Puluhan menit sudah Alam dan Mentari sama-sama terdiam. Bila biasanya gadis itu aktif berceloteh, kini rupanya ia bungkam seribu bahasa. Menutup rapat bibir tipisnya, bahkan tak sekalipun ia memperhatikan kaca spion guna melihat wajah Alam. Dia sudah menunggu sang kakak untuk berdehem, tapi nihil karena keduanya masih membisu.
Inilah yang tidak ia sukai jika berdebat mengenai Bulan, Alam akan mendiamkannya tanpa ingin mendengar penjelasan Mentari dengan seksama.
Awalnya, Mentari berfikir jika Alam akan mengajaknya berbincang, sekedar membicarakan masalah perceraian kedua orang tuanya. Topik kesukaan yang tak pernah bosan keduanya bahas, tapi rupanya kekesalan pria itu masih berlanjut hingga mereka tiba di halaman sekolah.
Tidak ada ucapan terima kasih atau kalimat selamat pagi, mereka berpisah seperti orang asing. Langsung memilih untuk segera memulai kesibukannya masing-masing, sungguh tak berbeda jauh dari apa yang kedua orangtuanya lakukan sebelum akhirnya bercerai.
Mentari melangkahkan kaki menaiki tangga, hanya berjarak satu ruangan ia sudah tiba di ruang kelasnya. Sungguh perjalanan yang membosankan.
"Apa yang membuatmu lesu seperti itu?" tanya Bintang terheran dengan sikap temannya yang tidak bersemangat.
Mentari menggeleng, mana mungkin dia jujur jika sedang marahan dengan Alam hanya karena manusia tak kasat mata.
"Kau ini terkadang lucu, Mentari. Memperlakukan aku seperti orang asing, padahal yang ku tahu kita teman baik, 'kan?" tanya Bintang kembali, seakan penuh harap.
Dia menyerah, Mentari memang tidak cocok bersikap loyo seperti ini. Jiwa periangnya seperti berusaha mendobrak agar bisa keluar, tapi semua sia-sia jika pikirannya saja berkecamuk tak menentu.
"Sepertinya bang Alam akan berhenti bicara padaku."
Bulan mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mencerna maksud dari ucapan Mentari. "Kenapa kau bisa berfikir seperti itu?"
"Sepanjang perjalanan tadi, dia hanya membisu. Padahal biasanya kami sering membicarakan hal random, apalagi jika itu menyangkut orang tuaku," ujar Mentari mulai bercerita.
Anggukan kepalalah yang pertama kali Bulan lakukan, ia begitu menjiwai peran sebagai penasihat dan pendengar.
"Pasti ada penyebabnya, mungkin saja suasana hatinya sedang tidak baik."
Itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi dan seandainya apa yang Bintang katakan itu benar.
"Bukan, bukan karena itu."
Bintang bergegas melirik kanan dan kiri, memastikan tidak ada siapapun di dekat mereka. Ia lalu mendekatkan diri pada Mentari, sedikit mencondongkan kepalanya di telinga gadis itu.
"Apakah ini tentang Bulan?" bisik Bintang, pelan, tapi bisa menyita seluruh fokus Mentari.
Sedetik kemudian, Mentari merasakan aura yang berbeda di ruang kelas ini. Angin dingin seperti bertiup ke arahnya dan bertabrakan pada wajah manisnya. Dia tahu pasti siapa yang akan hadir disini, tanpa diundang.
"Biasanya kak Alam hanya akan mendiamkanmu karena hal itu. Apakah tebakanku benar?" tanya Bintang dengan hati-hati ketika mendapat respon dari tubuh Mentari yang sudah ia hafal.
Gadis itu menegang dan sedikit tergugup.
"Katakan saja Mentari jika dia benar."
Belum lagi mampu Mentari menguasai fokusnya kembali, ia sudah langsung berfokus pada wajah manusia tampan di hadapannya, matanya membelalak tak percaya jika Bulan bisa hadir dimana saja.
Lirikannya tajam, seakan ingin memangsa Bulan sebagai lalapan. Namun, hal itu justru disambut tawa ringan dari Bulan.
Sejenak ia enggan, apalagi Bintang juga tidak bisa melihat Bulan. Ini bukan kali pertama, tapi jika terus seperti ini bisa saja ia dikira gila.
"Sesuai dengan tebakanmu. Dia memang tidak bicara padaku karena hal itu."
Bukannya mencemooh, Bintang justru tersenyum, senyum yang sama dengan seseorang yang sangat ingin Mentari hindari.
"Maka pulang sekolah nanti, kau hanya cukup meminta maaf saja," ujar Bintang ringan.
"Tidak semudah yang kau ucapkan, Bintang. Aku tidak tahu harus membujuk dia bagaimana lagi kali ini."
"Hal itu mudah!" Bintang menjentikkan jemarinya sembari menunjukkan senyum dengan deretan giginya.
Bintang tampak begitu santai menanggapi hal ini, apakah gadis itu memiliki rencana luar biasa? Mentari tidak bisa bernafas dengan lega, tapi temannya itu begitu percaya diri mampu menyelesaikan masalahnya.
"Bukannya kak Alam suka dengan novel yang bertema sihir itu, 'kan? Kau cukup membelikannya saja, setelah itu berikan dan seluruh persoalan kalian akan selesai."
Apakah ini definisi sakit tak berdarah? Bulan ada diantara mereka, tapi tak sekalipun baik itu Mentari ataupun Bintang melihat ke arahnya. Salahkan saja takdir yang membuat jiwanya seperti terombang-ambing begini.
Pria itu asyik memandangi wajah Mentari, meski gadis itu tak melirik sedikitpun ke arahnya, tapi dia tahu beberapa kali Mentari sempat tersipu karena tatapannya.
Mentari berdehem berulang kali guna menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba saja melanda hatinya, fokusnya terbagi antara mendengarkan Bintang atau melirik kehadiran Bulan.
"Aku sudah membeli 3 buah novel untuk melengkapi miliknya, lalu sekarang harus membeli sebuah lagi? Ayolah, Bintang, harga novelnya menguras keuanganku."
Tidak ada solusi lagi, Bintang hanya mengangkat bahunya, menyerahkan seluruh keputusan pada gadis itu.
"Itu terserah padamu, tapi yang pasti dia tidak akan menolak pemberianmu yang satu itu."
Mentari mencebik kesal, ia tahu itu adalah jalan terbaik, tapi dampaknya sungguh mematikan bagi keuangannya.
"Bukankah sama saja dengan melakukan penyogokan, Mentari? Itu tidak benar," ujar Bulan kembali menyela pembicaraan mereka. Namun, sayangnya itu mendapat tatapan tidak suka dari Mentari.
"Kenapa kau ikut campur?" ujar Mentari, pelan dan begitu ketus.
Bintang yang awalnya hendak beranjak kembali pada kursinya harus tertahan setelah mendengar Mentari bersuara atau lebih tepatnya bergumam.
"Kau mengatakan sesuatu, Mentari?" tanya Bintang yang tampak mulai menaruh curiga.
Mentari merutuki kebodohannya, kenapa ia merespon ucapan Bulan di depan Bintang. Ah, memang dasar gadis ceroboh. Pria bernama Bulan itu saja sudah menghilang tak tahu kemana.
"Apa? Oh, aku tidak mengatakan apapun."
Bintang terheran, dia yakin tadi Mentari bersuara, tapi kenapa kini gadis itu berbohong?

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...