Gadis itu, gadis dengan kuncir ponytail. Ia sedang asyik bermain dengan sekuntum mawar di atas sebuah pohon ketapang. Bibir dan tangan mungilnya merapalkan kalimat yang terdengar tidak asing ditelinga.
"Dia hidup, dia tidak hidup, dia hidup, dia tidak hidup."
Begitulah kalimat yang ia rapalkan sembari menanggalkan setiap kelopak mawar. Jantungnya berdebar setiap kali kelopak mawar itu berkurang. Hembusan nafas panjangnya mengakhiri kelopak mawar terakhir.
"Dia hidup. Astaga! Jadi benar dugaanku, dia hidup!"
Wajahnya tampak sumringah, rasa gembira menyeruak dari dalam hatinya. Dia berteriak riang sembari mengayunkan kedua kakinya.
"Siapa yang hidup?"
Pertanyaan itu terdengar bersahutan dengan teriakannya. Keterkejutan yang seharusnya sudah menjadi kebiasaan, tapi entah mengapa Mentari masih saja tak bisa beradaptasi.
"Tentu saja itu kau! Lalu siapa lagi?" Suara Gadis itu tampak meninggi dan terkesan menantang.
Jika Mentari tampak berapi-api, maka Bulan adalah kebalikannya. Pria itu tersenyum samar dan terlihat begitu manis. Gadis itu tak henti menatap wajah teduh yang telah menghias harinya beberapa tahun belakangan ini.
"Kenapa kau begitu yakin jika aku hidup?"
"Kelopak mawar itu yang mengatakannya padaku," ujar Mentari dengan jari telunjuk yang mengarah ke bawah, tepat di mana kelopak mawar bertaburan.
"Memangnya dia bisa berbicara?"
Oh, iya! Bunga mawar adalah benda, mana mungkin benda bisa berbicara, kecuali jika ia hidup di dalam dunia fantasi.
"Maksudnya, aku mengetahuinya dari kelopak mawar terakhir ini," ujar Mentari kembali dan menunjukkan setangkai mawar yang hanya menyisakan satu kelopak saja.
"Memang apa yang diberitahukan olehnya?"
Mentari tampak berdecih, kesal. "Dia menyakinkanku bahwa kau itu hidup!" ujar Mentari penuh kekesalan.
"Jika aku benar hidup, dimana tubuhku berada saat ini?"
Pertanyaan Bulan kali ini tidak bisa ia jawab, meski ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan hal ini, tapi Mentari masih belum mendapatkan alasan yang masuk akal untuk diberikan kepada Bulan.
"Bukankah jiwaku sudah terpisah dengan ragaku? Itu berarti aku sudah tidak hidup, tidak sepertimu."
Bulan berkata benar, tapi hati kecil Mentari menolak keras pernyataan itu. Dia masih yakin dengan pendapatnya, bahwa pasti pria itu masih hidup.
"Apapun yang kau katakan, pendapatku tidak akan berubah. Bagiku, kau itu masih hidup, aku tidak perduli apa yang dunia katakan tentang itu."
Sorot mata Mentari jelas menunjukkan rasa percaya diri, dia begitu yakin dengan dirinya sendiri. Hal inilah yang terkadang membuat Bulan benar-benar ingin hidup, meski hanya untuk melihat gadis itu dari jauh.
Netra mereka masih bertemu, saling memandang satu sama lain. Seakan-akan waktu terhenti, Mentari dan Bulan pun berhenti berkedip beberapa saat.
"Kenapa kau muncul tiba-tiba?" tanya Mentari kepada Bulan yang masih saja setia memandanginya.
Apakah Bulan tidak bisa melihat jika Mentari sedang salah tingkah? Pipi gadis itu bersemu, merah seperti kepiting rebus.
"Coba lihat jam tanganmu, sekarang sudah menunjukkan pukul berapa?"
Bagai tersihir, Mentari tanpa sadar memandang jam tangan yang melingkar indah di lengan kirinya. Sudah 2 tahun ini ia rajin mengenakan jam dan semua itu karena Bulan.
"Oh, iya! Sudah waktunya untuk melihat matahari terbenam. Aku hampir saja melupakannya."
Suara cemas Mentari membuat Bulan sedikit terkekeh. Sungguh, meski Bulan memancarkan aura dingin, tapi sikapnya itu penuh dengan kehangatan.
"Maka dari itu jangan terlalu fokus pada mawar yang akan layu esok hari."
Lagi, Mentari merasa tersentil dengan kalimat itu. Kenapa Bulan tidak mengerti juga?
"Aku tidak fokus pada mawarnya, tapi pada kalimat kau itu hidup atau tidak," sungut Mentari yang masih merasa tidak terima.
Bulan memang sosok yang cocok bagi Mentari, ia bisa memadamkan api kemarahan yang ada pada tubuh gadis itu. Senyumnya begitu meneduhkan dan mampu mendinginkan perasaan Mentari yang memanas.
"Aku hidup atau tidaknya, tidak akan membawa pengaruh apapun dalam hidupmu, Mentari. Hal itu masih tidak pasti, jangan terlalu menggantungkan harapanmu."
Untuk kesekian ratus kali, Bulan tidak pernah bosan mengingatkan kalimat itu. Agar Mentari tak terlalu mengharapkan hal yang belum pasti kebenarannya.
Sorot mata yang awalnya penuh dengan rasa percaya diri yang berapi-api, kini berangsur meringsut seakan hilang tertelan kesedihan.
"Jika kau hidup, maka kita bisa bersama." Suara Mentari melemah, ia memang sosok gadis yang penuh dengan percaya diri, tapi dia juga mudah untuk di goyahkan. Tentu saja hal ini tidak baik bagi gadis itu.
"Memangnya sekarang aku tidak bersama denganmu? Kau ini lucu sekali."
Meski Bulan tidak tertawa, tapi Mentari tahu bahwa kalimat itu memang tulus. Gadis itu kembali berdecih, Bulan menyebalkan.
"Maksudku bukan seperti itu, Bulan!"
Kali ini Bulan menatap Mentari dengan datar, membuat nyali gadis itu seketika menciut. Bagaimanapun, aura dingin yang dipancarkan Bulan membuat bulu kuduknya merinding tak karuan.
"Jangan menjelaskan hal yang sudah seringkali ku dengar, Mentari. Itu tidak akan membawa perubahan, sekeras apapun kau mencoba."
Ya, pria itu benar. Sudah 6 bulan semenjak Mentari mencoba untuk mencari tahu asal usul Bulan, tapi sungguh tidak membuahkan hasil. Tempat dimana kali pertama mereka bertemu pun tak memberi banyak petunjuk, bahkan tidak ada petunjuk sama sekali.
"Berhentilah untuk mencoba, Mentari. Kau tidak akan menemukan apapun."
Meski kemungkinan besar perkataan Bulan itu benar, tapi Mentari masih penasaran dengan sosok pria itu di dunia nyata. "Bukankah seharusnya kau tahu?"
"Aku bahkan tidak tahu namaku dan mengapa kau bisa melihatku disaat semua orang justru tak melihat keberadaanku."
Sesungguhnya Mentari selalu merasa sedih setiap kali mereka membahas hal ini, tapi entah mengapa dia memang berharap jika ada keajaiban yang terjadi. Keajaiban yang akan membuat ia bertemu dengan Bulan di dunia nyata.
"Bulan, topik ini sudah seringkali kita bicarakan, tapi kenapa aku masih tidak puas dengan jawabanmu."
"Sudahlah, berhenti mengoceh. Lihat, mentari mulai terbenam. Semburat oranye tampak indah, bukan?"
Gadis itu mengangguk setuju. Memang senja selalu mampu membuat siapapun terpesona akan keindahannya, tak terkecuali itu Bulan dan Mentari.
"Wah, aku merasa begitu beruntung!"
"Kenapa begitu?"
"Ada banyak alasan. Pertama, aku beruntung karena bisa menikmati waktu ini bersamamu. Kedua, aku beruntung karena kau selalu bersamaku untuk menikmati pemandangan ini."
"Baiklah, sekarang turun. Pergantian siang ke malam tidak baik untukmu."
"Aku tahu, sebab rawan bukan? Kau sudah memberitahu hal itu ribuan kali, Bulan."
Mentari melompat dengan pendaratan yang tidak mulus. Ia terjungkal ke depan karena salah dalam penempatan kaki dan memilih tempat mendarat.
Gadis itu mengaduh kesakitan, sementara Bulan asyik tertawa geli di atas pohon. Benar saja, hidung mungilnya sedikit tergores. Ia menghentakkan kaki pada setiap langkahnya dengan rasa kesal yang membumbung tinggi.
Jika benar apa yang dikatakan Mentari, akankah takdir mengizinkan Bulan kembali pada raganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...