Secercah sinar mentari menemani pagi gadis dengan rambut sebahu yang tak lain tak bukan adalah Mentari. Mentari kedua di bumi yang selalu berhasil menyita atensi Bulan, pria itu berdiri di kejauhan, diantara silaunya cahaya sang surya.
Sedangkan, Mentari tampak sibuk mengatur seragam sekolahnya, gadis itu sudah berdiri menatap cermin sejak 10 menit yang lalu. Dia tampak menggemaskan, rambut sebahu yang dibiarkan tergerai begitu saja, serta mata kecoklatan yang tampak kebingungan.
"Mentari! Belum selesai juga? Aku sudah menunggumu sejak tadi!"
Teriakan Alam justru membuat Mentari makin kalang kabut, seragamnya belum rapi, tapi kakaknya itu sudah mengamuk tak karuan. Suasana hati gadis itu yang awalnya sudah tidak bagus, kini justru semakin bertambah buruk.
"Sebentar, lima menit lagi, Bang!" Mentari berteriak sekuatnya, khawatir jika kakaknya itu tidak akan mendengar baik perkataannya dan akan mengomel lagi kedepannya.
Ketika ia asyik berkaca, bulu kuduknya berdiri, membuat Mentari merasa merinding. Hawa dingin perlahan pun mulai berhembus ke arahnya. Kepala itu menoleh ke kanan dan kiri, berharap menemukan penyebab dari semua ini.
Belum ada hal mencurigakan yang terlihat, tapi hawa dingin itu terasa tak ingin menghilang.
"Apalagi yang kau tunggu, Mentari?"
Suara lembut itu menerpa pendengarannya membuat gadis itu setengah berteriak, Bulan sudah berdiri dengan bersidekap dada disampingnya.
Pria itu memperhatikan Mentari dari atas hingga ke bawah, bahkan beberapa kali kepalanya sedikit dimiringkan, menimbulkan cebikan kesal dari gadis itu.
"Apakah kau tidak tahu jika seragamku belum rapi dengan sempurna?"
Memang dasar gadis perfeksionis. Bulan mengitari Mentari untuk memperhatikan dimana letak seragam yang menurut gadis itu tidak rapi, tapi ia tidak menemukan kekusutan apapun.
Mentari pun dibuat pusing dengan metode yang Bulan gunakan, ia tidak tahu apa yang sedang pria itu lakukan.
"Mentari, tapi seragammu sudah rapi. Aku tidak melihat ada yang kusut."
Bulan berujar lembut, tapi Mentari malah emosi.
"Sudahlah, kalian memang tidak teliti!"
Lagi, Alam kembali berteriak memanggil namanya.
"Aku harus masuk kerja jam setengah sembilan nanti, Mentari."
Teriakan Alam terdengar menggema, disusul derap kaki menghampiri kamar Mentari, tapi hal itu tidak membuat gadis itu puas dengan seragamnya, dia justru masih asik memperhatikan pakaiannya.
Alam tidak begitu heran melihat Mentari yang memang sudah terlihat rapi masih saja bercermin. Inilah keseharian gadis itu dan ia sudah terbiasa.
"Apa lagi yang kali ini kau perhatikan, Mentari?" tanya Alam yang tengah menyandarkan tubuhnya pada dahan pintu. Pria itu bersidekap dada mengamati Mentari yang tak kunjung selesai dengan seragamnya.
Mentari berbalik dan sudah tidak mendapati Bulan di kamar itu. Dia langsung berhadapan dengan Alam yang memperlihatkannya dengan seksama.
"Lihat, seragamku tidak rapi!"
"Itu sudah teramat rapi, bagaimana lagi rapi yang kau maksud?"
Gadis itu menghela nafas dan mendekat ke sisi Alam, berusaha menunjukkan letak ketidakrapian yang ia maksud.
"Tapi di sisi ini terlihat tak sejajar dengan di sebelah sini!" ujar Mentari sembari menunjukkan sisi yang menurutnya tak simetris.
Sepertinya, Alam pun tak ingin ambil pusing dengan hal itu, dia berlalu setelah memberikan Mentari sebuah perintah.
"Ambil tasmu, kita berangkat sekarang."
Sesuai dengan apa yang Alam perintahkan, ia pun hendak berjalan ke dapur guna mengisi perutnya, tapi sepertinya sang kakak sudah mengetahui lebih dulu tujuan Mentari.
"Ini sudah hampir jam tujuh, aku sudah menyediakan bekal untukmu. Jangan lupa dibawa."
Alam pun mengeluarkan bekal makanan berwarna biru dengan motif doraemon dari dalam tas kerjanya, kemudian menyerahkannya pada Mentari. Ah, gemasnya!
"Abang ini manis ternyata, tapi sayangnya kenapa masih saja sendiri?" cibir Mentari sembari menyenggol pelan tubuh sang kakak.
"Apakah kau sedang mencemoohku, Mentari? Memangnya kau sendiri sudah memiliki kekasih?"
"Abang lupa atau memang amnesia? Bukannya aku dilarang keras untuk berpacaran?"
"Itu bagus, jangan dekati siapapun. Aku tidak ingin ada yang memberitahukanku jika kau sedang menjalin hubungan dengan seseorang."
"Abang terlalu posesif, tidak akan ada yang mendekatiku jika Abangku saja seposesif ini," ketus Mentari.
"Lantas kau tidak menyukai sikapku?"
"Bukan begitu, aku sudah cukup dengan temanku saat ini."
Ternyata, kalimat itu menyita atensi Alam sepenuhnya. Kaki pria itu berhenti melangkah dan menatap Mentari penuh tanya. "Dia lagi?"
Intonasi berbicara yang menandakan rasa tidak suka dan Mentari cukup malas untuk membahas hal yang akan mereka perdebatkan.
"Aku tidak berbohong, aku sungguh-sungguh melihatnya!"
"Abangmu tidak akan percaya, Mentari." Suara itu dengan lembut menerpa pendengaran Mentari dan ia tahu siapa pemiliknya.
Mentari terkesiap dan melihat Bulan sudah berdiri di samping Alam, gadis itu lalu mencebik dan berujar, "sekarang dia tengah mendengarkan percakapan kita berdua."
Alam spontan celingukan kesana dan kemari, tapi tak menemukan apapun kecuali perabotan rumah mereka. Kosong, hanya itulah yang dilihatnya.
"Sungguh perilaku yang tidak sopan. Apakah kau yang mengajarinya?" ketus Alam.
Tak terima sang kakak memarahinya, Mentari pun berusaha membela diri. Apa-apaan, memangnya dia berbohong?
"Aku sama sekali tidak mengajarkan hal yang buruk! Dia juga tidak berperilaku buruk!"
"Katakan padanya aku meminta maaf, Mentari."
Mentari mendongakkan kepala, memperhatikan wajah kesal Alam. Pria itu manis, apalagi dengan kacamata kotak itu, masalahnya dia sangat menjengkelkan.
"Dia meminta maaf padamu."
"Kau bisa membuatku gila, Mentari."
Singkat dan jelas, tapi penuh dengan emosi. Pria itu bergegas berlalu meninggalkan Mentari yang hendak mengenakan sepatu.
"Ini semua karena kau! Mengapa tiba-tiba kau datang?"
"Kalian tengah memperdebatkan kehadiranku, maka dari itu aku disini," ujar Bulan membela diri.
Mentari hanya mencebik kesal kemudian mendaratkan bokongnya pada lantai dingin depan rumah.
"Tapi bukan berarti kau harus muncul, 'kan? Kau sendiri tahu bang Alam selalu tidak suka jika aku berbicara tentangmu."
"Bukankah aku sudah meminta maaf?" ujar Bulan sekali lagi, sepertinya ia tak terima disalahkan.
"Apakah dengan meminta maaf semua akan selesai?" tanya Mentari dengan lirikan tajam.
Bulan tertegun melihat reaksi gadis itu, semarah itukah Mentari padanya?
Disisi lain, puluhan detik sudah Alam menunggu, tapi perdebatan itu tak kunjung reda hingga membuat ia jengah. "Sudahi perdebatanmu atau kau ingin aku pergi lebih dulu?"
Mentari buru-buru mengikat tali sepatunya dan berlari kecil menyusul Alam. Dia duduk dengan tenang dan memberikan tatapan kesal pada Bulan sebelum akhirnya sepeda motor itu melesat menjauh.
"Mentari adalah gadis yang sulit ditebak, apakah gadis di dunia ini begitu sulit untuk dipahami?"

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...