Gemercik hujan terdengar saling bersahutan, seperti sebuah alunan melodi yang terdengar merdu di pendengaran. Mengalir begitu saja tanpa sebuah peringatan, hingga manusia yang tengah beraktivitas diluarpun harus rela basah tanpa membawa persiapan.
Mentari berdecak sebal, seharusnya pagi ini menjadi hari libur yang menyenangkan. Menikmati cahaya matahari yang menyengat kulit atau setidaknya menghabiskan sedikit waktu berbincang dengan tanaman. Namun, hal yang terjadi sungguh berada di luar dugaan. Mentari malah harus berada di rumah sendirian. Berteman dengan rintik hujan. Menunggu gemuruh saling bersahutan, hingga menimbulkan perasaan yang tak nyaman.
Gadis itu berjalan kesana kemari. Menghitung waktu yang seakan terhenti. Tak tahu apa yang menimbulkan rasa gelisah di hati, tapi Mentari yakin ada suatu hal besar tengah menanti.
Udara dingin yang kian menusuk, membuat Mentari memilih untuk duduk.
Rumah mereka bukanlah sebuah rumah mewah, tapi cukup untuk membuat Mentari merasa resah. Gadis itu sungguh merasa takut sendirian di rumah, ditambah perasaannya kian gelisah.
Keheningan yang tak pernah Mentari sukai, suara asing di luar sana seakan bersiap untuk melukai siapa saja yang di temui. Mentari takut, bukan karena suara asing yang saling bersahutan, tapi pada petir yang bisa saja datang membentak tanpa alasan.
Beberapa saat yang lalu Alam berpamitan, ingin pergi ke minimarket membeli perlengkapan mingguan. Sayang, keputusan pria itu justru akan membuatnya diguyur hujan dan kemungkinan besar akan kembali dengan tubuh menggigil kedinginan.
Tubuh Mentari bergetar, ketika petir kembali menyambar dengan suara menggelegar. Kaki gadis itu tak mampu melangkah, sendi-sendi pada tubuhnya seketika melemah.
Atensi gadis itu teralih, tatkala melihat seseorang mengenakan pakaian putih tengah berdiri menatapnya tanpa ekspresi. Lelaki itu adalah Bulan, pria yang selalu menjadi teman dalam setiap keheningan. Bahkan, saat ini pun hal itu tetap dia lakukan. Menghibur Mentari agar tak lagi merasa ketakutan.
Namun, kali ini Bulan memancarkan aura yang menakutkan. Dimana, itu membuat Mentari bergidik tak nyaman. Tatapan lelaki itu tak teralihkan, seakan mengamati setiap gerak gerik yang Mentari lakukan. Tatapan kosong itu terasa sangat mengerikan, mengingatkan Mentari pada seringai yang pernah ia dapatkan.
Ah, sungguh memori yang menakutkan untuk kembali di kenang.
“Bulan?” gumam Mentari tak nyaman.
Manik mata mereka saling memandang, Bulan memberikan energi yang ingin sekali Mentari singkirkan. Rasa takut yang berlebihan, membuat gadis itu mengigil kedinginan, padahal ia tengah berada di dalam ruangan. Jauh sekali dari jangkauan rintik hujan.
Damn! Jantung Mentari berdebar tak karuan, kakinya terasa tertanam dan sangat sulit untuk digerakkan. Tak mampu bergerak, apalagi jatuh terduduk.
Seringai yang awalnya Bulan tunjukkan, kini sirna berganti dengan tatapan berbinar tatkala mendapat santapan. Lelaki itu menatap Mentari layaknya sebuah makanan yang sudah dihidangkan untuk segera dihabiskan.
“Bulan!” teriak Mentari ketika tak lagi tahan dengan tatapan yang Bulan berikan. Menggema mengalahkan rintik hujan. Bahkan, teriakan itu berhasil membangkitkan kepercayaan diri yang semula hilang.
Dia kesal, emosi, Bulan terlalu membuatnya ketakutan.
“Ada apa?”
Teriakan Mentari kembali menggema, memenuhi indra pendengaran siapa saja. Untunglah Bulan sudah terbiasa, bila tidak maka belum tentu ia bisa bersikap santai seolah tak mendengar apa-apa.
Lain halnya dengan Mentari, detak jantung gadis itu berpacu lebih cepat seribu kali. Tatkala melihat Bulan sudah berpindah posisi. Pandangannya terus beredar kesana kemari, memperhatikan setiap sudut yang membuat lelaki itu mengernyit tak mengerti.
Manik mata Mentari lekas menelisik ke arah taman, tempat dimana beberapa detik lalu ia melihat Bulan tengah berdiri di bawah hujan. Berulang kali gadis itu memastikan, tapi memang kini hanya tinggal hamparan bunga yang memenuhi taman.
Tatapan Bulan pun terasa berbeda 360° dari sebelumnya, aura yang mampu membuat gadis itu lemah tak berdaya kini seakan sirna. Lelaki itu kembali memberikannya ketenangan, mengusir gundah gulana yang beberapa saat lalu ia rasakan.
Bulan tak mengerti, tapi ia tahu ada suatu hal aneh yang terjadi.
Ditengah dinginnya suhu udara, kening Mentari justru terlihat seperti seseorang yang baru saja selesai berolahraga. Pandangan Mentari terkesan gelisah, menimbulkan banyak pertanyaan yang ingin sekali Bulan ajukan.
“Apa yang kau cari, Mentari?” tanya Bulan, ketika yakin jika Mentari sudah merasa lebih baikan.
Setelah beberapa saat Mentari terlihat seperti orang kebingungan, ia kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Bulan menatapnya penuh tanya dan keheranan.
“Bukannya kau baru saja berada disana?”
Telunjuk gadis itu mengarah pada taman. Tanah kosong yang bahkan belum pernah disentuh oleh Bulan.
“Dimana maksudmu?”
Pertanyaan yang Bulan lontarkan, justru semakin membuat Mentari kembali dilanda kebingungan. Ia tak bisa membedakan, mana ilusi dan kenyataan. Semua seakan menyatu dan tak bisa dipisahkan.
“Bukankah, kau tengah berdiri di taman, Bulan? Kau terus menatapku seperti sebuah santapan, tatapan yang membuatku merasa sangat tidak nyaman.”
Bulan tertegun, Mentari bukanlah tipe gadis yang menyukai kebohongan. Hanya ada satu kemungkinan dan itu adalah hal yang paling lelaki itu takutkan.
“Sepertinya, mereka mulai menampakkan diri,” gumam Bulan yang terdengar sangat jelas di telinga Mentari.
Gadis itu meneguk liurnya susah payah. Suaranya tercekat seakan tertahan di kerongkongan dan tubuhnya seketika lemah.
“Apa maksud dari perkataanmu, Bulan?”
“Kau tidak melihat siswi yang merayap di lorong sekolah bukan?”
Mentari mencoba mengingat kejadian dalam beberapa hari ini, tapi dia yakin tidak ada hal aneh yang terjadi.
Baru saja wajah lega Bulan tunjukkan, lelaki itu sudah dikejutkan dengan sebuah sentakan yang Mentari berikan. Mentari mengatakan mengingat suatu kejadian yang terasa memiliki kejanggalan.
“Siswi dengan rambut pendek sebahu, dimana terdapat beberapa bercak darah pada punggungnya?”
Deskripsi yang Mentari katakan mendapat jawaban sebuah anggukan dari Bulan. Sirna sudah kehidupan Mentari yang tentram.
“Kau melihatnya?” Intonasi berbicara Bulan seketika berubah, merasa was-was tentu saja.
“Dia hanya menatapku. Seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu, sebelum akhirnya gadis itu berlalu.”
Raut kecemasan jelas terpancar dari wajah Bulan, apalagi ketika melihat Mentari sudah pucat pasi, menceritakan kejadian yang sesungguhnya tidak pernah diharapkan untuk terjadi.
Ini adalah sebuah kesalahan, semua harus segera dia hentikan. Meski nanti lelaki itu akan menuai perpisahan yang menyakitkan. Keselamatan Mentari adahal prioritas terpenting bagi kehidupan Bulan.
Lelaki itu tidak akan membiarkan Mentari celaka. Apalagi, itu karena ulahnya yang masih bersikeras menemani gadis pujaan hatinya. Sebelum semua diluar kendali, Bulan harus bisa menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
“Kehadiranku membahayakanmu. Mereka bisa saja menganggu, apalagi aku tidak mampu menghalau perbuatan mereka yang bisa saja mencelakaimu.”
Penjelasan Bulan membuat Mentari tertegun. Situasi dan kondisi kian tak berpihak pada mereka, gadis itu merasa kebersamaan ini tak lagi bertahan lama.

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...