16. Teka teki

0 0 0
                                    

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Mentari?”

Alam mendudukkan dirinya pada pinggir kasur, sementara Mentari berbaring menatap langit-langit kamar. Ada rasa khawatir yang tak bisa ia utarakan. Belakangan, terjadi hal-hal aneh yang cukup menyita perhatian.

“Mentari tidak ingat dengan pasti, pagi tadi hanya berencana untuk berjalan santai. Akan tetapi ....”

Ucapan Mentari tergantung, seakan ingatannya tentang kejadian itu menguap di udara. Gadis itu terdiam, sementara matanya mengerjap kosong. Berusaha mengumpulkan ingatan gelap itu pun percuma. Jangankan potongan-potongan yang berharap bisa di sambungkan, secuil ingatan pun seakan tak terekam.

“Ada apa Mentari?” ujar Alam harap-harap cemas.

Senyuman manis Mentari berikan pada Alam, lalu berkata, “aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.”

Ternyata karena itu. Gadis itu hampir saja membuat Alam jantungan. Ia menghembuskan nafas kasar, kemudian mengusap pucuk kepala Mentari lembut nan penuh kasih sayang.

“Kau tenggelam di danau, Langit menyelamatkanmu. Dia terjun ke dalam danau untuk menggapaimu," ujar Alam.

Ekspresi Mentari sulit di jelaskan. Ia merasa seperti ada di ambang antara percaya atau tidak akan ucapan sang kakak. Jika penjelasan kakaknya memang benar, darimana Langit mengetahui dia disana? Sedangkan, jelas-jelas ia berjalan sendirian. Bahkan, kehadiran Bulan pun tak di rasakan.

“Langit? tidak mungkin.” Mentari mencebik tak percaya. Tentu saja, sampai kapanpun ia tidak akan percaya bila Langit rela berkorban nyawa hanya untuk menyelamatkannya. Dia merasa sangat mengenal karakter pria itu. Egonya cukup besar.

“Kau bisa menanyakannya pada Genta jika tidak percaya. Dia ada disana bersama kalian.”

Hening melanda seketika, Mentari enggan percaya, tapi jika ada saksi mata, apakah semua memang kebohongan belaka?

Semua hal yang Mentari fikirkan menjadi satu, entah itu teror yang terjadi hari lalu, atau kejadian hari ini yang bahkan terlihat abu-abu.

“Mentari, apakah semua baik-baik saja? Aku merasa cemas yang tak pasti akhir-akhir ini.”

Memang dari suara Alam, terdapat rasa cemas berkepanjangan disana. Mentari ingin berkilah, tapi dia juga merasakannya. Seperti ada hal buruk yang mungkin saja akan menimpa.

“Kak Alam juga merasakan hal yang sama?”

Alam mengangguk, jujur saja belakangan ini ia merasa sangat resah. “Apakah kau merasa ada yang aneh belakangan ini?”

“Maksud kak Alam apa?”

“Entahlah, aku merasa ... ada yang sedang mengawasi kita.”

“Aku tidak mengerti.”

“Apakah kau ingat saat aku pulang membeli perlengkapan mingguan waktu itu?”

Ingatannya kembali pada masa itu. Dimana kilat dan petir menyambar menjadi satu. Membuat bibir Mentari terasa kelu dan tubuhnya kaku seakan terpaku.

“Aku melihat ada seseorang yang tengah mengawasi rumah kita. Awalnya, aku merasa ragu, tapi begitu mendekat maka akan terlihat jelas jika dia memang tengah mengawasi rumah ini.”

Alam tercekat oleh perkataannya sendiri. Mengingat hal itu kembali membawa perasaan aneh tersendiri. Seperti ada hal salah yang harus segera mereka perbaiki, agar tak menimbulkan efek jangka panjang di kemudian hari. Namun, keduanya tak mengerti apa dari rasa resah ini.

“Apakah kakak melihat wajahnya? Barangkali mengenalinya. Siapa tahu, dengan begitu kita bisa menemukan orang mencurigakan itu.”

“Dia teman seangkatanmu, aku sempat berpapasan dengannya beberapa kali. Terlalu sering untuk di sebut sebuah kebetulan.”

Mentari menerka-nerka, kira-kira siapa orang yang di sebutkan oleh Alam? Sejauh ini, ia bahkan tidak memiliki teman yang sedekat itu di sekolah. Jika adapun, Mentari tidak akan sembarangan memberikan informasi terkait alamat rumahnya.

“Ada sedikit bekas jahitan di alis kirinya,” ujar Alam, melanjutkan perkataannya.

Kalimat Alam seakan memperjelas memori ingatanya. Tentu saja Mentari tahu siapa dia!

“Kenzy ... Tidak salah lagi, itu pasti Ken! Akan tetapi, untuk apa ia mengawasi rumah kita?”

Bimbang dan sedikit rasa takut menelusup. Tentu saja, dia hanya pernah sedekat itu dengan Kenzy. Pria yang tempo hari selalu mengajaknya berangkat bersama dahulu. Akan tetapi, untuk apa dia mengawasi rumah Mentari? Apakah ada suatu kesalahan yang keluarga mereka perbuat?

“Kau mengenalnya Mentari?” Raut wajah Alam nampak kebingungan. Bagaimana mungkin, Mentari mengenal pria misterius itu?

“Iya, kita pernah berteman sewaktu sekolah dasar, tapi kemudian dia pindah dan entahlah .... Dia kembali ... terlihat seperti orang asing. Seperti ada yang berubah ...,” ujar Mentari tak yakin dengan apa yang ia fikirkan.

Kenzy memang banyak berubah, lesung pipi yang dahulu menghias pipi kiri pria itu, kini tak lagi ada disana. Bahkan, gigi gingsul yang amat sangat Mentari sukai pun tak lagi terlihat. Apakah, Kenzy memang sudah merubah penampilannya?

“Aku hanya ingin kau selalu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada orang asing yang tak begitu kau kenal.”

Satu pesan dari Alam seakan menyadarkan Mentari pada kenyataan. Jika benar selama ini Kenzy mengawasi mereka, apa alasan di balik itu? Bukankah, sebelum berpisah mereka sama sekali tak terlibat konflik apapun?

“Aku harus menemui Kenzy. Bagaimanapun, aku harus menanyakan maksud dan tujuannya mengintai rumah kita. Mentari tidak ingin hal buruk terjadi.”

“Lakukanlah apa yang menurutmu benar selagi itu tidak membahayakanmu, Mentari. Hari ini beristirahatlah, aku akan membuatkanmu bubur untuk makan hari ini.”

Mentari mencekal pergelangan tangan Alam ketika pria itu hendak pergi meninggalkannya. Terpancar gurat keraguan di wajah sang adik.

Alam kembali mendekat dan memberi kode seakan bertanya apa yang membuat Mentari menahannya.

“Oh, iya ... Apakah besok Mentari bisa menemui Langit?”

Hampir saja tawa keluar dari bibir Alam. Tadinya, ia sudah berpikir ada hal yang teramat penting, ternyata hanya seputar izin untuk menemui Langit.

“Untuk apa meminta izinku. Bertemu dengannya itu adalah hakmu, Mentari,” ujar Alam menegaskan hal itu pada sang adik.

“Maksud Mentari, apakah Langit belum akan pulang ke kotanya?”

“Dia akan menetap beberapa hari ke depan. Mungkin sekitar dua minggu lagi baru akan pulang. Ada hal yang belum tuntas disini.”

Mentari tampak menghela nafas, dia masih punya waktu. Jadi, sebaiknya tidak usah terlalu terburu-buru.

“Baiklah, itu artinya aku tidak perlu menemuinya besok. Masih ada hari lain.”

“Bukannya lebih cepat, itu lebih baik”

Baru saja Mentari tersenyum riang, perkataan Alam seakan merobohkan senyumannya. Pria itu, selalu saja membela Langit daripada dirinya. Entah ikatan apa yang mereka miliki, tetapi Alam memang sangat percaya kepada para sahabatnya.

“Kakak terdengar cukup bersemangat ya begitu tahu aku ingin menemui Langit,” cibir Mentari yang hanya di jawab kekehan dari Alam.

“Tentu tidak, baiklah aku akan keluar, berisitirahatlah.”

Senyum cerah tersungging di bibir Mentari. Alam benar, lebih cepat dia menemui Langit, maka tentu akan lebih baik untuknya. Mungkin pertemuan ini akan menjadi titik terang dalam perselisihan bertahun mereka.

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang