Sebuah kafe di pusat kota, menjadi tujuan berikutnya bagi kedua insan yang beberapa saat lalu sempat bersitegang, setelah berkeliling Mall selama kira-kira dua jam lamanya. Dengan suasana hati yang telah kembali pulih, keduanya duduk berdampingan pada salah satu kursi, sibuk mengagumi desain industrial dan dinding semen serta meja-meja kayu yang memberikan kesan nyaman, menenangkan, juga menyegarkan mata. Roti panggang dengan aroma memenuhi ruangan, bersama taburan selai kismis di atasnya, juga dua gelas Americano dingin, tersaji di atas meja untuk menemani sore mereka.
Jennie yang menyarakan agar mereka mengunjungi tempat ini terlebih dahulu sebelum melanjutkan hari ini hingga malam menjemput, dia bilang Lisa tak akan menyesal mendatangi kafe yang belakangan ini ramai di perbincangkan muda-mudi, dia juga bilang bahwa tempat ini akan cocok untuk mendinginkan kepala mereka masing-masing. Dan, tebakan Jennie rupanya benar, Lisa suka tempat ini karena beberapa alasan. Tempatnya ramai, namun tidak bising atau mengganggu. Mereka memilih duduk di bagian luar, taman terbuka dengan banyak pohon, angin yang berhembus menerpa wajah Lisa membuat gadis tinggi itu kian betah berlama-lama.
"Kau tidur?" Jennie, yang sejak tadi bergelayut manja pada Lisa bertanya, sedikit terkekeh melihat mata gadis itu terpejam.
"Hm.." Balas Lisa.
"Security akan mengusir kita jika kau benar-benar tidur disini, Lisa-yaa." Jennie tertawa ringan seraya mencubit pelan lengan Lisa.
Mengaduh, mata Lisa terbuka perlahan, gigi-giginya yang berjejer rapi terpampang karena tertawa. Mata bulatnya lantas terarah pada Jennie. "Apakah ada peraturan seperti itu? Aku hanya tidur, bukan membakar tempat ini." Protesnya.
"Aku tahu.. tapi kau membakar hatiku karena mengabaikanku!"
"Pfttt.. Ya! Jangan katakan sesuatu seperti itu! Kau menghilangkan citra seksi dan tegas seorang Jennie Kim di depanku!"
Memutar matanya, Jennie tak merespon ledekan Lisa. Dia lebih memilih mengeluarkan ponsel dari dalam tas-nya dan mengutak-atik sebentar sebelum menggeser tubuhnya lebih rapat pada Lisa. Setelah meraih cup Americano-nya, Jennie lantas menepuk pelan lengan Lisa untuk mendapatkan atensinya. Kening Lisa bertaut, sebab begitu menoleh dia mendapati Jennie sedang membuka aplikasi kamera di ponselnya dan menjepret beberapa kali ke arah bawah.
"Kau sedang apa?" Tanya Lisa.
"Lihat.." Jennie memperlihatkan ponselnya, "Bukankah ini sangat menggemaskan?"
Lisa memperhatikan, menyadari bahwa rupanya Jennie tadi sedang memotret kaki mereka berdua, tepatnya fokus pada dua pasang sepatu putih dengan sedikit corak krem pada bagian tertentu. Selain jaket, Jennie juga membeli sepatu ini dan memaksa Lisa langsung mengenakannya. Gadis ini sangat antusias sekali, jadi Lisa tak berani menolak, tak berani lagi mengecewakan hatinya.
"Kau mengabadikannya? Untuk apa?"
Terpampang senyum di wajah Jennie, pipinya berubah merah muda entah untuk alasan apa, Lisa tidak mengerti. "Aku ingin membagikannya di media sosialku. Apa kau keberatan?"
"Oho.. apa ini? Kenapa kau meminta izin sekarang? Saat itu kau tidak melakukannya." Garis-garis muncul di antara alis Lisa.
"Malam itu aku mabuk, okay? Aku mengunggah fotomu dengan keadaan belum sepenuhnya sadar." Jennie bukan sedang membela diri. Itu fakta.
Tawa yang keluar dari mulut Lisa sesudahnya terdengar begitu menyebalkan, nadanya mengejek. Namun begitu, Lisa sebenarnya tidak keberatan sama sekali jika Jennie mengunggah foto ini, lagi pula itu hanya potret kaki dan sepatu, tak ada yang akan mengenalinya. Berbeda dengan saat gadis ini mengunggah fotonya sewaktu hanya mengenakan kaos tanpa lengan, yang membuat emosi Lisa berada di ubun-ubun dan berpikir untuk melayangkan protes, sebab pada saat itu dia takut Rosie akan melihatnya. Namun, dia sudah terlambat untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari amarah kekasihnya, jadi Lisa memilih untuk tak lagi mempermasalahkan foto tersebut dan melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Her Shadow || Jenlisa ✔️
ФанфикSetiap perasaan yang masih tertinggal, membuat Lisa sulit untuk benar-benar pergi. Dia sudah mencoba, namun hatinya selalu memaksanya untuk menuju tempat yang sama, meskipun tempat itu tak lagi sama. (Gxg)