Hampir saja.
Jika seseorang tidak segera menariknya menjauh, Lisa pasti akan tertabrak. Ia baru saja akan menyeberangi jalan ketika sebuah mobil putih melaju kencang dari arah kirinya. Jantung Lisa terasa seperti mau copot dari tempatnya saat menyadari bahwa kematian begitu dekat beberapa detik yang lalu.
"Kau baik-baik saja, Nona?"
"Brengs---kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri, bukan? Kau mengendarai mobil tanpa aturan, bagaimana jika aku tertabrak?" Lisa mengumpat pada pengemudi yang tampak khawatir.
"Oh, maafkan saya Nona. Saya buru-buru harus ke rumah sakit, adik saya mengalami kecelakaan. Saya benar-benar minta maaf, ini kartu nama saya. Tolong hubungi saya jika terjadi sesuatu pada Anda. Sekali lagi saya minta maaf, tapi saya harus segera pergi."
Pengemudi wanita berusia pertengahan 20-an itu membungkuk sebelum masuk kembali ke dalam mobilnya. Lisa yang kesal karena ditinggalkan hendak melangkah ke arahnya, tetapi sebuah tangan yang menahannya membuatnya berhenti dan berbalik.
"Apa?" Desisnya saat orang itu menatapnya.
"Dia tidak sengaja, Lisa. Kau tidak perlu bersikap kasar seperti itu."
Sambil mendongak dan meletakkan tangannya di pinggang, Lisa menjawab. "Kau tahu bagaimana rasanya hatimu seperti akan melayang karena terkejut? Kau tidak akan marah jika kau jadi aku?"
"Dia tidak bermaksud begitu, oke?"
"Dia bisa saja memelankan mobilnya!" Lisa berkata sambil menepuk-nepuk lengan bajunya yang kotor karena terjatuh.
"Astaga, kau sepertinya memang punya masalah dengan kemarahan," Gadis itu menggelengkan kepala lalu membantu mengumpulkan berkas-berkas Lisa yang terjatuh ke tanah. "Mereka tidak mau menerima ini?" Alisnya berkerut karena terkejut saat membaca salah satu berkas.
Lisa bergegas merampas berkas itu dan memasukkannya secara paksa ke dalam tasnya. Wajahnya menjadi kusut dan kesal pada saat yang sama, sehingga wanita itu mulai memahami sesuatu.
"Ayo pulang." Lisa berkata untuk mengubah topik pembicaraan.
"Ah, apa karena itu suasana hatimu tidak baik?"
"Tidak. Aku hanya lelah karena bekerja lembur semalam. Ayo, bus akan segera tiba."
Ia segera berbalik untuk memimpin jalan menuju halte bus di seberang gedung perusahaan. Gadis berambut panjang itu lantas mengikuti di belakangnya, sedikit kewalahan dengan langkah Lisa yang panjang dan tergesa-gesa. Ia memandang punggung Lisa saat berjalan dan dapat merasakan kesedihan yang terpancar dari punggung yang goyah itu.
"Itu sering terjadi, kau tahu? Kau baru bekerja di sini sekitar tiga bulan. Perjalananmu masih panjang dan penolakan terhadap idemu bukanlah hal yang baru bagi seorang pemula, ini bukan akhir dari segalanya."
Lisa menghela napas panjang sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku, sementara matanya berpencar ke mana-mana kecuali ke wanita di sampingnya. "Aku tahu. Tapi bukankah aku punya hak untuk merasa kesal? Kau tahu, aku mengerjakan ide ini selama seminggu, tetapi mereka tidak memeriksanya sama sekali. Mereka hanya melihat gambaran besar yang tidak menyampaikan ideku dengan baik dan langsung menolaknya. Ini sedikit menyakitkan," dia tertawa tanpa humor. "Bangun di pagi hari tanpa tidur yang cukup di malam hari hanya untuk sesuatu yang tak berhasil, menyebalkan."
Ia juga memahami bahwa dia baru bekerja kurang dari enam bulan, sehingga merupakan hal wajar jika perusahaan tempatnya bekerja sangat selektif terhadap ide-ide baru. Terlebih lagi, BigWin dikenal sebagai perusahaan yang membebaskan tim pengembang untuk menuangkan ide mereka, sehingga kualitas dari ide itu sendiri sangat diperhatikan dan membuat kemungkinan untuk ditolak menjadi tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Her Shadow || Jenlisa ✔️
Fiksi PenggemarSetiap perasaan yang masih tertinggal, membuat Lisa sulit untuk benar-benar pergi. Dia sudah mencoba, namun hatinya selalu memaksanya untuk menuju tempat yang sama, meskipun tempat itu tak lagi sama. (Gxg)