13: Istirahat

21 3 0
                                    

Ketika kelopak matanya kembali digulung ke atas, sekali lagi, yang dilihat oleh sepasang iris sewarna laut dalamnya itu adalah tenda yang sepi. Namun dengan cepat gadis berambut hitam itu menyadari perbedaan situasinya dengan yang sebelumnya. Jika sebelumnya Akari terbaring di atas tanah berlapis matras, kini tubuh tinggi tegapnya itu terbaring di atas tandu kayu yang dialasi oleh kulit sapi. Jangan lupa dengan selimut biru muda di atas tubuhnya.

Kemudian tidak jauh dari tempatnya berbaring, Akari bisa melihat dengan jelas senapan hitam, yang pada masanya masihlah berupa cetak biru, tergeletak di atas tanah. Akari menghela napas pelan dan memijat pelipisnya, merasa jika pertarungan ini berjalan di luar ekspektasi semua orang bahkan dirinya.

Ketika kedua telinganya menangkap suara derap kaki yang menghampiri tenda, dengan segenap kekuatannya gadis berambut hitam itu berusaha untuk duduk secepat mungkin. Karena usahanya itu, setidaknya apa yang dilihat oleh sepasang manik keemasan di depannya adalah seorang gadis pucat yang bersandar ke dinding tenda di sampingnya.

"Hora, kau seharusnya masih berbaring!" Dengan gerakan cepat Mitsuhide berlutut di samping Akari, kemudian kembali menidurkan gadis berambut hitam tersebut di matras, "meski hanya dua tapi lukamu itu dalam, Akari!" tambah pria berambut perak itu. Akari tersenyum tipis.
"Kenapa kau, terdengar seperti Hide-nii, Mitsuhide?" tanya Akari dengan suara parau. Kedua alisnya terangkat saat Mitsuhide meletakkan telunjuk tangan kanannya di depan bibir Akari.
"Aku hanya sedang malas untuk diceramahi olehnya. Lagipula aku memang terkejut saat Ieyasu menjelaskan kondisimu, Burung Kecil," balas Mitsuhide dengan tatapan dan senyuman yang terlampau lembut dan tulus.

Dahi Akari langsung berkerut, turut merasakan keterkejutan dan kebingungan yang terpampang jelas di manik keemasan pria itu. Pikirannya kini bekerja keras untuk memproses fakta baru yang mengejutkan, dan bahkan nyaris membuatnya frustasi tentang dunia ini. Bukan berarti dirinya tidak senang saat menjadi pusat perhatian, tetapi bisakah orang-orang lebih acuh di dunia ini? Akari tersenyum kecil dan mengangguk.

"Berapa lama jarak kita dari-"
"Dua hari lagi. Perjalanan masih panjang, jadi aku dan Hideyoshi ingin kau memanfaatkannya dengan sangat baik."

Timeskip

Empat hari berlalu sejak percakapan canggung Akari dengan Mitsuhide, sehingga kini dirinya sudah kembali ke kamarnya yang ada di Azuchi. Mungkin juga karena dirinya terluka parah dan tidak bisa kemana-mana, dari sekian malam di era Sengoku yang tidak dikenalinya, baru malam tadi Akari merindukan rumah.

Biasanya Masamune akan memasak sesuatu yang penuh dengan tomat dan sayuran yang diasinkan untuknya, dan itu efektif guna mengobati rasa rindunya. Belum lagi pria berambut cokelat tersebut yang minta untuk diajari membuat manisan yang dibelinya dari pedagang Ottoman. Tapi saat ini, dengan luka menganga di bahu dan perut, Akari tidak bisa berbuat banyak selain menerima makanan yang dikirimkan padanya.

Seperti saat ini, ketika mentari pagi menembus kertas dari partisi di kamarnya, Akari perlahan membuka kedua matanya. Dengan dahi berkerut, iris biru tuanya menangkap sosok pria berambut cokelat muda dengan haori merah yang berkibar karena angin, sedang membuka pintu shoji yang membatasi kamarnya dengan engawa.

Tidak jauh dari tempat pria itu berdiri, Akari bisa melihat sebuah meja kecil yang dipenuhi oleh piring dan mangkuk. Dengan segenap tenaga, setelah menghela napas panjang, gadis berambut hitam itu berusaha untuk duduk dengan suara seminimal mungkin.

Tapi dirinya tidak bisa meremehkan ketajaman indera orang-orang di masa lalu. Hideyoshi yang sedang berada di depan lemari, lebih tepatnya di depan Akari namun sedang berdiri dan menghadap lemari kayu itu, menoleh ke belakang dan langsung membantu gadis beriris biru tua itu untuk duduk.

"Maaf. Aku benar-benar terlambat hari ini," gumam Akari. Hideyoshi tergelak dan menggeleng.
"Tidak usah dipikirkan. Selain itu aku senang karena kau bisa mengandalkan kami semua, Akari," balas Hideyoshi, yang kemudian menyimpan meja kecil yang dibawanya ke pangkuan gadis tersebut, "apa kau sudah sanggup makan sendiri?" tanya Hideyoshi. Akari mengangguk.
"Akan kucoba. Kuharap tangan kananku bisa bergerak."

Ikemen Sengoku: Dokuganryū no Tsubasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang