Kaki pendek itu terus berjalan tak tentu arah, tangannya ia masukkan ke dalam kantong hoodie guna memberikannya kehangatan. Malam ini, bulan seakan bersembunyi, menutup diri pada manusia.
Bintang pun tak tampak bertabur dilangit, entah karena cuaca sedang tidak mendukung atau mereka memang sengaja menyembunyikan diri. Satu yang pasti, hembusan angin malam sesekali menemani keheningan.
Mentari tak bisa tidur, entah apa penyebabnya. Gadis itu justru memilih berjalan-jalan keluar rumah, tidak tahu sudah berapa jauh ia melangkah, tapi suara lalu lalang kendaraan di kejauhan masih terdengar di telinga.
Tidak, dia sama sekali tak merasakan takut apalagi setelah pertemuannya dengan Bulan beberapa tahun silam, rasa takutnya perlahan berkurang.
Sementara, seseorang yang tak menapak senantiasa berada di sampingnya. Terdiam seribu bahasa, semilir angin malam dan beberapa suara jangkrik meramaikan kesunyian kala itu.
"Apa yang tengah kau fikirkan?" ujar Bulan pada akhirnya setelah Mentari berhenti di depan sebuah lampu taman.
Mentari mendudukkan diri di sebuah tanah berumput, gadis itu kalut dalam pikirannya sendiri, tanpa membiarkan Bulan tahu apa yang sedang ia rasakan.
"Ini tentang kak Angkasa," lirih Mentari.
Bulan mencoba mengingat nama yang tidak asing terdengar ditelinganya. Ada beberapa ingatan yang tidak jelas tentang itu dan salah satunya adalah ingatan ketika Mentari mengenalkan pria bernama Angkasa itu melalui sebuah bingkai foto.
"Pria yang pernah kau ceritakan itu?"
Gadis itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Bulan.
"Entah mengapa aku tiba-tiba teringat pada hari dimana kak Angkasa mengalami kecelakaan," ujar Mentari sembari sesekali memandang langit luas.
"Semua itu bukan salahmu, 'kan?"
Sontak Mentari terkejut mendengar hal itu, sebenarnya apa maksud dari pertanyaan Bulan barusan? Apakah dia curiga jika Mentari yang menyebabkan itu semua terjadi?
"Tentu saja bukan! Apa kau bercanda? Bahkan aku mengenal kak Angkasa karena ia sering bermain PlayStation bersama bang Alam, tidak lebih," ketus Mentari, dia yang awalnya hanya gelisah kini justru dibuat kesal.
"Lalu apa yang membuatmu kini gelisah?"
Gadis itu tampak melunak, dia menatap Bulan dengan sorot mata yang penuh dengan harapan. Sorot mata yang sama tatkala gadis itu berharap bahwa ia bisa kembali pada raganya.
"Apakah Tuhan akan memberikan kak Angkasa kesembuhan?"
Bulan seharusnya sudah tahu sejak awal, bahwa apa yang Mentari tanyakan dengan sorot mata seperti itu pasti tak bisa ia jawab.
"Aku tidak tahu, Mentari. Hanya Dia sang Pencipta alam yang mengetahui apa yang akan terjadi."
Mendengar jawaban Bulan yang tidak memuaskan, gadis itu kembali lesu. Setiap harapannya terasa seperti angan-angan belaka.
"Aku sangat berharap ia bisa diberikan kesempatan hidup kedua. Dari yang aku ketahui selama ini, Bang Alam dan teman-temannya sangat menyayangi kak Angkasa, mereka benar-benar teman kental."
Mata gadis itu terpejam dengan erat bersamaan dengan ritme nafasnya yang tidak beraturan. Seakan terlalu sesak dan begitu besar apa yang telah ia pendam. Kepala Mentari mendongak ke atas, mengingat serpihan memori kelam yang tak bisa dilupakan.
Tepat ketika mata Mentari terbuka, gadis itu langsung menghirup udara dengan rakus, seakan-akan barusan saja dia berlari ratusan meter jauhnya. Keningnya berkeringat ditengah dinginnya malam.
"Aku menyaksikan sendiri, bagaimana mobil itu menghantam kak Angkasa hingga membuat tubuhnya terpental dan membuatnya mendarat dengan keras."
Bulan tidak tahu tentang ini, Mentari belum pernah menceritakan hal ini padanya. Meski disisi lain ia tampak menyimak dengan baik, tapi dilain sisi pula dia mengerti, gadis itu memiliki ketakutan yang tak pernah dia ketahui selama ini.
"Aku masih ingat dengan jelas noda darah yang menggenang karena peristiwa itu."
Wajah Mentari seketika pucat pasi, kenangan buruk itu telah ia kubur dalam-dalam, tapi malam ini semua kembali terkuak. Gadis itu terduduk lemah, terlihat tak berdaya. Pandangannya kosong ke depan, wajahnya yang tadi pucat pasi kini memancarkan kesedihan.
Kening itu berkerut dan kedua alisnya saling bertaut, hembusan angin malam tak membuat Mentari menggigil kedinginan.
"Mentari, semua sudah terjadi. Lagipula bukankah kau mengatakan, sang sopir sudah dipenjara?"
Mentari langsung menatap Bulan penuh emosi, entah apa yang terjadi padanya malam ini. Akan tetapi, mendengar perkataan pria itu barusan, membuat emosinya tak tertahankan untuk diluapkan.
"Tapi apa itu setimpal? Kak Angkasa saat ini sekarat di rumah sakit, Bulan! Dia sekarat! Dia hampir tiada tepat dihadapanku!" Jari telunjuk Mentari mengarah pada dirinya.
Mentari bangkit dari duduknya,
"Aku bahkan tidak bisa berbuat apapun waktu itu selain menunggu Ambulance datang, kak Angkasa tengah sekarat dan mereka malah menjadikannya sebuah tontonan!" teriak Mentari penuh emosi.
Gadis itu mengamuk, ia menunjuk" dirinya sendiri sebelum akhirnya terisak. Sakit, dia tak begitu mengenal Angkasa, tapi mengapa beberapa tahun belakangan hatinya seakan tertusuk ketika mengingat kejadian itu.
"Apa salah kak Angkasa? Mereka bukannya menolong untuk segera mencari pertolongan, malah meraih ponsel dan memvideokan kejadian itu. Dimana akal sehat dan hati nurani mereka?" ujar Mentari, mempertanyakan hal yang tentu tidak Bulan ketahui jawabannya.
Gadis itu kemudian mengeluarkan ponsel yang disimpan dalam saku hoodienya dan kembali bersuara lantang. Seakan-akan orang yang waktu itu tengah bergerumul ada di hadapannya.
"Setelah kejadian itu aku tidak menyentuh ponselku selama beberapa bulan karena video kak Angkasa dengan genangan darah beredar luas di sosial media. Apakah mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan keluarga kak Angkasa?"
Setelah berteriak tak karuan, suara Mentari kembali terdengar lirih, dia tengah terisak. Hal ini jarang sekali Bulan saksikan, begitu banyak waktu yang mereka habiskan dan baru kali ini gadis itu menangis hingga terisak-isak.
Ada rasa lega setelah mengungkapkan semua itu, tapi Mentari kian merasakan sesak yang semakin menjadi tatkala mengingat itu semua. Bagaimana para warga berbondong-bondong hanya untuk melihat Angkasa yang tergeletak tak berdaya.
Rasanya, Bulan ingin menarik Mentari dalam pelukannya, menenangkan gadis itu yang kini dikuasai amarah, tapi apalah daya jika menyentuh Mentari saja dia tak bisa.
"Mari kita pulang, sepertinya kamu membutuhkan istirahat."
Kedua insan itu akhirnya hilang tenggelam dalam kegelapan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Novela JuvenilKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...