1. Penglihatan tak terduga

96 14 45
                                    

Sejak kecil, ada sederet kalimat yang Erina tanam dalam benaknya: Jika dia tidak pintar, maka setidaknya dia harus menjadi pekerja keras.

Dan itu yang membuatnya bertahan di posisi saat ini, sebagai peraih peringkat kedua di kelas dan pararel, di bawah seorang lelaki yang notabene pintar dari lahir.

Gadis berambut gelombang itu kadang menyimpan tanda tanya: bagaimana nasib dia jika sedari awal dia diberkati otak yang brilian?

"Erina, nilai kamu berapa?" Seorang gadis dengan potongan rambut Bob mengarahkan telunjuknya pada kertas lecek Erina.

"90." Erina memandang kertas ujiannya lamat-lamat. "Kamu?"

"70, pas KKM, hehe." Senyuman gadis itu tak kalah lebar. "Lumayan, hasil SKS. Selamat, ya, nilai kamu tinggi banget, meski masih tinggian si Adrian."

"Sst, jangan sebut namanya." Erina mengerutkan alisnya, tidak lupa telunjuk yang diposisikan di depan mulutnya. "Aku udah pelajarin materi ini selama seminggu penuh, rasanya ga banget kalau aku jadi ga menghargai usahaku karena cowok pintar itu." Erina melirik lelaki itu sekilas, mendapatinya tengah asik dengan ponselnya sendiri.

Erina berbohong, dia sempat merutuki dirinya yang tidak pernah bisa menang dari Adrian, seberapa keras pun ia memeras otaknya, seberapa banyak pun waktu yang dia habiskan untuk memahami materi sekolah.

"Oline, Adrian memangnya dapat berapa?" Erina tidak bisa menyembunyikan gejolak rasa penasaran itu.

Oline menyipitkan matanya. "Lho, lho, katanya ga mau dengar namanya, kok sekarang-"

"Udah, diam, cepat bilang aja. 100 kan?"

"99, Bu." Oline menanggapi dengan menyisipkan nada bercanda. "Tebakanmu meleset."

"Ya Tuhan, kalian masih sibuk bahas nilai? Mending kita ke kantin, yok buat rayain berakhirnya ujian harian kita!" Naira memberikan serangan pelukan mendadak kepada Erina dan Oline. "Di sana bahas nilai, di sini juga bahas nilai, pusing dengarnya."

"Emangnya kamu berapa, Nai?" Oline melempar pertanyaan.

"Merah. Besok kayaknya orang tuaku dapat surat cinta dari sekolah. Tapi udahlah, ga usah dibahas lagi, kayak bisa berubah aja nilainya."

Erina mendecak pelan. Benar, membahas ini terus menerus tidak akan mengubah angka sembilan pada kertasnya menjadi sepuluh. "Yok, hari ini menunya bakso 'kan?"

***

SMA Bina Garuda merupakan sekolah incaran Erina sejak dulu, salah satu SMA top di daerahnya. Dengan tekad dan ketekunan Erina Yudika, tidaklah mustahil untuk lolos tes masuk, meski gadis itu harus mengorbankan beberapa jam tidurnya.

Hanya saja, semuanya terasa tidak cukup, terutama saat pertama kali ia mendengar nama Adrian Hermandra, nama yang memporak-porandakan pikirannya.

Lelaki berkacamata itu pendiam, selalu sibuk dengan sudoku dan catur dalam ponselnya. Hanya sesekali berbicara dengan kawan sekelas, jarang berkumpul dengan teman-temannya, dan stereotip anak pintar yang sudah melekat padanya.

Itulah gambaran seorang Adrian dalam benaknya. Seorang Adrian yang mungkin saja bisa ia kalahkan suatu hari.

Lelaki berambut hitam itu mencuri atensinya saat lelaki itu menjadi satu-satunya siswa dalam kelas yang meraih nilai sempurna pada ujian matematika saat pertama kali mereka menjalankan ujian harian SMA.

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang