02. Debaran Hati

6 0 0
                                        

Bulan dan Mentari, keduanya duduk bersandar pada dashboard kasur. Lebih tepatnya hanya Mentari yang benar-benar bersandar, sedangkan Bulan hanya menatap gadis itu dan layar ponselnya secara bergantian.

“Cerita apa itu?”

Sebenarnya dia enggan bersuara, apalagi melihat Mentari yang begitu fokus mengasah pikirannya. Jemari mungil gadis itu bergerak lincah mengetik papan keyboard yang kemudian menjadi sebuah kosa kata.

Manik mata Mentari bahkan terfokus sepenuhnya pada layar ponsel tersebut, mengabaikan Bulan yang duduk memandanginya. Ekor mata gadis itu melirik sebelum akhirnya menatap Bulan beberapa saat.

“Maksudmu cerita yang sedang ku tulis saat ini?” ujar Mentari, gadis itu menunjukkan layar ponselnya secara penuh kepada Bulan, membuat pria itu leluasa melihatnya.

Setelah mendapat anggukan dari Bulan, Mentari menarik kembali ponselnya dan melanjutkan kegiatannya. “Ini cerita baruku,” jawab Mentari tanpa mengalihkan fokusnya.

Bulan mengernyit, dari yang ia ketahui Mentari masih berhutang banyak kisah padanya. Belum lagi semua usai, gadis itu sudah membuka kisah baru untuk di jelajahi.

“Bukannya banyak ceritamu yang belum selesai?”

Suara Bulan terlampau lembut, hingga terkadang membuat Mentari gemasnya bukan main. Memang dasar pria yang sulit untuk di taklukkan.

“Otakku sedang berada pada cerita ini, jadi aku menulisnya,” ujar Mentari, berusaha menahan rasa gemas yang tengah membumbung tinggi.

“Kenapa susah sekali untukmu setia?”

Mentari mematikan layar ponselnya dan meletakkan benda pipih itu begitu saja. Kalimat Bulan barusan membuat rasa gemas itu sirna, ia merasa sedikit tersinggung. Tidak setia katanya?

“Aku setia! Buktinya saja aku tidak mencari kekasih atau pun teman dekat pria selain dirimu.”

“Lalu, kau tidak menganggap Langit sebagai teman dekatmu?”

Ah, pria jangkung itu. Kenapa Bulan suka sekali mengingatkan Mentari pada pria itu, padahal ia tahu bahwa Mentari tak lagi ingin berteman dengan Langit.

“Kenapa kau selalu saja membahasnya?” sungut Mentari. Gadis itu menghela nafas panjang, sungguh tidak berminat untuk membahas Langit lebih dalam.

“Bukan begitu maksudku, hanya saja namanya selalu masuk dalam setiap pembahasan kita berdua.”

Mentari meringsut dan memposisikan dirinya terlentang pada kasur yang ukurannya tak seberapa itu. Matanya menatap langit-langit kamar seakan ada pemandangan yang mempesona disana.

“Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Toh, dia juga sudah tidak berada di kota ini.”

Meski Mentari tak berterus terang, tapi Bulan yakin dia masih tidak bisa melupakan hal itu.

“Tapi adiknya masih.”

Mentari langsung terduduk begitu Bulan mengatakan hal itu. Dia tidak terima dan merasa marah dengan apa yang Bulan katakan.

“Itu berbeda! Bintang tidak seperti Langit, dia bahkan tidak ikut memakiku waktu itu.”

Yash, semua ini akibat kejadian beberapa tahun silam. Persahabatannya dengan Langit renggang seketika, bahkan disaat pria itu ingin melanjutkan sekolah diluar kota Mentari sama sekali tidak perduli, dia bahkan tidak mengucapkan sepatahpun kalimat perpisahan.

“Kau masih marah karena hal itu?”

Pertanyaan konyol dan cocok untuk ditimpuk dengan bantal berbobot ratusan ton. Sungguh, Bulan ini memang tidak tahu atau pura-pura tidak ingin tahu?

“Tentu saja! Kak Alam sampai membawaku ke psikiater esok harinya. Bukankah itu buruk? Padahal aku baik-baik saja, pihak mereka pun mengatakan hal yang sama.”

Mentari tampak kembali berapi-api saat menceritakan apa yang terjadi setelah hari itu.

“Apa kau tidak akan memaafkan Langit seandainya dia meminta maaf nanti?”

“Tidak mungkin seorang Langit Sanjaya akan meminta maaf, berpikir begitu pun sudah tidak mungkin.”

Sejenak Bulan tertawa geli dibuat gadis itu, dia selalu saja mencap segala sesuatu dengan sesukanya. Padahal tak selamanya apa yang dia anggap benar itu benar adanya.

“Tidak ada yang tidak mungkin, Mentari.”

Suara lembut Bulan menyapu bersih kekesalannya, mata gadis itu mulai dipenuhi sinar harapan. Bibir mungilnya tersenyum sumringah, sangat cocok menggambarkan Mentari yang sedang berbahagia.

“Jadi tidak menutup kemungkinan jika kau juga hidup?”

Pertanyaan yang terdengar penuh harapan itu justru dibalas tatapan tak berminat dari Bulan. Dia jengah, Mentari selalu mengharapkan hal yang ia rasa mustahil.

“Aku bosan membahasnya, Mentari.”

Setelah Bulan berpaling, pria itu langsung hilang tanpa jejak. Mentari melihat kesana dan kemari, tapi tak menemukan keberadaan pria itu.

“Memangnya salah jika aku ingin dia benar-benar hidup? Manusia mana yang tidak ingin hidup? Dasar, pria lucu.”

Sedetik kemudian, suara yang tak asing menggema di telinga Mentari. “Jadi benar bukan aku itu lucu?”

Mentari berteriak kencang ketika wajah Bulan tiba-tiba saja berada di hadapannya. Bahkan, dia lupa jika Alam juga sedang berada di rumah. Dia tidak takut, hanya terkejut melihat kedatangan Bulan yang tanpa aba-aba.

“Astaga! Darimana kau datang, Bulan? Bukankah tadi kau sudah pergi!” bisiknya, meski tentu saja itu sudah terlambat.

“Kemana aku bisa pergi, Mentari? Sementara disini kau masih memikirkanku.”

Memang dasar lelaki, dimanapun dunia mereka berada, pasti selalu saja berkamuflase menjadi buaya dan itu tidak terkecuali Bulan.

“Jangan terlalu percaya diri! Aku hanya berpikir bahwa kau itu aneh.”

“Kenapa begitu?”

Gadis itu menarik nafas panjang dan dalam. Lalu, mengembuskannya, berbaur begitu saja dengan udara sekitar.

“Tentu saja, manusia lain ingin hidup, tapi kau justru sebaliknya.”

Tatapan Mentari yang seakan meremehkan, membuat Bulan menggelengkan kepala. Gadis itu bahkan tidak sadar apa keinginan terbesar baginya.

“Kau tahu darimana aku tidak ingin hidup?”

Meskipun Mentari sempat kikuk tak berkutik, tapi sesaat setelahnya dia menjawab mantap pertanyaan Bulan. “Melihat dari gerak-gerik dan responmu.”

“Jangan bercanda, Mentari. Kami pun ingin hidup kembali jika itu memungkinkan.”

Mendengar kata ‘kami’ terlontar dari ucapan Bulan membuat Mentari sedikit takut untuk membayangkannya. Bagaimanapun, dia dan Bulan tidak berada pada dimensi yang sama.

Namun, seperti menyadari apa yang Mentari rasakan, Bulan berusaha untuk mengalihkan rasa takut yang saat ini menyelimuti Mentari.

“Malam ini cuaca cukup cerah, berniat melihat bulan bersama?”

“Aku sedang melihatnya,” ujar Mentari yang tersenyum manis tatkala menatap wajah Bulan.

Bagai kecoa yang menyebalkan, Bulan pun bersikap demikian. Bukannya mengerti, pria itu malah celingukan tidak jelas. Menatap langit-langit dan dinding kamar dengan serius.

“Ini di dalam ruangan dan tidak ada bulan disini.”

Mentari mencebik kesal, gagal sudah momen manis yang sempat terlintas dalam pikirannya. Sekarang justru ia merasa dongkol, ingin menghantamkan ribuan gen jutsu pada Bulan.

“Ck, aku sedang melihatmu, Bulan.”

“Berhenti bercanda, Mentari. Jika kau tidak ingin melihatnya, maka aku akan melihatnya sendiri.”

Ketus sekali. Pria dingin itu langsung menghilang tanpa menunggu Mentari kembali bersuara.

Apa yang salah dengannya? Mentari dibuat kebingungan dengan Bulan yang selalu datang dan pergi semaunya.

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang