03. Sebuah Kenangan

5 0 0
                                        

Alam sepertinya tampak kesal karena Mentari terus-terusan menatap layar laptopnya. Rupanya gadis itu tengah memainkan sebuah permainan, hingga membuatnya mengacuhkan Alam.

Alam yang semula hanya berdiri di depan pintu pun akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar adik perempuannya. Tidak memalukan, hanya saja terasa cukup canggung, terlebih mereka hanya tinggal berdua di rumah.

Langkahnya kian mendekat, meski tentu setiap langkah itu terasa berat.

“Apa yang membuatmu berteriak tadi?”

Mentari mendengar pertanyaan yang terkesan kaku itu, tapi gadis itu masih diam hingga deheman Alam membuatnya bersuara.

“Bukan apa-apa, Kak.”

Tanpa aba-aba, pria itu langsung menggenggam erat tangan Mentari yang asik dengan mouse-nya. Sungguh adiknya tidak sopan, bagaimana bisa gadis itu tidak menatap matanya ketika sedang berbicara?

Lengan Alam yang memang jauh lebih besar dari milik Mentari membuat pergerakan gadis itu cukup sulit. Sekuat apapun gadis itu memberontak, tetap tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman abangnya.

“Jangan berbohong, Mentari. Aku ini kakakmu, bukan orang asing,” ujar Alam setelah melepaskan cengkramannya pada tangan Mentari.

Bibir mungil itu mengerucut, hampir saja Mentari menangis diperlakukan seperti itu. Gadis itu meniup tangannya seakan-akan terdapat sebuah luka.

“Ada kecoa yang terbang disaat aku sedang membereskan buku pelajaranku tadi, jadi tanpa sadar aku berteriak,” elak Mentari. Dia harus berbohong atau Alam akan membawanya ke psikiater, lagi.

“Besok pagi, aku ingin kau bangun lebih awal.”

“Memangnya ada apa?”

Alam menghembuskan nafas kasar, seperti hendak membuang seluruh rasa kesal yang menyelimuti hatinya. Menghadapi Mentari memang membutuhkan kesabaran ekstra dan itu cukup membuat pria itu kesulitan karena bagaimanapun dia tetap manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran.

“Aku ingin menjenguk temanku, aku harap kau tidak melupakan hal itu. Jadi aku akan mengantarmu dahulu, baru setelahnya aku pergi ke rumah sakit.”

Yash, Mentari baru ingat jika kakaknya itu acap kali mengunjungi rumah sakit untuk melihat keadaan salah satu teman dekatnya.

Gadis itu rupanya tampak tertarik dengan pembahasan mereka, ia memilih untuk menutup laptopnya dan berfokus pada sang kakak.

“Aku ingat, teman kakak yang maaf, kabarnya mati otak itu?”

Ia terkejut ketika Alam mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Ekspresi Mentari tentu saja seperti orang yang tak percaya, bagaimana bisa? Bagaimana itu mungkin?

“Bukannya ini sudah hampir 4 tahun? Mereka masih memutuskan untuk merawatnya?”

“3 tahun lalu pihak rumah sakit mengatakan bahwa dia mengalami koma, lalu aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba saja justru dia mengalami mati otak,” jelas Alam, sepertinya pria itu mulai bosan menjawab pertanyaan Mentari yang tiada habisnya.

“Aku penasaran dengan kondisi Kak Angkasa, besok bolehkah aku ikut?” pinta Mentari dengan mata berkaca-kaca.

Gadis itu meraih bantal dan segera meletakkannya dalam pangkuan. Menumpukan kedua tangannya pada bantal tersebut, lalu kemudian menopang dagunya. Rupanya Mentari mencoba melakukan aegyo.

“Apa yang membuatmu penasaran? Kau bahkan tidak bisa melihat wajahnya.”

“Perbannya masih belum dibuka?”

“Sudah, tapi pihak keluarga mengatakan lebih baik perban diwajahnya tetap dipertahankan. Seperti yang kau tahu, Angkasa kehilangan satu bola matanya..”

Gadis itu terperangah, apakah akibatnya seburuk itu? Dia masih merekam dengan jelas kecelakaan yang tepat berada di hadapannya. Mentari meneguk ludah susah payah,  untuk sejenak dia tertegun, memutar kembali kejadian pada waktu itu.

Lamunannya buyar ketika Alam menyenggol bahunya, kesadarannya pulih dan kembali melanjutkan obrolan ringan bersama sang kakak.

“Kecelakaan yang kak Angkasa alami ramai diperbincangkan di sekolah, aku masih ingat betul stasiun televisi pun menayangkan berita yang sama,” tutur Mentari sembari mengingat serpihan memori yang kini bermunculan.

“Cukup disayangkan memang, seharusnya jika kecelakaan itu tidak terjadi kami bisa merayakan kelulusan bersama.” Raut kesedihan tampak jelas pada wajah pria yang usianya terpaut dua tahun dari Mentari.

Mentari pun merasakan hal yang sama, dia menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana tubuh Angkasa melambung tinggi dan terlempar cukup jauh, hingga akhirnya raga itu tersungkur mendarat dengan kasar pada permukaan aspal.

“Kakak jangan pernah memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi lagi. Rasanya seperti ingin bertemu dengan Tuhan,” ucap Mentari, mengeluhkan bagaimana cara sang kakak mengendarai sepeda motor.

“Kau ini, mana mungkin aku membiarkan adik kecilku menemui Tuhan di usia yang masih begitu muda?”

Mentari bungkam sesaat, gadis itu menimang-nimang pertanyaan yang akan kembali ia ajukan, maju mundur dan terasa cukup berat untuk sekadar diucapkan.

“Apa Langit juga sering berkunjung?” tanya Mentari dengan sedikit berhati-hati, takut bila pertanyaan itu malah menimbulkan persepsi lain.

Alam tampak sedikit terkejut, terlihat jelas dari ekspresinya yang langsung berubah ketika Mentari melontarkan pertanyaannya. “Tentu, kami berempat itu teman kental, mana mungkin kami melupakan Angkasa.”

Mendapat jawaban seperti itu, Mentari hanya menganggukkan kepalanya, tak tahu harus lanjut membahas hal ini atau tidak. Rupanya, kegelisahan itu disadari oleh Alam, pria itu menelisik guna mendapat jawaban dari keterkejutannya.

“Ada apa? Hari ini tumben menanyakan tentang Langit, tidak biasanya,” goda Alam yang malah dibalas acuhan oleh Mentari.

“Aku hanya ingin tahu, bukankah dia sudah beda kota dengan kita. Siapa tahu dengan begitu kesibukannya justru semakin padat,” elak Mentari, sekenanya.

Mungkinkah gadis itu gengsi untuk mengakuinya?

“Aku fikir tadi kau merindukannya karena itulah kau bertanya.”

“Tidak akan, mana mungkin aku merindukan manusia sepertinya.” Mentari menjawab ketus dan Alam mengerti serta menyadari hal itu.

Kali ini, Alam tampak tersenyum lembut, dia mengusap kepala adiknya sayang. Gadis itu cepat sekali marah dan sulit untuk dibujuk. Padahal sebelum Langit pindah, dia sudah berulang kali berusaha untuk menemui Mentari, tapi gadis itu acap kali mengindar.

“Dia orang baik, Mentari. Apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman. Aku yakin dia juga menyesal. Jangan membencinya terlalu lama, Abang tahu jika sebelum semua itu kalian adalah teman dekat.”

Alam sungguh berharap bahwa hubungan Angkasa dan Mentari bisa secepatnya membaik, tapi sepertinya hal itu tidak semudah yang ia pikirkan. Mentari bukanlah gadis yang dapat dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain, terlebih hal itu sudah mempermalukannya.

Gadis itu tetap bungkam. Alam pun pasrah, sudah ribuan kali ia membujuk Mentari, tapi tetap tidak menuai hasil yang baik. Lagi dan lagi, Mentari terus menghindari topik pembicaraan yang berkaitan dengan Langit, tidak ada yang tahu sebesar apa kekesalan yang ia pendam selama ini. Satu hal yang pasti, Alam sungguh merindukan kebersamaan mereka seperti yang sering terjadi dahulu.

“Dia juga merindukanmu dan Kakak yakin itu.”

Alam memutuskan untuk meninggalkan Mentari di dalam kamarnya. Gadis itu sepertinya harus merenungkan perkataannya barusan, bagaimanapun Angkasa adalah teman dekat adiknya. Bukankah tidak seharusnya dia membenci pria itu?

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang