"Kau dimana?"
"Aku—"
"Lisa.. Aku sangat membutuhkanmu! Kau berbohong, ya? Kau bilang akan segera datang!"
"Jennie-ya.. aku sudah dekat. Lalu lintas agak sedikit macet karena sudah sore, kau tahu situasinya seperti apa.
"Tsk. Aku akan menunggu lima belas menit lagi! Jika kau masih belum datang, lebih baik aku pulang!"
"Ya.. ya.. tunggu saja, kau tidak perlu ke mana-mana. Aku akan segera sampai."
Kalimat itu menjadi pemutus, sebelum nama yang tertera pada layar ponsel hitam di atas dashbord mobil itu, menghilang. Wanita yang sejak tadi terus celingak-celinguk untuk mencari celah bagi mobilnya agar bisa lolos dari kemacetan, hanya bisa mengerang frustasi seraya menyambar ponselnya untuk memastikan si penelepon benar-benar tidak lagi tersambung dengannya.
"Bodoh sekali."
Wanita yang telah berusaha mati-matian menahan diri agar tak emosi, menatap tajam gadis di sampingnya. Sungguh, dia tidak memerlukan komentar menyebalkan yang baru saja di lontarkan oleh sang sahabat.
"Diamlah." Desisnya, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan.
Jam digital kecil di atas dashbord menunjukkan pukul lima sore, tak heran jika lalu lintas di daerah ini begitu padat, dipenuhi oleh orang-orang yang baru saja selesai dengan jam kerja mereka. Kemacetan memang satu hal yang sangat tak disukai oleh siapapun, termasuk Lisa. Namun, penyebebab kerutan-kerutan dalam di keningnya, dan helaan-helaan napas yang sesekali lolos bersama umpatan-umpatan kecil dari mulutnya, bukan hanya karena persoalan macet ini.
"Aku bersumpah, kau adalah manusia terbodoh yang pernah kukenal."
"Tidak Bisakah kau diam? Jangan membuatku semakin tertekan!" bentak Lisa.
Perempuan disampingnya hanya bisa menghela napas prihatin. "Li, dia sudah dewasa. Tidak akan terjadi apa-apa padanya, dia hanya bertengkar dengan pacarnya, bukan di culik atau semacamnya."
"Aku hanya khawatir, dia masih tidak stabil, Chu." Jawab Lisa sambil menginjak pedal gas perlahan, lampu di depan mereka sudah berubah menjadi hijau.
"Kapan Jennie pernah stabil? Dia memang seperti itu setiap hari, bukan? Tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Kau saja yang panik berlebihan, khawatir berlebihan, meskipun Jennie pada akhirnya akan tertawa lagi ketika sudah berbaikan dengan kekasihnya. Apa aku salah?"
Lisa tertegun sejenak, dalam hati dirinya membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh Jisoo. Memang benar, kekhawatiran Lisa terkadang berlebihan, namun ia hingga kini belum mampu mengendalikan hal itu. Setiap kali Jennie memohon hadirnya untuk sekedar mendengar cerita-cerita gadis itu soal pacarnya, Lisa tak mampu menolak, dia akan pergi menemui Jennie tanpa berpikir dua kali dengan perasaan resah dan panik. Tanpa mempedulikan kenyataan bahwa pada akhirnya, gadis itu akan tetap kembali seperti semula seolah tak ada apa-apa.
"Kau mau ikut? Atau kau akan menunggu di sini saja?" Lisa bertanya begitu mereka sampai di area parkir sebuah mal.
"Kau gila menyuruhku menunggu di sini?!" kata Jisoo kesal.
Mematikan mesin mobilnya, Lisa kemudian melihat jam digital di atas dashbord. "Tapi aku sepertinya akan lama. Apakah aku harus memesan taksi online saja agar kau bisa pulang?" tawarnya.
Sebelumnya, ketika mendapat telepon dari Jennie, mereka berdua memang sedang dalam perjalanan menuju rumah Jisoo, rencananya malam ini mereka akan mengunjungi klub untuk menghilangkan stres setelah empat hari berjuang dengan proyek untuk tugas akhir mereka.
Namun, rencana itu harus dibatalkan karena Lisa tidak bisa menolak permintaan Jennie. Hal ini tentu saja membuat Jisoo tidak bisa meredam kekesalannya yang menumpuk pada Jennie, namun sebagai seorang sahabat, ia tidak bisa membenci Lisa hanya karena wanita itu lebih mementingkan Jennie daripada dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Her Shadow || Jenlisa ✔️
FanfictionSetiap perasaan yang masih tertinggal, membuat Lisa sulit untuk benar-benar pergi. Dia sudah mencoba, namun hatinya selalu memaksanya untuk menuju tempat yang sama, meskipun tempat itu tak lagi sama. (Gxg)