Jennie mengerjap, dia biarkan bulir bening mengalir bebas dari matanya. Bukan karena dia tidak senang mendengar kata-kata Lisa, ia justru merasa diliputi kebahagiaan yang tak terbendung sehingga dadanya terasa sangat sesak saat ini. Matanya menatap cincin yang indah itu, membayangkan memakainya saat bersanding bersama Lisa, kemudian air matanya hanya menjadi semakin deras.
Rasanya seperti mimpi.
"Lisa..." Dia berbisik pelan.
"Ya? Oh.. kau tidak bisa menjawab sekarang?" Ada kekecewaan dalam suara Lisa, tapi dia memaksakan senyum. "Tidak apa-apa Jen. Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Kau bisa memikirkannya selama yang kau mau."
"Tidak, tidak. Bukan begitu. Hanya saja - apakah kau yakin dengan hal ini? Kau bilang kau tidak ingin terikat dalam sesuatu seperti..."
"Pernikahan?" Lisa menyela. Kemudian senyumnya yang jernih seperti sungai melebar. "Jika itu bersamamu, aku siap menikah bahkan jika harus seribu kali, Jen. Aku tidak pernah seyakin ini."
Jennie tertawa dan menepuk pundak Lisa. "Kau sangat konyol!"
"Itu bukan gombalan," Lisa tertawa geli sejenak. "Sekarang bolehkah aku mendapatkan jawabannya?"
Alih-alih menjawab, senyum Jennie jatuh begitu lambat sehingga melihatnya sedikit membuat Lisa takut. Jennie tahu sisa waktu yang mereka miliki sekarang tidak akan cukup untuk mendiskusikan hal ini, tapi setidaknya Lisa perlu tahu apa yang menjadi kekhawatirannya.
"Li... apa ini berarti kita benar-benar akan menjalani hubungan jarak jauh?"
Alis Lisa terangkat. "Kau sangat khawatir, ya?"
"Sejujurnya, ya. Kau memiliki pekerjaan di sini."
"Apa kau punya masalah dengan itu?"
"Apa? Tidak, bukan itu, Lisa. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang harus, tapi aku hanya ingin tahu bagaimana kita harus menjalani hubungan ini."
Lisa meletakkan kotak cincin itu di atas tempat tidur dan menatap Jennie penuh pertimbangan. "Dengan berat hati aku harus mengatakan sejujurnya aku belum berpikir sejauh itu Jennie, aku yakin kau juga tahu bahwa itu perlu dipikirkan secara matang. Tapi Jen, meskipun aku tidak punya apa-apa sekarang, aku ingin mempercepatnya. Jadi, sampai aku bisa kembali ke Korea untuk berbicara dengan orang tuamu tentang hal ini, maukah kau bersabar?"
Jennie tersenyum dan mengangguk. "Aku setuju. Kita juga akan memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan jika kita benar..." Dia berhenti dan berdeham, "menikah." Lanjutnya dengan malu-malu.
"Apa maksudmu jika kita benar menikah? Tentu saja itu benar!"
"Kalau begitu... bisakah aku memakai cincinku sekarang?"
"Hm? Ah, cincin? Ah, cincinnya! Sial!" Lisa mencari-cari dengan panik. Ketika menemukannya, dia mengeluarkan benda tersebut dari kotak dan memakaikannya ke jari Jennie tanpa ragu-ragu.
Mata Jennie kembali berkaca-kaca saat cincin itu melingkar di jari manisnya. Tidak ada beban sama sekali di hatinya, menandakan bahwa apa yang dia pilih adalah benar-benar apa yang diinginkan hatinya. Kepalanya terangkat untuk melihat Lisa, tapi sebelum dia bisa mengatakan apapun, dia tercekat saat Lisa tiba-tiba menutup jarak dan mencium keningnya cukup lama.
Jantung Jennie berdegup kencang dengan aksi yang tiba-tiba itu. Dia memejamkan matanya, meresapi semuanya sampai Lisa menarik diri.
"Terima kasih, Jennie. Terima kasih karena masih menerimaku setelah semua rasa sakit, rasa lelah dan sabarmu. Aku mencintaimu." Lisa mencium tangannya dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Her Shadow || Jenlisa ✔️
FanfictionSetiap perasaan yang masih tertinggal, membuat Lisa sulit untuk benar-benar pergi. Dia sudah mencoba, namun hatinya selalu memaksanya untuk menuju tempat yang sama, meskipun tempat itu tak lagi sama. (Gxg)