereka sadari ada sepasang telinga yang entah sejak kapan merekam secara sadar dan baik atas apa yang mereka bicarakan. Bukan niat untuk menguping, namun dia memang sudah menghuni meja yang tidak jauh dari Dika dan Catrina tempati sedari tadi.
🪐🪐🪐🪐
Hari hari sibuk sudah dimulai, ditengah gempuran kesibukan sebagai siswa tingkat akhir alih alih waktu luang untuk beristirahat, Mokta selalu mencuri curi waktu untuk berkumpul seperti biasa tanpa beban.
September telah usai, mengganti kalender dengan angka 1 sampai 30 pada kolom oktober.
Mokta tertawa lepas, mengamati potret lautan lepas yang seperti akan menenggelamkannya dengan gampang karna ombak memang sedang pasang.
KAMU SEDANG MEMBACA
oktrouble
Teen FictionDear Mokta Ratusan kilo meter jauh dari pusaran tempatmu menyatu dengan keabadian. Lapor komandan, saya sudah berhasil menemukan titik kordinat tempat seharusnya saya pulang. Saya sudah berhasil sembuh dari trauma yang berjudul kehilangan. Tapi k...