07. Itu Mustahil

1 0 0
                                    

Bulan memutuskan untuk menjelajahi lorong sekolah yang tampak ramai oleh sosok kulit putih pucat. Raut wajahnya menunjukkan kehampaan, dengan cekungan mata yang masuk ke dalam.

Sosok-sosok itu menatapnya dengan tatapan tajam, seakan menyiratkan ketidaksukaan atas kehadirannya disini. Bulan tahu, ini bukanlah lingkungannya, tapi dia juga tidak memiliki niat buruk.

Suasana disini tampak mencekam, terlebih pada beberapa sudut begitu kuat tercium bau anyir dan daging terbakar. Ini pertama kalinya pria itu berani menginjakkan kaki disini. Perlahan tapi pasti, dia terus menelusuri tempat yang amat membuatnya penasaran, hingga akhirnya Bulan mematung tak bergerak tatkala sosok hitam legam dengan mata semerah darah melewatinya.

Anyir dan bau gosong seketika menyeruak. Langkah kaki yang di seret membuat Bulan meringis ngilu mendengarnya, ketika dia tengah sibuk memperhatikan sosok itu, seorang pria dengan kulit tan serta berambut ikal berjalan di hadapannya.

Sekilas memang tidak ada yang mencurigakan, pria itu berjalan santai sembari mendengarkan musik melalui earphone miliknya. Langkah kakinya terus maju, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesekali kepalanya bergoyang mengikuti irama musik, tangannya pun beberapa kali menjentik, tampak sangat menikmati alunan nada.

Namun, setelah kurang dari 2 meter, langkah kaki pria itu berhenti. Menatap penuh curiga pada sekelilingnya, di hadapannya berdiri sosok bertubuh jangkung yang belum pernah ia temui sebelumnya.

"Apa yang sedang kau lakukan disini?" tegur pria itu pada Bulan yang tampak tak menyadari kehadirannya.

Teguran itu membuat Bulan terkejut untuk sesaat, ia melihat kanan dan kiri untuk memastikan siapa yang manusia itu ajak bicara. Setelah tidak ada manusia lain selain pria asing itu, barulah dia yakin bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya.

"Kau bisa melihatku?"

Pertanyaan yang penuh dengan kebingungan, tapi mendapat senyuman miring dari pria itu. Ia dengan mantap maju lebih dekat pada Bulan, memberikan mereka jarak tidak lebih dari 1 meter.

"Aku bahkan bisa merasakan kehadiran semua makhluk disini, sebelum kau ataupun mereka memperlihatkan wujudnya."

Bulan mengerti arah pembicaraan pria ini, berarti pria itu juga mampu melihat sosok kulit putih pucat yang tadi menatapnya.

"Siapa yang membawamu ke lingkungan yang tidak kau kenal ini?"

"Itu bukanlah urusanmu. Apa yang kau inginkan?" tanya Bulan ketika melihat pria itu menatapnya remeh.

"Aku hanya ingin kau pergi menjauh dari sini, ini bukanlah tempatmu. Kau bukan penghuni asli disini, apa kau tidak takut jika suatu saat mereka mencelakaimu?" ujar pria itu, sembari mengarahkan jemarinya pada sekumpulan sosok yang memiliki rambut menggumpal yang tampak begitu kehausan.

"Aku tidak melakukan apapun yang memancing amarah mereka."

"Lalu kenapa arwah penasaran sepertimu berkeliaran di lingkungan yang bukan kawasanmu?" tanya pria itu kembali tak kalah sengit.

"Aku hanya tengah menemani temanku dan aku tidak akan pergi kemanapun!"

Netra mereka saling beradu, menatap sengit satu sama lain. Mengabaikan lambaian tangan yang terlihat seperti hendak menyentuh keduanya.

Sementara itu dari kejauhan, Mentari bisa menyaksikan jika Ken dan Bulan tengah berhadapan. Matilah dia! Susah payah selama ini Mentari menyembunyikan Bulan, tapi kini justru mereka langsung bertemu.

Dia yang awalnya hanya ingin ke toilet, kini harus berurusan dengan salah satu manusia yang ia hindari di sekolah ini.

"Ken!" teriak Mentari yang tampak berlari menghampiri keduanya.

Gadis itu tersenyum sumringah, entah apa penyebabnya. Pria dengan name tag 'Kenan D.' itu menatap curiga sekaligus penasaran pada Mentari.

Awalnya Ken ingin bertanya pada gadis itu, tapi ia bungkam ketika pertanyaannya sudah diwakilkan oleh Bulan.

"Apa yang kau lakukan disini, Mentari?" Bulan reflek menanyakan hal itu dan itu adalah kesalahan yang cukup fatal.

Terlebih dulu Mentari menetralkan nafasnya yang menggebu, berlari menyita pasokan oksigen dalam paru-parunya.

"Aku baru saja dari kamar mandi." Jawaban Mentari adalah hal paling fatal yang dilakukan olehnya hari ini. Gadis itu langsung bungkam setelah menyadari kesalahannya.

Tatapan dari Ken mampu membuat Mentari tak berkutik, pria itu melepaskan earphone yang memang menempel ditelinga kirinya.

"Apa kau bisa melihatnya?"

Nada bicara yang cukup lembut, tapi terdengar penuh intimidasi.

"Melihat siapa maksudmu?" tanya Mentari diiringi tawa yang dipaksakan.

"Arwah penasaran yang berdiri tepat disampingmu."

Mentari tertegun, kenapa sulit sekali menerima kata 'arwah penasaran' disematkan untuk Bulan.

"Apa maksudmu, Ken? Dia bahkan belum tiada."

"Jadi kau bisa melihatnya? Kau pintar menyembunyikannya selama ini." Pria itu kembali menatap Bulan. "Kenapa kau begitu keras kepala ingin menunjukkan diri pada Mentari?"

"Aku bahkan tidak tahu kenapa Mentari bisa melihatku. Aku tidak mengeluarkan energi sebesar yang kau fikirkan," ujar Bulan membela diri. Apapun yang pria itu katakan, sama sekali tidak benar, ia bahkan tidak tahu mengapa itu bisa terjadi.

"Bukankah itu aneh? Jika Mentari bisa melihatmu, kenapa dia tidak bisa melihat mereka yang menghuni tempat ini?" Lagi, Ken tampak tersenyum remeh dengan sunggingan miring di sudut bibirnya.

Perdebatan kedua pria berbeda dimensi itu membuat Mentari pening. Mereka siapa yang Ken maksud?

"Menjauhlah darinya, Mentari."

"Kau yang harus menjauh dariku, Ken! Jangan pernah mendekati aku atau Bulan lagi!" sentak Mentari penuh peringatan.

Gadis itu langsung berbalik meninggalkan lorong sekolah, tapi baru saja beberapa langkah, kalimat Ken menghentikannya.

"Apakah kau tidak ingin kembali pada tubuhmu? Waktumu tidak banyak tersisa."

Sontak perkataan itu membuat tubuh Mentari menegang, Bulan tampak biasa saja, tapi manik mata itu juga menyiratkan hal yang saat ini Mentari rasakan.

Mentari menatap Ken dengan penuh amarah, emosinya meluap mendengar ucapan yang terlontar dari bibir pria itu.

"Hentikan omong kosongmu itu! Bulan, pergilah dari sini!"

Rupanya, bentakan itu tak membuat Bulan bergeming. Pria itu masih terpaku disana, entah apa yang ia pikirkan, tapi hal itu sungguh menyulut emosi Mentari yang sudah tak tertahankan.

"Bulan, aku bilang pergi dari sini! Ken, berhentilah menjadi cenayang!"

"Aku memang-"

"Persetan dengan kalian berdua!"

Teriakan itu menjadi akhir dari kekesalan Mentari, gadis itu berlalu mengabaikan Bulan dan Ken.

"Kau bilang sisa hidupku tidak banyak, 'kan? Maka simpan saja informasi itu untukmu sendiri."

"Kenapa kau begitu keras kepala? Jika kau tidak segera kembali pada ragamu, maka kesempatan hidupmu akan menghilang."

"Tidak ada makhluk manapun yang mampu merubah hidup mati seseorang, oleh karena itu aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersama Mentari. Belum tentu jika aku hidup kembali bisa bersama dengannya lagi, kemungkinan terbesar adalah aku akan tiada tanpa bisa melihat dia untuk terakhir kali."

Bulan menghilang, hanya menyisakan kabut tipis yang kemudian lenyap tak bersisa. Ken tersenyum tipis, lalu meninggalkan lorong yang dipenuhi dengan lalu lalang makhluk tak kasat mata.

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang